Cikurai pada rentang 1920-1940, koleksi Tropenmuseum |
Jika mendengar kata Cikurai, mungkin tak banyak orang yang langsung ngeh jika itu adalah nama sebuah gunung. Gunung ini tepatnya berada di wilayah Kabupaten Garut. Area terdekat jika hendak mencarinya di google map atau google earth adalah di kawasan Perkebunan Teh Dayeuhmanggung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut bagian timur. Jika anda melewati jalur Garut-Tasikmalaya lewat Singaparna maka kaki gunung inilah yang Anda susuri.
Cikurai kini |
Gunung ini menjulang setinggi 2818 meter di atas permukaan
laut dan tampil seperti sebuah kerucut dengan punggungan tajam menanjak.
Terbayang sudah jalur trek yang akan memaksa dengkul untuk sering bertemu
dengan dagu kalau istilah kawan dari Garut sendiri, Abah Enties. Gunung ini
merupakan gunung tertinggi di wilayah Garut dibandingkan Gunung Papandayan
(2622 mdpl) dan Gunung Guntur (2249 mdpl). Uniknya ketiganya memiliki karakter
medan yang berbeda sama sekali , jadi puaslah bisa merasakan sensasi tiga
gunung di Garut ini secara lengkap pada nantinya.
Kami berangkat dalam tim empat orang, aku, Wong, Abah dan
Bayu dengan titik pertemuan di Garut pada Jumat malam. Sabtu pagi-pagi sekali
kami telah ditunggu oleh angkot yang kami carter Rp 200.000 sampai di pemancar.
Cara ini lebih simple karena tak perlu berpindah-pindah transportasi,
barang-barang steady, dan kami bisa mampir untuk membeli sarapan di warung yang
telah buka. Hitung-hitung jalan-jalan pagi. Keputusan ini kami syukuri setelah
kami mengalami sendiri jalur dari jalan Garut-Tasik (Cilawu) menuju Stasiun
Pemancar berupa jalan yang tersusun dari batu besar yang terkadang berlubang,
tapi sejuk hembusan angin pagi dan pemandangan kebun teh pagi hari sungguh
menghibur. Jika dilakukan dengan ojek akan lumayan menyiksa punggung sementara
jika memilih berjalan kaki akan menyiksa lutut sebelum bertanding, namun
anehnya kami menemukan rombongan dari Bogor yang berjalan kaki selama 3 jam
sampai kaki Cikurai..wawwww. Hebat!
Lanskap perkebunan the Dayeuhmanggung |
Hari masih sangat pagi, sekitar jam 7 kami sudah sampai di
stasiun pemancar, masih sangat sepi. Sejenak kami menikmati indahnya
pemandangan kebun teh di sekitar stasiun, mempelajari jalur yang ada di sebuah pondok, menyiapkan
mental dan repacking. Kamipun mulai melangkah menyusuri jalur teh yang masih
berupa rumput dan tanah basah. Jalanan langsung menanjak dan terus menanjak
sampai kami melewati batas akhir kebun
dan mulai memasuki hutan. Hutan tersebut berupa punggungan tajam, dan jalur
pendakian mulai menyempit namun tetap menanjak. Mahfum lah kami dengan bentuk kerucut
gunung ini, jalur pendakiannya memang senantiasa mendaki, dengkul ketemu dagu
sering terjadi ketika harus melewati jalur akar-akar pohon. Perjalanan terus berada seprti di lorong
hijau hutan, tak sering ditemui tempat
datar dan lapang. Kelegaan baru dialami lima jam kemudian ketika kami tiba-tiba
sampai di Pos 6 yang sering disebut Puncak Bayangan, tanah seluas lapangan
badminton mempertontonkan puncak di sebelah kanan dan lembah di depan kami. Di
sini lah baru istirahat terasa sangat direstui bumi, dan ini benar karena dua
orang di antara kami sempat tidur siang beberapa menit sementara aku dan wong
lebih suka mengambil gambar dan berbagi cerita.
Rehat di puncak bayangan |
Setelah puas menikmati masa rehat, perjalanan dilanjutkan
dengan menyusuri punggungan terakhir menuju puncak, kembali jalur hutan cuman
bedanya di jalur ini sudah mulai terbuka. Nampak di kiri kanan ditemui tanah
yang cukup untuk didirikan tenda, jalur juga mulai diwarnai dengan batu. Bisa
diartikan bahwa area puncak sudah dekat karena bisa jadi itu adalah guguran
batu dari puncak saat gunung ini tak lagi aktif, ini sih analisis sekenanya aja.
Ternyata cukup makan waktu juga menuju ke puncak ini, hampir sekitar 2 jam kami
baru mencapai daerah dengan batuan yang solid di sana-sini, semak ada di
mana-mana, dan akhirnya..wallaaaa.....puncak Cikurai. Sebuah bendera merah
putih berkibar tegas menyambut kami dan sebuah pondok permanen berukuran 2 x 2
seakan telah menunggu kami untuk memberi keteduhan di tengah terik hari. Pukul
2 siang kami sampai di puncak, tujuh jam kami habiskan untuk berjalan, tak
penting itu lama atau cepat, yang penting kami sudah ada di titik paling tinggi
menikmati lapisan awan dan kepakan burung layang-layang.
Berempat di puncak cikurai |
Sayang kebersamaan kami tak lama, Abah memutuskan untuk
langsung turun lagi karena ada pekerjaaan yang harus dikerjakan besoknya, ia
seolah hanya mengantar kami sampai puncak lalu ketika tugas selesai, ia akan
pulang sendiri. Sungguh orang yang baik hati, terimakasih Abah dan makin salut
ketika waktu kami turun kami tahu bahwa kemarin ia jalan kaki dari puncak ke
jalan besar Garut-Tasik melewati kebun teh saat senja hari......ajiib..!
Satu hal yang jarang kami temui namun dapat kami alami di puncak Cikurai ini adalah ngecamp di pondok permanen lalu menikmati matahari tenggelam. Sungguh luar biasa sensasi ini, menyaksikan matahari dan awan membentuk konfigurasi yang menakjubkan sampai akhirnya gelap melingkupi kami berganti bintang-bintang. Namun tantangannya juga besar yakni saat angin bertiup sangat kencang membawa butiran air menciptakan dingin yang menggigit sampai tulang, itulah konsekuensi membuat camp di puncak. Wong sempat mengalami efek dingin yang serius meski kemudian bisa teratasi sehingga bisa tidur cukup.
Pagi-pagi sekitar jam 4 aku terbangun oleh niat untuk mengambil momen sunrise dan ternyata sudah ada banyak orang di luar pondok kami dengan tujuan yang sama, meriah sekali pagi itu. Sang matahari pun muncul menyambut kami dalam warnanya yang merah muda, menyampaikan salam bagi para pemuja keindahan. Gambar-gambar tersebut akan dengan senang hati kami bagi pada siapapun yang membuka tulisan ini.
Saat surya tenggelam |
View dari dalam shelter |
Pagi-pagi sekitar jam 4 aku terbangun oleh niat untuk mengambil momen sunrise dan ternyata sudah ada banyak orang di luar pondok kami dengan tujuan yang sama, meriah sekali pagi itu. Sang matahari pun muncul menyambut kami dalam warnanya yang merah muda, menyampaikan salam bagi para pemuja keindahan. Gambar-gambar tersebut akan dengan senang hati kami bagi pada siapapun yang membuka tulisan ini.
Mentari merah muda saat terbit |
Perjalanan pulang terasa melelahkan, empat jam waktu yang
kami habiskan untuk turun dengan lutut yang mulai bergetar. Untunglah dengan
perenc anaan yang antisipatif, kami sudah memesan jemputan kami kemarin di
stasiun pemancar sehingga ketika hujan tiba kami sudah dalam perjalanan di
dalam angkot carteran menuruni jalur-jalur teh Dayeuhmanggung menuju kota
Garut.
Whew...cuma kelegaan dan syukur bisa kami rasakan, dan yang
paling spesial bagi kami adalah bahwa perjalanan ini menjadi titik awal
perjalanan-perjalanan berikutnya yang tak kalah menyenangkan. Akan kami share
juga di sini jika pembaca tidak keberatan. Bye bye and thanks Cikurai. (Nov12-W&Y)
Terimakasih semesta, indahnya siang dari larik teh Dayeuhmanggung ini |