Rabu, 25 September 2013

Ketika Semesta Mempertemukan Kami Kembali

matahari terbit kita pagi itu

Dia datang dari remang masa lalu, pernah di suatu masa ia hadir sebentar dan kemudian menghilang kembali. Tak sempat ia meninggalkan pendar cahayanya dalam mataku, maka jamaklah ketika memoriku tak sempat berkembang atasnya selain ia adalah seorang yang baik dan menyenangkan. Banyak orang mengatakan bahwa tak baiklah menjalin hubungan dengan seseorang hasil sebuah perjalanan karena sejatinya bukan pribadinya yang menyenangkan melainkan kehadirannya saat diri ini sendirian lah yang membuatnya nyaman. Taktala perjalanan itu usai maka kenangan itu tertinggal sebagai kenangan yang indah, so jangan menyeret momentum keindahan ke dalam dunia beku kehidupan yang membosankan, begitu para bijak menyarankan. Begitulah maka ketika aku pun terlupa olehnya, tak ada rasa sakit hati atau kerinduan. Hidupku melangkah sendiri untuk memahat relief jalan diriku, begitu pula dengannya, ukiran hidupnya ternyata telah terjalin rumit dan membatu tanpa perlu ada hadirku di sana, rasa bahagia dan senang, sakit dan derita adalah miliknya semata yang tak pernah pula dibagi padaku. So long my friend in travel.

Entah suatu kebetulan atau hanya kesempatan yang sama-sama tak disadari, ternyata aku telah lama bergeming di dekatnya. Perjalanan kami bukan tak bersisa, tanpa disadarinya aku selalu menemaninya setiap saat,saat lelah setelah bekerja, saat air mata tumpah di atas bantalnya, saat ia begitu bahagia dalam cinta, saat ia terdiam dan tenggelam dalam lamunan, saat ia berganti baju, berganti kekasih, berganti cerita, aku tetap di sana memandangnya dalam sunyi tanpa kata. Menyaksikan semua itu tapi tak berkomentar apapun atas semua jalan hidupnya. Apakah itu bisa diartikan bahwa aku membiarkannya mencari tujuan hidup tanpa hendak mengganggunya, aku tak tahu.

Tak disangka, waktu kembali berputar, bertahun-tahun kemudian aku dan dia bertemu kembali di titik yang sama di mana kami memulai dahulu, sebuah kerinduan yang lama, kegairahan yang sama atas sebuah perjalanan kembali membuncah, ia memang  teman seperjalanan yang menyenangkan. Namun ada yang berbeda kali ini, di atas bukit di tengah kabut, seiring mengeringnya peluh, sebuah ruang waktu seakan dihadirkan buat kami, menyisihkan manusia dan makhluk lain di sekitar agar kami punya waktu untuk berbicara dan saling mendengarkan kisah kami.  Baru kutahu kepahitan yang dialaminya, baru kusadari betapa indah pernah ia rasa meski tanpaku, dan aku bahagia mendengar ia bahagia namun juga ikut bersedih saat kemuraman dan keputusasaan juga muncul dari bibir tipisnya yang indah. Ada rasa simpati betapa sang pemilik mata sayu dan bibir indah ini ternyata disakiti begitu rupa, terlalu banyak keputusan salah yang diambil namun tak bisa semua diulang, tak lain hanya penghiburan yang bisa kuberi. Malam pun menjelang, dingin mulai menusuk-nusuk tulang, lembaran-lembaran kain harus dirapatkan ke tubuh untuk mengumpulkan hangat. Mentari pun sirna, berganti malam dan gemintang yang disaput angin kencang badai puncak gunung.

Dalam gigitan malam itu, sebuah ceracau membangunkanku, panggilan dari tubuh yang menggigil kehilangan panas, suaranya bagaikan sedang mengalami mimpi buruk. Antara sadar dan tak sadar kuberikan hangat tubuhku agar berhenti igauan itu, sebuah dekapan bisa berarti besar saat itu. Tak seberapa lama tubuhnya meringkuk rapat di tubuhku dan ceracau ribut itu sirna, nafasnya kembali teratur, kurasakan tidurnya kembali pulas, kueratkan pelukanku di tubuhnya untuk memastikan ia bisa terlelap dengan nyaman hingga pagi menjelang, dan kamipun tenggelam dalam tidur yang dalam sambil menanti fajar datang menghibur mata sembab kami. Baru kusadari dengan penuh saat pagi menjelang kutelah mendekapnya begitu rapat, ia masih terlelap, begitu nyaman. Kupandang wajahnya kala itu, dan aku merasa bahwa wajah itu sekarang begitu kenal, begitu akrab, dan tak pernah jauh dariku, ia pernah hadir sebelum ia menghilang.

Sebuah garis waktu memerangkap kami kemudian dalam rangkaian kisah siang dan malam ketika cerita tak lagi sama, dilema berhadapan pada diri masing-masing untuk membuat sebuah keputusan. Rangkaian ragu mengantarkan kami pada sebuah perjalanan batin yang berliku, berkelindan dengan harapan dan kenyataan yang ada di depan mata. Berulang kembali kisah-kisah sakit hati maupun simpati, namun yang paling nyata adalah sebuah mimpi bahwa masing-masing menginginkan masa depan yang bahagia dengan cara saling membahagiakan. Benar bahwa cinta datang dalam cara yang misterius, jalinan ragu, cemburu, ketidakyakinan yang ada justru menuju sebuah titik kesatuan yang mendalam. Tanpa ada upacara, tanpa kalimat-kalimat janji, hanya dengan pandangan mata dan bahasa tubuh masing-masing, kamipun menyatu. Kesatuan itulah yang memulakan jalan berliku dan penuh duri kami sampai saat ini.

Saat jemari tak pernah mau terlepas, saling memagut tanpa hendak melepaskannya kami menyusuri jalan sunyi kami. Di tengah keramaian dunia kami tahu bahwa pada dasarnya kami sendirian karena hanya kami yang bisa memaknai jalan dan pilihan janggal ini. Jalan-jalan tanah ini adalah lorong perjalanan kami, kami menyusun satu persatu batu bagi jalan kami untuk kaki kami melangkah. Puluhan kali kaki-kaki ini terantuk, sesekali mereka berhenti untuk kemudian melangkah lagi. Tak selalu seirama, tak senantiasa pasti, namun kami percaya bahwa jalan ziarah kami sedang dimulai dan tak akan berhenti sampai semesta mencabut semua niatan ini, ialah yang mempertemukan kami maka ia jugalah yang bisa memisahkannya. Inilah jalan kami, perjalanan mencari ujung pelangi kebahagiaan.  Bersamamu aku percaya kekasihku, seperti waktu telah bersabar untuk mempertemukan kita kembali, aku percaya kita pun akan bersahabat dengan sang waktu. (W&Y)


suatu pagi di puncak cikurai
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar