Kamis, 26 September 2013

Dimulai dengan Cikurai

 
Cikurai pada rentang 1920-1940, koleksi Tropenmuseum

Jika mendengar kata Cikurai, mungkin tak banyak orang yang langsung ngeh jika itu adalah nama sebuah gunung. Gunung ini tepatnya berada di wilayah Kabupaten Garut. Area terdekat jika hendak mencarinya di google map atau google earth adalah di kawasan Perkebunan Teh Dayeuhmanggung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut bagian timur. Jika anda melewati jalur Garut-Tasikmalaya lewat Singaparna maka kaki gunung inilah yang Anda susuri.


Cikurai kini
Gunung ini menjulang setinggi 2818 meter di atas permukaan laut dan tampil seperti sebuah kerucut dengan punggungan tajam menanjak. Terbayang sudah jalur trek yang akan memaksa dengkul untuk sering bertemu dengan dagu kalau istilah kawan dari Garut sendiri, Abah Enties. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di wilayah Garut dibandingkan Gunung Papandayan (2622 mdpl) dan Gunung Guntur (2249 mdpl). Uniknya ketiganya memiliki karakter medan yang berbeda sama sekali , jadi puaslah bisa merasakan sensasi tiga gunung di Garut ini secara lengkap pada nantinya.

Kami berangkat dalam tim empat orang, aku, Wong, Abah dan Bayu dengan titik pertemuan di Garut pada Jumat malam. Sabtu pagi-pagi sekali kami telah ditunggu oleh angkot yang kami carter Rp 200.000 sampai di pemancar. Cara ini lebih simple karena tak perlu berpindah-pindah transportasi, barang-barang steady, dan kami bisa mampir untuk membeli sarapan di warung yang telah buka. Hitung-hitung jalan-jalan pagi. Keputusan ini kami syukuri setelah kami mengalami sendiri jalur dari jalan Garut-Tasik (Cilawu) menuju Stasiun Pemancar berupa jalan yang tersusun dari batu besar yang terkadang berlubang, tapi sejuk hembusan angin pagi dan pemandangan kebun teh pagi hari sungguh menghibur. Jika dilakukan dengan ojek akan lumayan menyiksa punggung sementara jika memilih berjalan kaki akan menyiksa lutut sebelum bertanding, namun anehnya kami menemukan rombongan dari Bogor yang berjalan kaki selama 3 jam sampai kaki Cikurai..wawwww. Hebat!


Lanskap perkebunan the Dayeuhmanggung

Hari masih sangat pagi, sekitar jam 7 kami sudah sampai di stasiun pemancar, masih sangat sepi. Sejenak kami menikmati indahnya pemandangan kebun teh di sekitar stasiun, mempelajari  jalur yang ada di sebuah pondok, menyiapkan mental dan repacking. Kamipun mulai melangkah menyusuri jalur teh yang masih berupa rumput dan tanah basah. Jalanan langsung menanjak dan terus menanjak sampai kami melewati  batas akhir kebun dan mulai memasuki hutan. Hutan tersebut berupa punggungan tajam, dan jalur pendakian mulai menyempit namun tetap menanjak. Mahfum lah kami dengan bentuk kerucut gunung ini, jalur pendakiannya memang senantiasa mendaki, dengkul ketemu dagu sering terjadi ketika harus melewati jalur akar-akar pohon.  Perjalanan terus berada seprti di lorong hijau hutan, tak sering ditemui  tempat datar dan lapang. Kelegaan baru dialami lima jam kemudian ketika kami tiba-tiba sampai di Pos 6 yang sering disebut Puncak Bayangan, tanah seluas lapangan badminton mempertontonkan puncak di sebelah kanan dan lembah di depan kami. Di sini lah baru istirahat terasa sangat direstui bumi, dan ini benar karena dua orang di antara kami sempat tidur siang beberapa menit sementara aku dan wong lebih suka mengambil gambar dan berbagi cerita.

Rehat di puncak bayangan
Setelah puas menikmati masa rehat, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri punggungan terakhir menuju puncak, kembali jalur hutan cuman bedanya di jalur ini sudah mulai terbuka. Nampak di kiri kanan ditemui tanah yang cukup untuk didirikan tenda, jalur juga mulai diwarnai dengan batu. Bisa diartikan bahwa area puncak sudah dekat karena bisa jadi itu adalah guguran batu dari puncak saat gunung ini tak lagi aktif, ini sih analisis sekenanya aja. Ternyata cukup makan waktu juga menuju ke puncak ini, hampir sekitar 2 jam kami baru mencapai daerah dengan batuan yang solid di sana-sini, semak ada di mana-mana, dan akhirnya..wallaaaa.....puncak Cikurai. Sebuah bendera merah putih berkibar tegas menyambut kami dan sebuah pondok permanen berukuran 2 x 2 seakan telah menunggu kami untuk memberi keteduhan di tengah terik hari. Pukul 2 siang kami sampai di puncak, tujuh jam kami habiskan untuk berjalan, tak penting itu lama atau cepat, yang penting kami sudah ada di titik paling tinggi menikmati lapisan awan dan kepakan burung layang-layang.
Berempat di puncak cikurai

Sayang kebersamaan kami tak lama, Abah memutuskan untuk langsung turun lagi karena ada pekerjaaan yang harus dikerjakan besoknya, ia seolah hanya mengantar kami sampai puncak lalu ketika tugas selesai, ia akan pulang sendiri. Sungguh orang yang baik hati, terimakasih Abah dan makin salut ketika waktu kami turun kami tahu bahwa kemarin ia jalan kaki dari puncak ke jalan besar Garut-Tasik melewati kebun teh saat senja hari......ajiib..!



Satu hal yang jarang kami temui namun dapat kami alami di puncak Cikurai ini adalah ngecamp di pondok permanen lalu menikmati matahari tenggelam. Sungguh luar biasa sensasi ini, menyaksikan matahari dan awan membentuk konfigurasi yang menakjubkan sampai akhirnya gelap melingkupi kami berganti bintang-bintang. Namun tantangannya juga besar yakni saat angin bertiup sangat kencang membawa butiran air menciptakan dingin yang menggigit sampai tulang, itulah konsekuensi membuat camp di puncak. Wong sempat mengalami efek dingin yang serius meski kemudian bisa teratasi sehingga bisa tidur cukup.


Saat surya tenggelam
View dari dalam shelter














Pagi-pagi sekitar jam 4 aku terbangun oleh niat untuk mengambil momen sunrise dan ternyata sudah ada banyak orang di luar pondok kami dengan tujuan yang sama, meriah sekali pagi itu. Sang matahari pun muncul menyambut kami dalam warnanya yang merah muda, menyampaikan salam bagi para pemuja keindahan. Gambar-gambar tersebut akan dengan senang hati kami bagi pada siapapun yang membuka tulisan ini.
Mentari merah muda saat terbit

Perjalanan pulang terasa melelahkan, empat jam waktu yang kami habiskan untuk turun dengan lutut yang mulai bergetar. Untunglah dengan perenc anaan yang antisipatif, kami sudah memesan jemputan kami kemarin di stasiun pemancar sehingga ketika hujan tiba kami sudah dalam perjalanan di dalam angkot carteran menuruni jalur-jalur teh Dayeuhmanggung menuju kota Garut.

Whew...cuma kelegaan dan syukur bisa kami rasakan, dan yang paling spesial bagi kami adalah bahwa perjalanan ini menjadi titik awal perjalanan-perjalanan berikutnya yang tak kalah menyenangkan. Akan kami share juga di sini jika pembaca tidak keberatan. Bye bye and thanks Cikurai. (Nov12-W&Y)


Terimakasih semesta, indahnya siang dari larik teh Dayeuhmanggung ini

 

Rabu, 25 September 2013

Ketika Semesta Mempertemukan Kami Kembali

matahari terbit kita pagi itu

Dia datang dari remang masa lalu, pernah di suatu masa ia hadir sebentar dan kemudian menghilang kembali. Tak sempat ia meninggalkan pendar cahayanya dalam mataku, maka jamaklah ketika memoriku tak sempat berkembang atasnya selain ia adalah seorang yang baik dan menyenangkan. Banyak orang mengatakan bahwa tak baiklah menjalin hubungan dengan seseorang hasil sebuah perjalanan karena sejatinya bukan pribadinya yang menyenangkan melainkan kehadirannya saat diri ini sendirian lah yang membuatnya nyaman. Taktala perjalanan itu usai maka kenangan itu tertinggal sebagai kenangan yang indah, so jangan menyeret momentum keindahan ke dalam dunia beku kehidupan yang membosankan, begitu para bijak menyarankan. Begitulah maka ketika aku pun terlupa olehnya, tak ada rasa sakit hati atau kerinduan. Hidupku melangkah sendiri untuk memahat relief jalan diriku, begitu pula dengannya, ukiran hidupnya ternyata telah terjalin rumit dan membatu tanpa perlu ada hadirku di sana, rasa bahagia dan senang, sakit dan derita adalah miliknya semata yang tak pernah pula dibagi padaku. So long my friend in travel.

Entah suatu kebetulan atau hanya kesempatan yang sama-sama tak disadari, ternyata aku telah lama bergeming di dekatnya. Perjalanan kami bukan tak bersisa, tanpa disadarinya aku selalu menemaninya setiap saat,saat lelah setelah bekerja, saat air mata tumpah di atas bantalnya, saat ia begitu bahagia dalam cinta, saat ia terdiam dan tenggelam dalam lamunan, saat ia berganti baju, berganti kekasih, berganti cerita, aku tetap di sana memandangnya dalam sunyi tanpa kata. Menyaksikan semua itu tapi tak berkomentar apapun atas semua jalan hidupnya. Apakah itu bisa diartikan bahwa aku membiarkannya mencari tujuan hidup tanpa hendak mengganggunya, aku tak tahu.

