Panorama Kawah Galunggung |
Berikut adalah sebuah kisah yang kucatat kembali dari memori
yang telah lewat, sebuah memori yang sayang jika dibuang. Mirip seperti yang dikatakan
Pram, sehebat apapun pengalaman seseorang
sejauh ia tidak menuliskannya maka pengalaman itu akan menghilang dan
dilupakan. Maka sesepele apapun itu, kutulis lah kisah ini. Hitung-hitung
menjadikannya sebuah buku dalam rak perjalanan kami berdua yang pastinya tak
akan terlupakan.
Kami berada di sebuah daerah bernama Tasikmalaya, sebuah
wilayah yang terkenal karena kerajinan bordirnya serta pedagang kain hebat di
kawasan Tanah Abang. Daerah yang dahulunya bernama Sukapura ini merupakan
dataran yang tersusun pasca meletusnya Galunggung, maka pernah juga daerah ini
disebut dengan Tawang-Galunggung yang artinya dataran terbuka yang sangat luas.
Penyebutan Tasikmalaya sendiri sangat berkaitan dengan dampak meletusnya Gunung
Galunggung. Secara etimologis “tasik” muncul dari kata “keusik” yang
berarti “danau pasir” dan “malaya”
berarti “ngalayah” atau “bertebaran”, maka benang merahnya, Tasikmalaya adalah
daerah luas yang terdiri dari pasir vulkanis di mana-mana . Ada juga versi lain
yang mengartikan Tasikmalaya sebagai “lautan gunung seperti di Malabar India
sana” dan ini bisa jadi benar karena letusan Galunggung purba menciptakan
sebuah kawasan perbukitan hasil lontaran materialnya yang saat ini dikenal
dengan Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills), dalam dunia geologi kawasan ini
dikenal dengan nama Formasi Tasikmalaya. Jadi Tasikmalaya bisa dikatakan adalah
monumen sejarah sebuah peradaban di wilayah Priangan yang terbangun di atas
memori atas bencana. Hal ini didapatkan dari cerita dan obrolan dengan warga
Tasikmalaya sendiri maupun beberapa referensi
yang pernah kubaca.
Maka berangkatlah kami ke sana, menikmati Galunggung yang
begitu menggoda, entah kenapa kami selalu tergoda dengan sosok gunung sehingga
tak pernah bisa menolak godaan untuk mengunjunginya. Gunung Galunggung dapat
ditempuh dengan kendaraan dari kota Tasikmalaya melewati jalur Tasik-Singaparna,
sampai di simpang Pondok Pesantren Cipasung berbelok ke kanan menuju Kecamatan
Sukaratu kira-kira 10 km. Di pertigaan kecil bertanda pos ojek dan papan
penunjuk area tambang pasir Galunggung berbeloklah kami ke kanan menyusuri
jalanan aspal hancur, tidak rata sana sini dan kemudian dominasi batu susun
selama kurang lebih 1 jam. Jalanan baru kembali bagus setelah kami sampai di
gerbang kawasan. Ada pos retribusi seharga Rp 4 ribu perorang dan pengunjung
disediakan dua pilihan, belok kanan akan menuju pemandian terbuka air panas
Cipanas namun jika mengambil jalan lurus
menanjak itu anda akan menuju kawah Galunggung. Kami memilih kawah Galunggung,
dan menyusuri kembali hutan pinus kira-kira 20 menit sebelum sampai di parkiran
di mana terdapat warung-warung kopi berpemandangan lembah-lembah.
Mulai meniti 620 anak tangga |
Sama sekali tak sulit untuk menikmati kawah Galunggung meski
ketinggian gunung ini tercatat 2.167 mdpl, dari parkiran ini kita langsung
menemukan ratusan anak tinggi lurus ke atas menuju pinggiran kawah, tepatnya
ada 620 anak tangga. Setelah sesekali berhenti untuk mengatur nafas dan
mengambil gambar orang cantik yang bersamaku ini sampailah kami di pinggiran
kawah dan tersajikan pemandangan kaldera lebar dengan tengahnya berisi sebuah
kubah lava dikelilingi danau dan endapan material vulkanik di sisi yang lain.
Meskipun ada beberapa warung di pinggiran kawah ini (biasanya buka sampai jam 4
untuk kemudian tutup dan mereka turun dengan barang dagangannya) kami memilih
berjalan-jalan menyusuri bibir kawah sambil mengambil gambar, bercerita dan
kadang-kadang hanya memandangi lanskap indah itu. Jika menginginkan pemandangan
yang bebas kabut disarankan untuk berada di sini maksimal jam 2 siang karena
sesudah jam itu biasanya kabut menyelimuti dan hujan juga sering terjadi.
Bila ingat Galunggung tentu kita teringat fenomenalnya
erupsi gunung ini. Terbayang apa yang terjadi tahun 1982 kala Galunggung
meletus dengan hebatnya, bahkan menjadi salah satu letusan terhebat di
nusantara. Dinding kokoh dari Gunung Ageung (sebutan lain Galunggung yang lebih
tua) serta danau berwarna hijau, serta bukaan kawah ke arah timur-tenggara
seakan menjadi saksi bisu letusan hebatnya kala itu. Kembali ke tahun 1982,
tepatnya tanggal 5 April 1982 ketika gunung ini bergemuruh dan melemparkan isi
bumi ke luar dengan massa dan kekuatan luar biasa. Petir dan halilintar
menggelegar membuat langit berwarna merah. Debu vulkanik menggumpal dalam kolom setinggi 20 km ke angkasa, belum
lagi awan panas menyapu wilayah timurnya, sementara debunya menghujani sampai wilayah dalam radius 100 km. Periode
erupsi ini berjalan sepanjang 9 bulan sampai 8 Januari 1983, memaksa 20 ribuan
orang harus bertransmigrasi ke sumatera karena tak bisa menggarap lahan atau
tinggal di desanya lagi. Bekas terbukanya kawah bagian timur-tenggara adalah
sisa kehancuran besar saat itu, dinding masif itu itu runtuh menjadi lahar
dingin yang menenggelamkan kawasan-kawasan sekitarnya dalam lautan pasir,
tanah, dan batu. Pintu ini sampai sekarang menjadi bayangan bahaya bagi kota
Tasikmalaya karena arah bukaannya nya memang ke arah kota.
Halilintar di atas Galunggung saat erupsi 1982 (photo by Wikimedia) |
Dan di sinilah kami, di bawah perkasanya karya bumi ini kami
menghirup nafas panjang dan merasakan segarnya puncak Galunggung. Jika sampai di sini mata tak akan bisa lepas dari
pemandangan di bawahnya yakni sebuah kaldera besar seluas kira-kira 4 hektar.
Kita bisa menuruninya dari dua sisi danau selama kira-kira 20 menit ke bawah
turun sedalam 100 meter. Berada di tengah kawah ini sungguh menyenangkan,
seolah kita berada di sebuah baskom besar yang sunyi. Di dalam kaldera ini
terdapat sebuah danau yang dipenuhi ganggang berwarna hijau mengelilingi kubah
lava yang dihasilkan pasca letusan 1918, kubah ini kemudian dinamakan Gunung
Jadi. Air danau ini diatur volumenya yakni tidak boleh melewati lebih dari 750
ribu meter kubik dengan cara dibuat terowongan pada tahun 1993-1997 sepanjang
748 meter untuk mengalirkannya ke Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran di
bawahnya. Hal ini dilakukan sebab jika volume air sangat tinggi, air tersebut
dapat meruntuhkan dinding kawah yang pastinya mengakibatkan bencana besar
nantinya. Proyek ini adalah salah satu bentuk mitigasi bencana struktural yang
sangat brilian menurutku.
Pinggiran danau kawah |
Bila menyempatkan diri untuk berkemah di tengah kaldera ini
dengan memasang tenda di pinggir kawah maka anda akan merasakan ketenangan luar
biasa bahkan cenderung sunyi senyap karena jarang orang mau berkemah di sini,
kebanyakan karena alasan mistik ( di sini juga ada mesjid dimana di belakangnya
sering dijadikan tempat bersemedi) maupun karena adanya babi hutan. Untungnya
saya tidak mengalami keduanya selama saya berkemah di sana. Dalam gelap total
dan hanya melihat bintang, tidur akan terasa pulas. Paginya, uap dari permukaan
danau akan menjadi sajian pertama anda, kabut yang mendekap Gunung Jadi tampak
begitu anggun, dan rasanya siang begitu lama akan datang. Tanda-tanda siang
telah tiba ditandai dengan munculnya orang yang datang untuk memancing ikan,
rombongan remaja berisik yang hendak piknik dan foto-foto, serta munculnya jajaran
manusia di tepian kawah di atas anda. Semua dinikmati sendiri sambil memasak
sarapan dan menikmati kopi panas, luar biasa rasanya.
Perjalanan pun harus berakhir, terbayar sudah rasa penasaran
pada sosok gunung yang legendaris ini, saatnya menggandeng tangan kekasih
menuruni ratusan anak tangga dan kembali di mana kami memulai semua.
Terimakasih Galunggung, dan semoga pelajaran atas bencana karenamu tak akan
mudah terlupakan oleh manusia-manusia yang berada dekat denganmu. (1/5,W&Y)
Pagi di tepian danau kawah dan tampakan kubah lava |