 |
Hanoman dibakar, sebagian adegan dalam penampilan Tari Kecak di Pura Uluwatu |
Bali adalah kata sakti karena meski telah beratus tahun
negeri ini menjadi daerah kunjungan wisata, perubahan-perubahan pasti terjadi
seiring waktu, namun Bali tetap menyimpan pesonanya sendiri sehingga masih
tetap layak dinobatkan sebagai destinasi utama wisata di Indonesia. Bali dalam
konteks ini tentu saja bukan seluruh Bali melainkan hanya merujuk Bali bagian
selatan. Sejak kedatangan pertama di pelabuhan Padang Bai aroma Bali sudah
terasa meski hari masih gelap. Kami menghabiskan waktu 5 jam dengan kapal ferry
dari Pelabuhan Lembar, Lombok sejak jam 10 malam dan sampai di Padang Bai jam 5
pagi. Kemudian dilanjutkan dengan naik kolt (cukup mahal tapi tak banyak
pilihan, @50 ribu) dan berhenti di terminal Batu Bulan, Gianyar untuk menunggu
bis Sarbagita (ini adalah Bus Rapid Transit, sejenis Transjakarta atau
Transjogja, biayanya murah meriah @3500) menuju Kuta. Di Legian, Kuta inilah
kami merencanakan untuk menjadi tempat singgah selama dua hari dan menikmati
sejengkal waktu sebelum kembali ke Jakarta.
 |
Pantai Pandawa |
Semilir angin dan hangatnya udara pantai Kuta menyambut kami
di pagi hari, membawa kami dalam suasana liburan yang sesungguhnya. Tak ada
yang mengganggu waktu selain hanya untuk menyegarkan paru-paru dan mata
menikmati indahnya sebagian Pulau Dewata. Hari ini direncanakan untuk menikmati
Bali dengan cara yang berbeda yakni memakai moda roda empat karena jarak tujuan
yang jauh dan mengantisipasi udara gerah serta panas teriknya mentari. Dari
persewaan di dekat hotel kami mendapatkan Jimny dengan biaya sewa 150.000,
pilihan yang tepat oleh Wong karena seharian kami diselamatkan oleh moda ini
dengan ac yang menjaga kami tetap sejuk di bawah terik matahari Bali dan udara
yang begitu lembab.
 |
Model Dadakan |
Arah sudah ditentukan
yakni selatan dengan tujuan akhir adalah Pura Uluwatu di mana akan ada
performance Tari Kecak bersamaan dengan waktu matahari terbenam. Sambil menuju
Uluwatu kami mengunjungi pantai-pantai di wilayah Selatan. Berbekal majalah
MyTrip kami menyusuri pantai-pantai itu untuk membayar rasa penasaran kami,
yang sengaja kami lewatkan adalah Garuda Wisnu Kencana yang sebenarnya sejalan
dengan arah kami dan memilih eksplore pantai-pantainya. Yang pertama adalah
Pantai Suluban atau dikenal secara internasional sebagai Blue Point (yang
ternyata menjadi salah satu lokasi syuting “Eat, Pray & Love”). Pantai ini
arahnya sebelah kanan sebelum masuk Pura Uluwatu dengan posisinya sempit dan
agak di bawah dari jalan raya menyusuri tangga yang sudah sangat bagus. Pantai
ini dikenal sebagai surganya surfer karena ombaknya yang besar. Dari atas
tebing dapat dinikmati penampilan para penari ombak sambil duduk santai atau menikmati
makanan dan minuman segar di atasnya.
 |
Pantai Suluban alias Blue Point |
Selesai menikmati Blue Point, kami mengunjungi pantai
Padang-padang, sebuah pantai yang berada searah dengan Blue Point. Pantai ini
lebih ramai oleh pengunjung dari dalam negeri. Padang-padang atau Labuan Sait
merupakan sebuah teluk sempit yang memiliki air yang relatif tenang sehingga
banyak pengunjung berenang di area yang memang dikhususkan untuk berenang.
Pantai berikutnya yang kami tuju adalah Pantai Pandawa, sebuah pantai yang
direkomendasikan oleh MyTrip sebagai pantai yang indah, panjang dengan
pemandangan laut biru yang luas. Saat memasuki wilayah ini kita disambut oleh
gerbang besar berupa tebing yang dipangkas, pada latar belakangnya nampak garis
laut yang memang panjang. Di sepanjang tebing ini nampak jajaran arca di dalam
tebing yang dikeruk menjadi ceruk kecil dengan nama-nama para penyandang dana
bagi pengembangan pantai ini. Di pantai ini kita dapat melihat para pengendara
paralayang melintas di atas tebing sambil menikmati air kelapa segar dari
warung-warung yang berdiri di tepian pantai di mana juga nampak jajaran payung
untuk tempat berjemur dan beristirahat sambil menikmati pemandangan
pantai.
 |
Pantai Padang-padang |
Ketika telah terpuaskan menikmati pantai di selatan Bali
ini, kami memutuskan untuk menuju Pura Uluwatu di mana performance Kecak akan
dilangsungkan, namun sesampainya di sana hari masih terlalu siang sehingga
banyak waktu kami gunakan untuk berjalan-jalan di hutan penuh monyet ekor
panjang yang agresif, menyusuri liku-liku koridor Pura Uluwatu yang luas dan dari
kejauhan menikmati pemandangan ujung karang dimana pura yang didirikan abad 11
ini berdiri 97 m di atas permukaan laut.