Tak disangka, waktu kembali berputar, bertahun-tahun kemudian aku dan dia bertemu kembali di titik yang sama di mana kami memulai dahulu, sebuah kerinduan yang lama, kegairahan yang sama atas sebuah perjalanan kembali membuncah, ia memang  teman seperjalanan yang menyenangkan. Namun ada yang berbeda kali ini, di atas bukit di tengah kabut, seiring mengeringnya peluh, sebuah ruang waktu seakan dihadirkan buat kami, menyisihkan manusia dan makhluk lain di sekitar agar kami punya waktu untuk berbicara dan saling mendengarkan kisah kami.  Baru kutahu kepahitan yang dialaminya, baru kusadari betapa indah pernah ia rasa meski tanpaku, dan aku bahagia mendengar ia bahagia namun juga ikut bersedih saat kemuraman dan keputusasaan juga muncul dari bibir tipisnya yang indah. Ada rasa simpati betapa sang pemilik mata sayu dan bibir indah ini ternyata disakiti begitu rupa, terlalu banyak keputusan salah yang diambil namun tak bisa semua diulang, tak lain hanya penghiburan yang bisa kuberi. Malam pun menjelang, dingin mulai menusuk-nusuk tulang, lembaran-lembaran kain harus dirapatkan ke tubuh untuk mengumpulkan hangat. Mentari pun sirna, berganti malam dan gemintang yang disaput angin kencang badai puncak gunung.

Dalam gigitan malam itu, sebuah ceracau membangunkanku, panggilan dari tubuh yang menggigil kehilangan panas, suaranya bagaikan sedang mengalami mimpi buruk. Antara sadar dan tak sadar kuberikan hangat tubuhku agar berhenti igauan itu, sebuah dekapan bisa berarti besar saat itu. Tak seberapa lama tubuhnya meringkuk rapat di tubuhku dan ceracau ribut itu sirna, nafasnya kembali teratur, kurasakan tidurnya kembali pulas, kueratkan pelukanku di tubuhnya untuk memastikan ia bisa terlelap dengan nyaman hingga pagi menjelang, dan kamipun tenggelam dalam tidur yang dalam sambil menanti fajar datang menghibur mata sembab kami. Baru kusadari dengan penuh saat pagi menjelang kutelah mendekapnya begitu rapat, ia masih terlelap, begitu nyaman. Kupandang wajahnya kala itu, dan aku merasa bahwa wajah itu sekarang begitu kenal, begitu akrab, dan tak pernah jauh dariku, ia pernah hadir sebelum ia menghilang.

Sebuah garis waktu memerangkap kami kemudian dalam rangkaian kisah siang dan malam ketika cerita tak lagi sama, dilema berhadapan pada diri masing-masing untuk membuat sebuah keputusan. Rangkaian ragu mengantarkan kami pada sebuah perjalanan batin yang berliku, berkelindan dengan harapan dan kenyataan yang ada di depan mata. Berulang kembali kisah-kisah sakit hati maupun simpati, namun yang paling nyata adalah sebuah mimpi bahwa masing-masing menginginkan masa depan yang bahagia dengan cara saling membahagiakan. Benar bahwa cinta datang dalam cara yang misterius, jalinan ragu, cemburu, ketidakyakinan yang ada justru menuju sebuah titik kesatuan yang mendalam. Tanpa ada upacara, tanpa kalimat-kalimat janji, hanya dengan pandangan mata dan bahasa tubuh masing-masing, kamipun menyatu. Kesatuan itulah yang memulakan jalan berliku dan penuh duri kami sampai saat ini.

Saat jemari tak pernah mau terlepas, saling memagut tanpa hendak melepaskannya kami menyusuri jalan sunyi kami. Di tengah keramaian dunia kami tahu bahwa pada dasarnya kami sendirian karena hanya kami yang bisa memaknai jalan dan pilihan janggal ini. Jalan-jalan tanah ini adalah lorong perjalanan kami, kami menyusun satu persatu batu bagi jalan kami untuk kaki kami melangkah. Puluhan kali kaki-kaki ini terantuk, sesekali mereka berhenti untuk kemudian melangkah lagi. Tak selalu seirama, tak senantiasa pasti, namun kami percaya bahwa jalan ziarah kami sedang dimulai dan tak akan berhenti sampai semesta mencabut semua niatan ini, ialah yang mempertemukan kami maka ia jugalah yang bisa memisahkannya. Inilah jalan kami, perjalanan mencari ujung pelangi kebahagiaan.  Bersamamu aku percaya kekasihku, seperti waktu telah bersabar untuk mempertemukan kita kembali, aku percaya kita pun akan bersahabat dengan sang waktu. (W&Y)


suatu pagi di puncak cikurai