matahari terbit kita pagi itu |
Dia datang dari remang masa lalu, pernah di suatu masa ia
hadir sebentar dan kemudian menghilang kembali. Tak sempat ia meninggalkan
pendar cahayanya dalam mataku, maka jamaklah ketika memoriku tak sempat berkembang
atasnya selain ia adalah seorang yang baik dan menyenangkan. Banyak orang
mengatakan bahwa tak baiklah menjalin hubungan dengan seseorang hasil sebuah
perjalanan karena sejatinya bukan pribadinya yang menyenangkan melainkan
kehadirannya saat diri ini sendirian lah yang membuatnya nyaman. Taktala
perjalanan itu usai maka kenangan itu tertinggal sebagai kenangan yang indah,
so jangan menyeret momentum keindahan ke dalam dunia beku kehidupan yang
membosankan, begitu para bijak menyarankan. Begitulah maka ketika aku pun
terlupa olehnya, tak ada rasa sakit hati atau kerinduan. Hidupku melangkah
sendiri untuk memahat relief jalan diriku, begitu pula dengannya, ukiran
hidupnya ternyata telah terjalin rumit dan membatu tanpa perlu ada hadirku di
sana, rasa bahagia dan senang, sakit dan derita adalah miliknya semata yang tak
pernah pula dibagi padaku. So long my friend in travel.
Entah suatu kebetulan atau hanya kesempatan yang sama-sama
tak disadari, ternyata aku telah lama bergeming di dekatnya. Perjalanan kami
bukan tak bersisa, tanpa disadarinya aku selalu menemaninya setiap saat,saat
lelah setelah bekerja, saat air mata tumpah di atas bantalnya, saat ia begitu
bahagia dalam cinta, saat ia terdiam dan tenggelam dalam lamunan, saat ia
berganti baju, berganti kekasih, berganti cerita, aku tetap di sana
memandangnya dalam sunyi tanpa kata. Menyaksikan semua itu tapi tak berkomentar
apapun atas semua jalan hidupnya. Apakah itu bisa diartikan bahwa aku membiarkannya
mencari tujuan hidup tanpa hendak mengganggunya, aku tak tahu.
Tak disangka, waktu kembali berputar, bertahun-tahun
kemudian aku dan dia bertemu kembali di titik yang sama di mana kami memulai
dahulu, sebuah kerinduan yang lama, kegairahan yang sama atas sebuah perjalanan
kembali membuncah, ia memang teman
seperjalanan yang menyenangkan. Namun ada yang berbeda kali ini, di atas bukit
di tengah kabut, seiring mengeringnya peluh, sebuah ruang waktu seakan
dihadirkan buat kami, menyisihkan manusia dan makhluk lain di sekitar agar kami
punya waktu untuk berbicara dan saling mendengarkan kisah kami. Baru kutahu kepahitan yang dialaminya, baru
kusadari betapa indah pernah ia rasa meski tanpaku, dan aku bahagia mendengar
ia bahagia namun juga ikut bersedih saat kemuraman dan keputusasaan juga muncul
dari bibir tipisnya yang indah. Ada rasa simpati betapa sang pemilik mata sayu
dan bibir indah ini ternyata disakiti begitu rupa, terlalu banyak keputusan
salah yang diambil namun tak bisa semua diulang, tak lain hanya penghiburan
yang bisa kuberi. Malam pun menjelang, dingin mulai menusuk-nusuk tulang,
lembaran-lembaran kain harus dirapatkan ke tubuh untuk mengumpulkan hangat.
Mentari pun sirna, berganti malam dan gemintang yang disaput angin kencang
badai puncak gunung.
Dalam gigitan malam itu, sebuah ceracau membangunkanku,
panggilan dari tubuh yang menggigil kehilangan panas, suaranya bagaikan sedang
mengalami mimpi buruk. Antara sadar dan tak sadar kuberikan hangat tubuhku agar
berhenti igauan itu, sebuah dekapan bisa berarti besar saat itu. Tak seberapa lama
tubuhnya meringkuk rapat di tubuhku dan ceracau ribut itu sirna, nafasnya
kembali teratur, kurasakan tidurnya kembali pulas, kueratkan pelukanku di
tubuhnya untuk memastikan ia bisa terlelap dengan nyaman hingga pagi menjelang,
dan kamipun tenggelam dalam tidur yang dalam sambil menanti fajar datang
menghibur mata sembab kami. Baru kusadari dengan penuh saat pagi menjelang
kutelah mendekapnya begitu rapat, ia masih terlelap, begitu nyaman. Kupandang
wajahnya kala itu, dan aku merasa bahwa wajah itu sekarang begitu kenal, begitu
akrab, dan tak pernah jauh dariku, ia pernah hadir sebelum ia menghilang.
Sebuah garis waktu memerangkap kami kemudian dalam rangkaian
kisah siang dan malam ketika cerita tak lagi sama, dilema berhadapan pada diri
masing-masing untuk membuat sebuah keputusan. Rangkaian ragu mengantarkan kami
pada sebuah perjalanan batin yang berliku, berkelindan dengan harapan dan
kenyataan yang ada di depan mata. Berulang kembali kisah-kisah sakit hati
maupun simpati, namun yang paling nyata adalah sebuah mimpi bahwa masing-masing
menginginkan masa depan yang bahagia dengan cara saling membahagiakan. Benar
bahwa cinta datang dalam cara yang misterius, jalinan ragu, cemburu,
ketidakyakinan yang ada justru menuju sebuah titik kesatuan yang mendalam. Tanpa
ada upacara, tanpa kalimat-kalimat janji, hanya dengan pandangan mata dan
bahasa tubuh masing-masing, kamipun menyatu. Kesatuan itulah yang memulakan
jalan berliku dan penuh duri kami sampai saat ini.
Saat jemari tak pernah mau terlepas, saling memagut tanpa
hendak melepaskannya kami menyusuri jalan sunyi kami. Di tengah keramaian dunia
kami tahu bahwa pada dasarnya kami sendirian karena hanya kami yang bisa
memaknai jalan dan pilihan janggal ini. Jalan-jalan tanah ini adalah lorong
perjalanan kami, kami menyusun satu persatu batu bagi jalan kami untuk kaki
kami melangkah. Puluhan kali kaki-kaki ini terantuk, sesekali mereka berhenti
untuk kemudian melangkah lagi. Tak selalu seirama, tak senantiasa pasti, namun
kami percaya bahwa jalan ziarah kami sedang dimulai dan tak akan berhenti
sampai semesta mencabut semua niatan ini, ialah yang mempertemukan kami maka ia
jugalah yang bisa memisahkannya. Inilah jalan kami, perjalanan mencari ujung
pelangi kebahagiaan. Bersamamu aku
percaya kekasihku, seperti waktu telah bersabar untuk mempertemukan kita
kembali, aku percaya kita pun akan bersahabat dengan sang waktu. (W&Y)
suatu pagi di puncak cikurai |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar