Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Agustus 2014

Ujung Kulon: Surga Eskapis di Ujung Jawa

Pantai Pulau Peucang, Ujung Kulon
Alur perjalanan selama paket dua hari satu malam yang diatur dengan tukang perahu adalah berangkat dari Taman Jaya ke Pulau Peucang (2,5 jam perjalanan) untuk registrasi dan pesan tempat, kemudian eksplorasi kawasan Pulau Peucang. Esoknya adalah waktu untuk snorkeling dan menuju Padang Penggembalaan Cidaon, mengunjungi Pulau Handeuleum kemudian kembali ke Taman Jaya pada sore harinya.

Seluruh tim berfoto di demaga Pulau Peucang
Pulau Peucang merupakan satu pulau di tanjung ini di mana pos taman nasional berada, di sini semua informasi tersedia, ada tempat untuk registrasi, mendapatkan penginapan berupa barak petugas dan dermaga yang memadai. Yang sedikit aneh adalah ada Helipad di sini dan sebuah hotel yang dikelola swasta (tapi tentu bukan bangunan permanen). Semua perahu yang membawa pengunjung harus mendaftar di sini dahulu baru boleh melanjutkan ke pulau-pulau lain. Sebagai info, bila hendak menginap di barak harganya Rp 250rb/kapasitas 8 orang atau kamar hotel itu seharga Rp 600rb-1jt/kapasitas 2 orang. Kami tak mendapatkan barak karena sudah penuh, namun berkat lobi dengan Pak Heri dari TN, kami diijinkan menggunakan menggunakan asrama petugas TN.

Pohon tua yang masih menghiasi hutan
Aktivitas pertama di Peucang adalah trekking di hutan menuju ujung barat pulau bernama Karang Copong (bolong) sementara tim lain memilih memancing di laut, hanya sejam menurut info di papan informasi tapi karena banyak observasi dan memfoto kami pun menghabiskan waktu dua jam untuk sampai di sana. Hutan di Peucang secara sekilas seragam, variasi vegetasinya tak terlalu banyak dan bahkan umur tanaman tertua pun nampak sama. Nanti di Handeuleum maupun di Taman Jaya pun akan melihat pola ini. Hal ini dikarenakan karena proses pertumbuhan mereka dimulai di waktu yang sama yakni pasca mega-tsunami Krakatau 1883. Tsunami itu meluluhlantakkan seluruh tanjung, menghabisi semua kehidupan namun di sisi lain membawa benih-benih yang punya ketahanan lama. Saat air surut dan tanah kembali muncul, benih-benih seperti Butun, Kepuh, Kopo, Nyamplung, Kiara, Ketapang, Pandan Laut dan vegetasi lain pun tumbuh, hampir di waktu yang sama dan beranak pinak. Karena tanah ini tak dihuni manusia dalam periode yang panjang, ekosistem flora dan faunanya relatif tidak terganggu dan berada dalam kondisi baik. Itulah alasan kenapa kawasan ini menjadi Taman Nasional yang pertama di Indonesia dan dijadikan warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1992 dengan luas daratan sekitar 79rb Ha dan perairan 45rb Ha.

Di pohon Kiara yang memukau
Ujung barat Pulau Peucang ini indah karena karang yang bentuknya menarik (copong atau bolong.pen), air biru jernih memanja mata, dan ikan-ikan hias yang indah yang dapat anda temui terjebak di ceruk-ceruk karang, bahkan bulu babi pun ada. Di ujung barat ini, berdiri dua buah karang yang menyendiri dimana masing-masing dihuni oleh sekelompok burung Cangak serta Kelelawar. Merekalah bingkai bagi lukisan sang surya tenggelam kami petang itu. Konsekuensinya, kembali melewati hutan dalam kegelapan!

Setelah mengisi perut dengan ikan hasil pancingan tim Dion dkk, malam pun dilewati dengan gemerisik suara rusa, monyet dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar rumah. Angin bertiup sangat kencang, kamipun terlelap dan tak terasa pagi telah hadir terlalu awal. Rutinitas berulang yakni memburu gambar matahari terbit.

Pesona pasir putih pantai Peucang
Pagi itu kami menikmati snorkeling kami dengan perahu yang mengantar kami ke spot favorit, meski relatif tak terlalu kaya variasi terumbunya, air di spot ini pun agak keruh namun jenis ikannya kaya, yang paling mengejutkan adalah banyak ubur-ubur kecil. Sengatannya lumayan mengagetkan dan gatal, maka bila hendak snorkeling di sini sebaiknya kenakan pakaian yang menutup seluruh badan.

Siang pasca makan ikan segar lagi, perjalanan dilanjutkan ke Padang Penggembalaan Cidaon. Lokasinya berada di ujung Pulau Jawa, berjarak hanya 15 menit berperahu dari Peucang. Sebuah dermaga menyambut kami yang penasaran untuk melihat kawanan hewan liar di padang itu. Kira-kira 15 menit berjalan kaki lewat rawa kering berisi nipah dan monyet ekor panjang kami melihat hamparan luas padang terbuka dengan sebuah menara pengawas. Inilah yang kami cari, di kejauhan tampak kawanan Banteng Jawa sedang merumput, Burung Cekakak beterbangan dari pucuk pohon, dan saat kami menyusuri padang ini, tampak lima ekor burung merak (dua di antaranya jantan) juga sedang mencari makan.

Kawanan banteng di Padang Penggembalaan Cidaon
Perjalanan pulang dilanjutkan menuju perhentian berikutnya yakni Pulau Handeuleum, pulau sepi dimana sebuah pos resort TN berada, karena itu pulau ini memiliki dermaga. Pulau ini dan juga pulau sekitar dominan dengan eksosistem pantainya berupa bakau yang cukup luas menutup pinggiran. Pulau ini merupakan pulau yang indah untuk camping karena memiliki halaman luas di depan kantornya yang langsung menghadap laut dan langit luas. Maka jika tak dapat penginapan di Peucang, dirikan saja tenda di sini. Selain tempat camping, pulau ini terkenal sebagai tempat canoeing menyusuri Sungai Cigenter. Biaya sewanya perahu dihitung perorang sekitar 50rb orang atau 500rb untuk satu perahu (mahal euy....). Menurut Pak Heri, jika beruntung, dalam perjalanan dengan sampan itu akan menemui badak, piton atau bahkan buaya muara di tepiannya.

Tepat saat matahari mulai turun, langit mulai teduh, udara mulai terasa dingin, kami menjauhi cakrawala dan menuju kembali ke Taman Jaya, ke homestay Pak Komar dan berharap masih ada kamar. Selepas magrib kami sampai di dermaga dan berjalan ke homestay, tempat itu sudah banyak orang dan benar saja, hanya tersisa satu kamar. Alhasil sebagian tidur di luar berselimut hembusan angin laut. Kamipun terlelap sambil berucap syukur.


Sunset di ujung barat Peucang, Pantai Karang Copong
Akhirnya semua tuntas, meski pendek yang dimiliki namun banyak yang dinikmati dan dirasakan, waktu yang menyenangkan, lelah yang terbayar lunas, pertemanan baru dan hasrat untuk kembali dan melengkapi episode lain Ujung Kulon yakni trekking menembus hutan dari Taman Jaya menuju Cidaon selama 3 hari 2 malam, amieen….semoga terwujud! Terimakasih untuk Dion dan rombongannya, Yolanda, Bronwyn, dan Iron. Semoga suatu saat bisa bertemu dan berjalan bersama lagi. Ciao! (W&Y, Ags14)

Selasa, 01 Juli 2014

Kala para Tukik Kembali ke Lautan Luas di Pangumbahan, Ujung Genteng


Para Tukik Berlarian menuju Laut Lepas di Pantai Pangumbahan
Dari peta produksi Google, untuk menuju Ujung Genteng kami mengambil jalur melewati Jampang Kulon, Surade. Masih teringat bahwa jalan yang dilewati merupakan jalanan yang panjang dan melelahkan, kondisi jalan masih sama seperti yang kami bayangkan yakni jalanan kualitas jalan kecamatan yang tak terlalu baik apabila telah meninggalkan kota. Cukup menyiksa bagi yang harus duduk di jok sepeda motor tapi tetap saja kami menikmati perjalanan itu. Untuk petunjuk arah tersedia cukup banyak sehingga jangan khawatir akan tersesat.

Air Terjun Luhur Cigangsa
Setelah melewati perjalanan panjang tanpa henti, di tengah perjalanan menuju Ujung Genteng kami melihat sebuah petunjuk keberadaan sebuah air terjun bernama Air Terjun Luhur Cigangsa, kamipun memutuskan untuk berbelok di sana. Ketika jalan aspal berakhir, kami menitipkan kendaraan di rumah penduduk dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah di tepi sungai. Dari pinggir nampak sungai dengan batuan kapur di tengahnya dan tampak seperti patah-patah, aliran air tak terlalu istimewa layaknya sungai biasa di Jawa Barat namun setelah sampai di ujung jalan, kami harus turun lagi sampai kira-kira 30 meter dan barulah tampak bagian yang indah yakni ketika tiba-tiba sungai seperti melesak patah ke bawah meninggalkan tepian batuan kapur yang berlapis majemuk menjadi kanvas bagi lukisan dari air yang mengalir lembut di sela-sela batuan itu. Lebar atas air terjun ini sekitar 25 meter, jadi cukup lebar untuk membentuk aliran yang cantik. Di bagian bawah terdapat seperti tampungan berupa kolam yang sebagian batuannya datar tempat untuk mengambil foto bagi pemotret. Air dari kolam ini kemudian mengalir lagi ke patahan kedua yang lebih sempit dan dalam untuk kemudian mengalir melewati sungai yang relatif datar.

Di sini lelah setelah berkendaraan terbayar untuk sementara, beristirahat sambil merasakkan segarnya air dan hembusan angin. Namun perjalanan harus dilanjutkan, menurut perkiraan sekitar 1,5 jam lagi kami bisa sampai di Ujung Genteng dan lebih enak untuk sampai sebelum gelap untuk mencari tempat menginap yang pas dan cocok dengan kantong.

Surfer di Pangumbahan, Ujung Genteng
Ada banyak penginapan di sini namun cukup mengagetkan karena rate-nya cukup tinggi, meskipun kami berada di sana saat akhir minggu tetap saja rate-nya luar biasa. Untuk hotel dengan kualifikasi hotel bintang dua pun dibandrol rata-rata 400-700 ribu. Berkat informasi salah satu warga, untuk mendapatkan penginapan yang relatif murah disarankan untuk mencarinya dekat dengan Pantai Pangumbahan atau dekat site surfing, dan benar saja, ketika menjelajahi kawasan ini penginapannya relatif lebih murah yakni antara 100-200 ribu dan sama-sama mendapatkan pemandangan sunset indah karena berada dekat pantai dan di sini bisa memesan makan lengkap termasuk ikan segar bakar/goreng yang disajikan di depan kamar...mmmmm yummi!

Senja di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng
Pantai Pangumbahan memang dikenal sebagai spot surfing, pantainya masih relatif sepi dan selain itu di pantai ini terdapat area konservasi dan penetasan penyu sisik, hampir setiap hari pk 17.00 ada pelepasan penyu di pantai ini ketika banyak wisatawan berkunjung. Jadi bila sore hari berada di sini, kita bisa menikmati tiga hal: menonton atau surfing, melepaskan tukik ke laut serta menikmati pemandangan matahari terbenam.

Hasil tangkapan dibawa ke TPI
Bila bangun pagi, keluarlah dari kamar dan hiruplah udara segar beraroma asin dari laut, sejenak menikmati air yang pasang di pinggiran cukup menyenangkan dilakukan sebelum mandi pagi dan sarapan. Namun jika hendak eksplorasi lebih jauh, tempat pelelang ikan adalah tempat yang menyenangkan, bagaimana tidak, melihat puluhan ikan segar yang ditenteng nelayan dari perahu-perahu untuk ditimbang dan dijual sungguh mengasyikkan, pasti setidaknya ingin membeli sedikit hasil laut segar itu dan dijadikan sarapan di penginapan, sedaaap. Pagi itupun diisi dengan acara berputar-putar dari TPI, kemudian pantai pendaratan perahu dan kembali masuk ke kawasan konservasi penyu Pangumbahan. 

Pantai Pasir Putih, Ujung Genteng
Karena masih dirasakan masih ada waktu untuk eskplorasi, kami memutuskan untuk mengunjungi Pantai Pasir Putih, salah satu pantai yang masih jarang dikunjungi, melewati jalanan tanah, berbatu, kemudian perladangan dan berakhir di kawasan hutan homogen kami berhenti dan meneruskannya dengan berjalan kaki ke Pantai Pasir Putih selama kira-kira 20 menit, di sana terdapat muara yang berakhir di pesisir pantai yang sangat panjang dan terbuka. Banyak para pemancing yang mencoba peruntungannya di muara ini, tapi kami memilih untuk hanya duduk dan memanjakan mata menikmati hamparan lautan.

Senja di Pelabuhan Ratu
Siang hari kunjungan di Ujung Genteng berakhir, perjalanan akan dilanjutkan menuju Pelabuhan Ratu, lokasi transit dan istirahat sebelum menuju Banten. Perjalanan selama tiga jam kembali dilalui, cukup melelahkan sampai akhirnya kelegaan terpancar ketika mencapai kota Pelabuhan Ratu untuk istirahat, kembali menikmati sunset tersaput mendung dan malam di kota ini. Selamat istirahat. (w&y)