Tampilkan postingan dengan label erupsi Gunung Baru Jari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label erupsi Gunung Baru Jari. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 November 2013

Menyambangi Samalas, Puncak Rinjani dan Segara Anak (lanjutan)

 
Lintasan Turun dari Puncak Rinjani
The free bird leaps on the back of the wind
and floats downstream till the current ends
and dips his wings in the orange sun rays
and dares to claim the sky.
 
But a bird that stalks down his narrow cage
can seldom see through his bars of rage
his wings are clipped and his feet are tied
so he opens his throat to sing.

“I Know Why the Caged Bird Sing” by Maya Angelou, 1969


Hari 4 Danau Segara Anak


Pagi dari tepian danau
Seusai beristirahat malam dan sempat terbangun oleh lantunan doa para peziarah Hindu dari Lombok Timur pagi di Segara Anak pun dapat kunikmati. Terasa dingin namun tak terlalu menggigit meski angin bertiup cukup kencang dan suaranya berdesau dengan keras di atas kami. Warna biru memenuhi ruang udara di pagi itu saat sinar mentari belum bersinar penuh. Rasanya begitu syahdu dan tenang, hanya kulihat diriku sendiri di awal pagi itu dan kecipak air dimana ikan-ikan bergerak di danau, bayangan dinding kawah tercermin dalam birunya air danau. Tak ada yang ingin kulakukan saat itu kecuali duduk dan menikmati kesendirian itu, Wong masih tidur lelap. 

Akhirnya cahaya pagi merekah. Satu hal yang menjadi cita kami sebelum berangkat adalah merasakan sensasi memancing di Segara Anak, meski kami sama-sama bukan penggemar aktivitas ini namun demi menuntaskan rasa penasaran, kami sempatkan mencoba peruntungan di danau ini. Hasilnya, tiga ekor lepas, satu tertangkap dan dikonsumsi dalam kesepian. Ternyata pagi itu bukan keberuntungan kami.


Ikan kecil yang malang
Namun Segara Anak bukan hanya itu, ada banyak hal yang disediakan di kawasan danau indah ini. Yang pertama adalah mata air bersih, mata air ini terletak sekitar 500 m dari titik kemah kami dan berdekatan dengan sumber mata air panas. Untuk konsumsi bahkan secara langsung, air dari sumber ini sangat layak, terasa segar dan sangat jernih. Sebaiknya tidak mengongsumsi air dari danau, meski tawar air danau ini memiliki kandungan sulfat yang cukup tinggi.

Yang kedua adalah mata air panas atau hot spring yang letaknya di sebelah kanan dari mata air jika berjalan dari tepi danau. Air panas yang keluar dari rekahan batu vulkanik ini dikenal dengan nama Aik Kalak Pangkereman Jembangan dan sering dijadikan tempat untuk ritual memandikan benda-benda bertuah maupun untuk tujuan penyembuhan penyakit. Di antara bebatuan dengan endapan mineral serta air yang kehijauan dan beratap langit pagi, kami menikmati kemewahan ini. Airnya memang sangat panas ternyata, perlu beberapa detik beradaptasi untuk menceburkan diri ke dalamnya, atau memilih bagian yang bukan aliran langsung dimana air masih terasa panas namun tak menggigit.


Berendam di hot spring
Tawaran lain adalah gua yang ternyata cukup banyak, ada Gua Susu, Gua Manik dan Gua Payung yang menjadi tempat bagi para peziarah untuk bersemedi dan berdoa dalam komunitas.

Setelah puas berendam di air panas dan mengambil air bersih, aktivitas dilanjutkan dengan memasak sarapan dan bersantai memandangi pemandangan Gunung Baru Jari yang nampak jelas dan berasap di rekahannya. Gunung Baru Jari atau berarti “gunung yang baru jadi” adalah hasil bentukan pasca erupsi Rinjani tahun 1944. Sampai saat ini gunung vulkanik dengan permukaan pasir ini telah menjulang sampai 2367 mdpl, dan tercatat pernah meletus beberapa kali. Letusan terakhir terjadi pada tahun 2009 mengakibatkan banjir lahar dingin dan memakan korban 31 orang. Itu baru anak gunungnya, lalu bagaimana letusan Rinjani jika mencapai puncaknya, terlebih lagi bagaimana dengan letusan Samalas pada abad 13 seperti lansiran BBC yang saat ini menyisakan Segara Anak seluas 11 kilometer persegi dan sedalam 230 meter? Fakta ini membuatku merinding, kecantikan yang kunikmati ini dibangun di atas kengerian maha dahsyat. Mengingat ini semua, tak habis kagum kusandangkan pada gunung ini.

Gunung Baru Jari
Sepanjang siang kami hanya memanjakan mata, berjalan-jalan di sekeliling danau, memandangi Baru Jari lebih dekat, menjemur pakaian yang basah, bahkan Wong sempat menjahit tasnya, serta menyapa orang-orang, baik dari dalam negeri dan luar negeri yang juga ada di area seputar danau ini.

Menjahit tas yang rusak
Pemandangan jelang sore kembali kami nikmati, begitu teduh. Sepuhan merah yang pelan-pelan bergerak membuat gambar dinding kawah di atas danau bak lukisan realis. Kami kembali mencoba peruntungan memancing, hanya kali ini kami mengganti umpan. Jika tadi pagi menggunakan umpan buatan toko, sekarang menggunakan potongan sosis siap santap. Woalaaa...itu kuncinya ternyata, berurutan tertangkap tujuh ekor ikan dengan ukuran bervariasi, dan dua ekor lepas. Sore ini kami lebih beruntung. Inilah makan malam kami, ikan bakar Segara Anak yang memang agak terasa beda. Rasa daging ikan ini agak hambar, bisa jadi karena terlalu banyak kandungan sulfat di dalam air namun dengan sentuhan minyak dari mie instan, jadilah menu ikan goreng yang lebih sedap.

Malam kembali menjelang, pemandangan dan suasana yang sama kami nikmati saat danau tampak gelap namun langit penuh jutaan bintang. Kali ini kami menikmatinya lebih lama karena besok pagi kami akan meninggalkan Segara Anak yang indah ini.

Hari 5 Segara Anak – Plawangan Senaru – Pos II Senaru

Aktivitas packing adalah rutinitas jelang perjalanan, masih terasa berat tas kami karena tetap harus membawa persediaan air minum dari mata air untuk perjalanan sampai gerbang Senaru. Mata air  berikutnya memang ada di Pos II Senaru namun kualitasnya kurang baik, keruh dan tak disarankan untuk diminum langsung.

Mendaki tanjakan menuju Plawangan Senaru
Awal perjalanan pulang diawali dengan naik ke Plawangan Senaru. Perbedaan elevasi antara danau dan plawangan ini adalah 700 m, lintasan sangat menanjak dengan perkiraan variasi kemiringan 45 sampai 90 derajat (di mana terdapat pegangan sebagai pengaman) dan terasa sangat panjang dengan menyusuri dinding kawah yang terbuka. Lutut masih harus bekerja keras sekitar tiga setengah jam menapaki tanah dan batuan di tengah hari yang terik sebelum akhirnya mencapai Plawangan Senaru. Di sini danau Segara Anak terpampang luas membiru sekali lagi, kami mengucapkan selamat tinggal padanya karena sesudah ini kami tidak akan melihat danau itu lagi di perjalanan turun kecuali dalam memori kami. Turunan berbatu menuju tempat istirahat masih harus dilalui sekitar 30 menit karena di sana lah baru bisa berteduh dan mengganjal perut. Di shelter bertuliskan Pos Cemara 5 ini lah kami melepas lelah setelah berjuang mencapai plawangan.


Plawangan Senaru yang terik
Lintasan masih terbuka setelah shelter ini, barulah ketika melewati Pos III kami mulai memasuki wilayah hutan yang teduh. Ini karakter lintasan Senaru yakni hutan dengan cuaca yang bersahabat. Di jalur ini kami bertemu dengan banyak pendaki mancanegara dengan rombongan porternya yang kebanyakan menargetkan Plawangan Senaru atau Segara Anak untuk kemudian kembali lagi lewat jalur yang sama.

 


Sekitar pukul tiga kami mencapai Pos II Senaru, lokasi yang kami rencanakan untuk mendirikan tenda. Sengaja tidak langsung turun ke Senaru untuk menghindari tubuh yang akan terlalu letih jika mengejar gerbang Senaru hari itu juga. Terlebih lagi akan sulit untuk mendapatkan transportasi umum di atas jam 5 di Senaru. Malam itu kami menginap di antara pepohonan besar dan suara-suara satwa Taman Nasional Gunung Rinjani, sekitar 10 menit turun dari Pos II. Menurut informasi dari orang lokal, Pos II cukup angker, jadi bagi yang punya sensitivitas ekstra sebaiknya menghindari tempat itu dan membangun tenda agak di bawahnya, area ini bisa memuat sekitar 10 tenda.

Hari 6 Pos II – Gerbang Senaru – RTC (Rinjani Trekking Centre) Senaru

Perjalanan turun dilanjutkan, jam tujuh pagi kami sudah menjejaki jalur menuju akhir namun kami harus melewati dulu Pos Extra dan Pos I sebelum mencapai Gerbang Senaru, sebuah gerbang dengan penanda besar yang menunjukkan bahwa perjalanan turun telah berakhir. Secara lokal dinamakan Gebak Gawah atau Jibak Gawah dimana terdapat warung-warung penjual minuman dan pisang goreng. Untuk yang telah berada lima hari di alam serba darurat, ini adalah oase. Rehat sejenak, minum air dalam kemasan  serta mengambil gambar adalah kegiatan yang bisa dilakukan di sini.


Sampai di Gerbang Senaru
Namun yang aku kira ini adalah akhir perjalanan turun ternyata salah, perjalanan masih harus dilanjutkan melintasi pinggiran desa yang panas selama 1 jam padahal jari kaki telah lecet minta dimerdekakan. Betapa leganya hati dan jari kaki ketika melihat sebuah kantor bertanda RTC atau Rinjani Trekking Centre yang merupakan kantor balai TNGR. Di bale-bale kami istirahat, menumpang mandi dan nego dengan tukang ojek untuk mengantar kami ke terminal Elf. Dengan 25 ribu per orang, ojek ini bersedia mengantar kami dulu untuk makan siang, menunggu kami makan dan kemudian mengantar kami ke terminal Elf yang ngetem lama. Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati kawasan pesisir pantai Lombok yang kering dan panas, kemudian kelokan mendaki Hutan Pusuk, menuju kota Mataram.

Di Rinjani, enam hari perjalanan penuh haru biru, suka duka, ujian perjalanan kala emosi naik turun telah dialami. Suatu perjalanan selalu menjadi ujian akan seberapa tangguh kebersamaan dapat mengatasi semua rintangan. Terlepas dari kehebatan yang lebih utama dari orang lain, kami bangga terhadap kami sendiri karena ini bukan perjalanan seseorang mengalahkan alam namun perjalanan bersama mengalahkan diri sendiri.  I’m proud of you dear Wong and grateful for all you gave to me. Thanks Rinjani for the great journey and lesson about losing myself. (10/13,w&y)
Memandang danau Segara Anak dari Plawangan Senaru sebelum turun