Tampilkan postingan dengan label Puncak Rinjani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puncak Rinjani. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 November 2013

Menyambangi Samalas, Puncak Rinjani, dan Segara Anak

 
Segara Anak dari Plawangan Senaru


Hari I: Jakarta-Mataram-Pos II Tengengean

Rinjani, telah lama nama gunung di pulau Lombok ini terpatri di benak, besar rasa penasaran untuk mengunjunginya suatu hari nanti sebelum tubuh tak lagi mampu menjangkaunya. Ada banyak kisah menarik diceritakan mengenai gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jayawijaya dan Kerinci ini baik mengenai keindahannya, kesulitannya, kisah mistik dan legendanya serta publikasi terakhir bahwa di masa lalu gunung ini pernah meletus hebat saat dikenal sebagai super volcano Samalas dan apa yang akan kami daki ini hanya sebagian kecil saja dari sisa gunung api super ini.

Beruntung cita ini berkesesuaian dengan sebuah keinginan yang pernah diucapkan Wong untuk mengunjungi kembali gunung ini setelah sepuluh tahun lalu pernah menjejak puncak dan merasakan Tujuh Bukit Penderitaan yang legendaris di antara para petualang itu. Jadilah perjalanan ini jadi ziarah kami berdua, dan Wong lah yang jadi leader sekaligus rekan perjalananku. Maka kisah ini adalah sepenggal kisah kami berdua.

Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Lombok, di awal hari kami sudah berada di udara melintasi Jawa dan Bali untuk mencapai bandara internasional Lombok, Praya. Berkas matahari terbit dari timur menyambut kami, sesosok kabur di balik mega-mega menunjukkan tujuan utama kami di pulau ini yakni Gunung Rinjani, sebuah gunung api dengan ketinggian 3726 mdpl. Sesampainya di bandara, perjalanan dilanjutkan dengan Damri menuju kawasan bandara lama di Mataram untuk transit di rumah seorang teman yang telah tinggal di sana untuk bekerja. Narsih nama teman tersebut, telah menunggu kami di dekat rumah ketika kami turun dari Damri setelah menikmati jalanan Mataram yang sepi selama kira-kira 1 jam dengan ongkos Rp 25.000,- per orang, tapi ternyata ia tak sendiri, Agus Kehed yang juga adalah rekan kami di KMPA Fisip Unsoed ternyata ada di sana juga, sebuah kejutan karena tak menyangka ada dua teman yang ada di Mataram.

Sejenak waktu digunakan untuk bercengkerama, berbagi cerita,dan akhirnya memulai packing di kedua carrier dan tas kecil kami. Siang itu juga kami akan menuju Sembalun Lawang, pintu pendakian Gunung Rinjani. Dari terminal Mandalika kami menggunakan angkutan Elf yang menuju Pasar Aikmel, dua jam perjalanan menuju ke pasar ini, cukup panjang memang. Dari pasar ini perjalanan akan dilanjutkan dengan naik angkutan bak terbuka menuju Sembalun Lawang, sejam lagi perjalanan berangin dan penuh sesak penumpang dan sayur harus dinikmati sebelum akhirnya kami tiba di Pos Taman Nasional Gunung Rinjani, Sembalun Lawang untuk registrasi.
Menikmati senja perjalanan
Punggungan menuju Pos II
Dan pendakian pun dimulai, sekitar pkl. 17.00 WIB perjalanan dimulai melintasi padang sabana kering nan luas sambil merasakan tiupan angin sore. Di sisi jauh tampak asap tebal dari hutan yang terbakar pada saat itu, di sisi lain nampak kekar-kekar punggungan bukit yang memanjang, dan di belakang kami tampak dinding-dinding menjulang bagai benteng kokoh mengelilingi kawasan Sembalun Lawang. Salah satu pemandangan senja terindah yang pernah kami alami, tentu saja dengan pengecualian pada kebakaran hutan, hal ini betul-betul merusak perjalanan karena abu terbawa di udara dan lintasan menjadi penuh debu. Sekitar tiga jam kemudian kami sampai di lokasi yang kami targetkan untuk menjadi perhentian kami yakni Pos 2 Tengengean (1500  mdpl). Dekat sebuah mata air dan shelter kami memutuskan istirahat dan membangun tenda serta menyiapkan makan malam dan minuman hangat. Jadi lah malam itu kami menikmati taburan bintang di langit yang mempesona serta semburat merah terang di sisi kiri di mana kebakaran tampak makin nyata di malam hari, api menjilat pohon-pohon dengan arahnya semakin turun. Ada rasa waswas jangan-jangan api akan melintas di area kami tapi untungnya tidak. Malam berlalu, istirahat dapat dinikmati dalam hangatnya tenda, dan monyet-monyet tak bisa mencuri apapun dari logistik kami karena semua alat dan perbekalan telah diamankan di dalam tenda.

Hari 2 Pos II Tengengean – Plawangan Sembalun



Melintasi Tujuh Bukit Penderitaan
Pagi merona menyambut kami tapi udara tetap terasa kotor karena kebakaran belum usai bahkan sudah mendekati area di mana kami membangun tenda, suara gemeretak kayu dan rumput yang terbakar terdengar jelas.  Mulailah lagi fase kedua perjalanan dari Tengengean menuju Pos Plawangan Sembalun di mana direncanakan untuk menginap lagi. Jalur ini pada awalnya mirip dengan perjalanan menuju pos II sebelum akhirnya kami menemukan bukit yang menanjak. Ini lah awal jalur legendaris itu, jika Semeru punya Tanjakan Cinta maka Rinjani punya Tujuh Bukit Penderitaan. Terus terang aku tak mau menghitung berapa bukit yang kami lewati, biarkan kaki-kaki  ini melewatinya sementara terik hari memanggang kami dalam selimut debu. Ketika hari tengah siang barulah kami berhenti untuk sekedar mengisi perut, dan Wong mengatakan tinggal dua bukit lagi, artinya sudah terlewati lima bukit tanpa terasa. Tapi ternyata dua bukit itu pun bukanlah hal yang gampang karena jalur makin menanjak, enerji terkuras meski sudah makan siang, sering kami berhenti sekedar untuk menarik nafas dan istirahat.

Plawangan Sembalun
Begitu lega hati ini ketika di atas sana tampak sebuah plang, dan menurut Wong itu adalah gerbang Plawangan Sembalun. Sebuah area yang terbuka dengan hamparan edelweiss di mana-mana dan kabut menggantung memenuhi ruang, tinggal jalan sedikit lagi tampaklah area perkemahan yang diwarnai tenda warna-warni, di sini perjalanan hari ini berakhir. Namun kesan kami agak terganggu dengan kotornya kawasan ini, dan anehnya, yang membuat kami prihatin adalah justru para porter lah yang menjadi pelaku utama pengotoran ini, tentu saja tidak mengenyampingkan perilaku pendaki. Tapi itu lah yang kami saksikan, ironis. Meski mereka bekerja untuk kebanyakan pendaki asing dengan perlengkapan yang lengkap bagi tamu, perilaku mereka justru tidak mencerminkan perilaku yang sadar bahwa gunung yang memberi mereka rejeki juga perlu dijaga.

 
Sore itu kami mendapat hadiah awal, sebuah pemandangan matahari tenggelam di atas segara anak. Dari Plawangan Sembalun memang kita dapat memandang sebagian dari danau ini dengan warna peraknya karena terpapar mentari sebelum akhirnya gelap. Di depan kami berdiri kokoh dinding Gunung Senkereang yang angkuh, mistis, dan memberi kesan menakutkan, betul-betul membuatku merasa kecil. Detik-detik jelang mentari tenggelam dapat dinikmati dari sini sambil duduk di matras berteman teh panas dan biskuit sampai hari benar-benar gelap. Saat bintang telah hadir, itu artinya waktu istirahat datang. Kami harus menabung tenaga karena jam 01.00 WITA nanti adalah waktu yang direncanakan untuk bangun dan melakukan summit attack.
View matahari terbenam dari Plawangan Sembalun
Hari 3 Plawangan Sembalun – Puncak Rinjani – Segara Anak

Bukan hal yang mudah untuk bangun jam 1 pagi dan bersiap-siap untuk menuju puncak, perlu sama-sama menguatkan diri satu sama lain untuk bisa melanjutkan rencana. Kami yang pertama mulai melakukan pendakian ke puncak awal hari itu dan lima jam adalah waktu yang kami habiskan untuk sampai ke puncak, menyusuri lorong-lorong batu dengan pijakan pada pasir dan kerikil, kelok-kelok jalur pasir dan debu, menyusuri bibir kawah Segara Anak dihempas angin yang sangat dingin, semua memaksa mental dan fisik untuk tetap tegak. Wong dalam kebanyakan waktu berjalan tanpa suara sedangkan aku menyumpahi diri karena merasa puncak itu begitu jauh. Apalagi ketika semburat merah mulai muncul di cakrawala sedangkan punggungan terjal ke puncak masih begitu panjang. Sejenak aku berhenti, berusaha mengumpulkan kekuatan diri bahwa ini ujian bagiku, bukan soal mendapat sunrise terbaik atau mencapai puncak melainkan untuk mengalahkan diriku sendiri, membuktikan pada diriku bahwa aku masih mampu. Wong tetap diam, tetap tegak melangkah tapi aku tahu ia tersenyum di balik penutup hidungnya, seakan ia mengatakan kita pasti bisa.
Pendakian menuju puncak
Matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak
Jam enam pagi akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak Rinjani, memandang luas 360 derajat, danau biru dengan Gunung Baru Jari di tengahnya, Gunung Agung di kejauhan, dunia ini begitu lapang. Di sini aku memandang Wong lama, iapun memandang lama dan merekahkan sebuah senyum, dan aku tahu persis apa artinya, kupeluk erat tubuhnya dan kuucapkan terimakasih karena telah membawaku ke sini, menjadi pemimpin jalanku dan pendamping langkahku. Di sini di ketinggian 3726 mdpl, aku terdiam dalam dingin, menarik nafas panjang sebelum bersama Wong turun kembali. Lima jam perjalanan mendaki dan ketika di puncak hanya untuk 30 menit, cukup untuk merasa bahagia hari itu.
Di puncak dengan syal KMPA Fisip Unsoed tercinta
Perjalanan turun tak semudah kelihatannya, pasir kerikil dan batu membatasi langkah kami, debu bertebaran di udara dan sinar matahari cepat sekali terik memanggang kami. Namun cepat langkah kami ambil untuk segera menuju tenda meski kaki terasa letih. Tak banyak yang dilakukan ketika hampir tengah hari di Plawangan Sembalun karena tempat ini sangat terbuka, maka kami langsung mengepak barang dan melanjutkan fase keempat perjalanan kami, menuju Segara Anak, menjemput hadiah atas upaya keras yang telah kami lakukan. Dari Plawangan Sembalun kami mengambil jalur menuruni dinding plawangan ke arah kanan, dan memang dahsyat bagi saya yang pertama kali melewatinya. Kami menyisir dinding itu ke arah kiri dan kanan lalu kiri dan kanan lagi berulang kali bagai tanpa akhir, ini menunjukkan bahwa jalur yang kami lewati berada di atas sebuah jurang yang dalam namun karena kabut sangat tebal kami tak bisa melihat apa di sisi kiri kanan kami. Sebenarnya jalur yang kami lewati ini adalah menyusuri bibir kawah vulkano di mana danau ada di bawahnya, dan karena itulah terasa sangat panjang dengan variasi jalur adalah batu, tanah padat berdebu, hutan, dan sabana.
Ketika sabana telah dominan, itu berarti telah mendekati danau. Jelang sore namun matahari masih di atas kepala, kami melihat hadiah kami, sebuah kolam maha luas berwarna biru dengan sebuah gunung vulkanik yang mengeluarkan asap di sisi kirinya, Danau Segara Anak yang suci. Di sinilah semua lelah kami bawa, kami endapkan dalam pangkuan Dewi Anjani. Setengah perjalanan telah digapai, bahagianya ketika melihat wajah Wong berbinar-binar senja itu, antara bangga dan syukur kudekap kembali tubuhnya, berterimakasih lagi atas hadiah terindah yang telah diberikannya padaku dengan penuh pengorbanan.
Danau Segara Anak dari dekat
Pemancing
Malam datang beserta hembusan angin yang begitu kencang di atas kami, beruntung kami memilih mendirikan tenda di pinggir danau dan sisi belakang tenda tertutup bagian tanah yang tinggi sehingga angin tak menghempas tubuh dan tenda kami. Waktunya melepas lelah, kami serahkan letih kami pada belaian udara Segara Anak, esok akan kulanjutkan cerita kami. Sejenak kulihat bintang, bertabur bagai pasir di angkasa luas, untuk kemudian memejamkan mata. Selamat malam. (w&y)