Sekitar pukul 5 sore tiket untuk pertunjukan utama sudah
dibuka, harganya cukup mahal yakni 70 ribu per orang namun toh panggung tetap
penuh sesak oleh para penonton. Sedikit tentang tari kecak, sebenarnya tarian
ini bukanlah tarian sakral dan juga bukan tarian yang sudah lama ada di Bali.
Tari Kecak atau Cak atau Tari Api merupakan seni yang dikembangkan pada tahun
1930-an oleh Wayan Limbak dan pelukis Jerman Walter Spies sebagai sebuah
pertunjukan publik semata. Lakon yang dibawakan mengambil kisah Ramayana tanpa
menggunakan gamelan atau alat musik apapun selain suara mulut “..cak cak cak ke
cak..” Yang paling spesial dari pertunjukan Kecak di Uluwatu adalah bahwa
pertunjukan ini dilakukan di panggung terbuka berbentuk amphiteather yang
menghadap ke barat di mana matahari terbenam, jadi dalam satu kesempatan
penonton akan disuguhi pertunjukan Tari Kecak sekaligus menyaksikan matahari
terbenam. Sungguh pemandangan yang spektakuler dan sangat bernilai untuk
menjadi kesempatan sekali seumur hidup.
 |
Pura Uluwatu |
Malam itu bayangan akan pertunjukan di depan matahari
terbenam menjadi hiasan dalam benak kami, mengantar kami dalam tidur yang
lelap. Esok pagi ada hari baru yang akan kami nikmati di negeri dewata ini.
Wajah Wong nampak lelah namun tak sanggup menghentikan pancaran rasa suka cita
di matanya.
 |
Para Penari Kecak |
Hari baru pun tiba, sambil menikmati kopi dan kudapan di
Pantai Kuta yang masih sepi, rencana hari ini disusun. Satu tempat yang membuat penasaran Wong sudah
ditetapkan yakni Bebek Tepi Sawah di Ubud, sekaligus juga memberi kesempatan
bagiku untuk menikmati kawasan Ubud yang terkenal itu. Maka meluncurlah kami untuk menyusuri daerah
tujuan kami. Jalanan terasa begitu luas, perjalanan lancar dan sepanjang jalan
kami disuguhi wajah khas Bali dengan ornamen dan sentuhan etnik yang kental,
apalagi hari itu adalah sehari menjelang Galungan sehingga semua pura menghias
diri dengan cantik, jalanan pun tampak indah dengan ornamen khas perayaan hari
raya. Setelah berputar-putar di Ubud termasuk singgah ke Monkey Forest kamipun
mencari lokasi Bebek Tepi Sawah untuk menuntaskan rasa penasaran Wong. Untuk
informasi saja, ini adalah bebek termahal yang pernah kami makan, bayangkan
saja bagaimana seporsi bebek goreng dihargai Rp 90 ribu dan masih plus plus
yang lain, memang rasa penasaran itu mahal meski diakui memang sedap rasanya di
lidah.
 |
Bebek Tepi Sawah, Ubud |
Setelah rasa pedas di lidah hilang, perjalanan dilanjutkan
menuju Pura Luhur Tanah Lot, dari Ubud kami merentang jalan menuju Tabanan di
mana pura ini berlokasi. Pura yang menjadi salah satu dari Sad Kahyangan ini
dibangun oleh seorang brahmana, Danghyang Nirartha pada abad 16 dengan sentuhan
magis yakni dengan memindahkan batu karang ke tengah pantai dimana pura
dibangun di atasnya dan mengubah selendangnya menjadi seekor ular laut, ular
ini sampai saat ini masih ada dan dianggap suci.
 |
Sunset Point Tanah Lot |
Selain pura utama yang berada di atas karang tadi, di sisi
utara juga terdapat pura di ujung karang dimana di bawahnya berlubang seperti
pintu air, di sini spot terbaik untuk mengambil gambar. Di pura ini terdapat
taman yang cukup luas dan bersih yang bisa dijadikan tempat duduk dan istirahat
memandang laut maupun sunset jika mau, di pelataran pura ini juga terdapat
pasar untuk membeli oleh-oleh yang cukup lengkap. Sayang kami harus segera
bergegas tanpa bisa merasakan sunset di Tanah Lot ini. Sunset akan kami
dapatkan di Kuta sebagai snapshot terakhir dari Bali sebelum pagi hari nanti
kembali ke Jakarta. So di Kuta lah semuanya berawal dan berakhir, diiring
dengan tenggelamnya sang surya bundar berwarna kuning dalam balutan awan
jingga, kami tautkan doa kami agar kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir.
Bali selalu mempesona, suatu hari kami akan kembali. (w&y, 10/13)
 |
Sunset di Pantai Kuta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar