Kamis, 21 Agustus 2014

Ujung Kulon: Surga Eskapis di Ujung Jawa

Pantai Pulau Peucang, Ujung Kulon
Alur perjalanan selama paket dua hari satu malam yang diatur dengan tukang perahu adalah berangkat dari Taman Jaya ke Pulau Peucang (2,5 jam perjalanan) untuk registrasi dan pesan tempat, kemudian eksplorasi kawasan Pulau Peucang. Esoknya adalah waktu untuk snorkeling dan menuju Padang Penggembalaan Cidaon, mengunjungi Pulau Handeuleum kemudian kembali ke Taman Jaya pada sore harinya.

Seluruh tim berfoto di demaga Pulau Peucang
Pulau Peucang merupakan satu pulau di tanjung ini di mana pos taman nasional berada, di sini semua informasi tersedia, ada tempat untuk registrasi, mendapatkan penginapan berupa barak petugas dan dermaga yang memadai. Yang sedikit aneh adalah ada Helipad di sini dan sebuah hotel yang dikelola swasta (tapi tentu bukan bangunan permanen). Semua perahu yang membawa pengunjung harus mendaftar di sini dahulu baru boleh melanjutkan ke pulau-pulau lain. Sebagai info, bila hendak menginap di barak harganya Rp 250rb/kapasitas 8 orang atau kamar hotel itu seharga Rp 600rb-1jt/kapasitas 2 orang. Kami tak mendapatkan barak karena sudah penuh, namun berkat lobi dengan Pak Heri dari TN, kami diijinkan menggunakan menggunakan asrama petugas TN.

Pohon tua yang masih menghiasi hutan
Aktivitas pertama di Peucang adalah trekking di hutan menuju ujung barat pulau bernama Karang Copong (bolong) sementara tim lain memilih memancing di laut, hanya sejam menurut info di papan informasi tapi karena banyak observasi dan memfoto kami pun menghabiskan waktu dua jam untuk sampai di sana. Hutan di Peucang secara sekilas seragam, variasi vegetasinya tak terlalu banyak dan bahkan umur tanaman tertua pun nampak sama. Nanti di Handeuleum maupun di Taman Jaya pun akan melihat pola ini. Hal ini dikarenakan karena proses pertumbuhan mereka dimulai di waktu yang sama yakni pasca mega-tsunami Krakatau 1883. Tsunami itu meluluhlantakkan seluruh tanjung, menghabisi semua kehidupan namun di sisi lain membawa benih-benih yang punya ketahanan lama. Saat air surut dan tanah kembali muncul, benih-benih seperti Butun, Kepuh, Kopo, Nyamplung, Kiara, Ketapang, Pandan Laut dan vegetasi lain pun tumbuh, hampir di waktu yang sama dan beranak pinak. Karena tanah ini tak dihuni manusia dalam periode yang panjang, ekosistem flora dan faunanya relatif tidak terganggu dan berada dalam kondisi baik. Itulah alasan kenapa kawasan ini menjadi Taman Nasional yang pertama di Indonesia dan dijadikan warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1992 dengan luas daratan sekitar 79rb Ha dan perairan 45rb Ha.

Di pohon Kiara yang memukau
Ujung barat Pulau Peucang ini indah karena karang yang bentuknya menarik (copong atau bolong.pen), air biru jernih memanja mata, dan ikan-ikan hias yang indah yang dapat anda temui terjebak di ceruk-ceruk karang, bahkan bulu babi pun ada. Di ujung barat ini, berdiri dua buah karang yang menyendiri dimana masing-masing dihuni oleh sekelompok burung Cangak serta Kelelawar. Merekalah bingkai bagi lukisan sang surya tenggelam kami petang itu. Konsekuensinya, kembali melewati hutan dalam kegelapan!

Setelah mengisi perut dengan ikan hasil pancingan tim Dion dkk, malam pun dilewati dengan gemerisik suara rusa, monyet dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar rumah. Angin bertiup sangat kencang, kamipun terlelap dan tak terasa pagi telah hadir terlalu awal. Rutinitas berulang yakni memburu gambar matahari terbit.

Pesona pasir putih pantai Peucang
Pagi itu kami menikmati snorkeling kami dengan perahu yang mengantar kami ke spot favorit, meski relatif tak terlalu kaya variasi terumbunya, air di spot ini pun agak keruh namun jenis ikannya kaya, yang paling mengejutkan adalah banyak ubur-ubur kecil. Sengatannya lumayan mengagetkan dan gatal, maka bila hendak snorkeling di sini sebaiknya kenakan pakaian yang menutup seluruh badan.

Siang pasca makan ikan segar lagi, perjalanan dilanjutkan ke Padang Penggembalaan Cidaon. Lokasinya berada di ujung Pulau Jawa, berjarak hanya 15 menit berperahu dari Peucang. Sebuah dermaga menyambut kami yang penasaran untuk melihat kawanan hewan liar di padang itu. Kira-kira 15 menit berjalan kaki lewat rawa kering berisi nipah dan monyet ekor panjang kami melihat hamparan luas padang terbuka dengan sebuah menara pengawas. Inilah yang kami cari, di kejauhan tampak kawanan Banteng Jawa sedang merumput, Burung Cekakak beterbangan dari pucuk pohon, dan saat kami menyusuri padang ini, tampak lima ekor burung merak (dua di antaranya jantan) juga sedang mencari makan.

Kawanan banteng di Padang Penggembalaan Cidaon
Perjalanan pulang dilanjutkan menuju perhentian berikutnya yakni Pulau Handeuleum, pulau sepi dimana sebuah pos resort TN berada, karena itu pulau ini memiliki dermaga. Pulau ini dan juga pulau sekitar dominan dengan eksosistem pantainya berupa bakau yang cukup luas menutup pinggiran. Pulau ini merupakan pulau yang indah untuk camping karena memiliki halaman luas di depan kantornya yang langsung menghadap laut dan langit luas. Maka jika tak dapat penginapan di Peucang, dirikan saja tenda di sini. Selain tempat camping, pulau ini terkenal sebagai tempat canoeing menyusuri Sungai Cigenter. Biaya sewanya perahu dihitung perorang sekitar 50rb orang atau 500rb untuk satu perahu (mahal euy....). Menurut Pak Heri, jika beruntung, dalam perjalanan dengan sampan itu akan menemui badak, piton atau bahkan buaya muara di tepiannya.

Tepat saat matahari mulai turun, langit mulai teduh, udara mulai terasa dingin, kami menjauhi cakrawala dan menuju kembali ke Taman Jaya, ke homestay Pak Komar dan berharap masih ada kamar. Selepas magrib kami sampai di dermaga dan berjalan ke homestay, tempat itu sudah banyak orang dan benar saja, hanya tersisa satu kamar. Alhasil sebagian tidur di luar berselimut hembusan angin laut. Kamipun terlelap sambil berucap syukur.


Sunset di ujung barat Peucang, Pantai Karang Copong
Akhirnya semua tuntas, meski pendek yang dimiliki namun banyak yang dinikmati dan dirasakan, waktu yang menyenangkan, lelah yang terbayar lunas, pertemanan baru dan hasrat untuk kembali dan melengkapi episode lain Ujung Kulon yakni trekking menembus hutan dari Taman Jaya menuju Cidaon selama 3 hari 2 malam, amieen….semoga terwujud! Terimakasih untuk Dion dan rombongannya, Yolanda, Bronwyn, dan Iron. Semoga suatu saat bisa bertemu dan berjalan bersama lagi. Ciao! (W&Y, Ags14)

WHEN NATURE LEADS US FOR MAKING FRIENDS (Inspirasi di Gerbang Ujung Kulon)

Sunset di Tanjung Lesung
Apa bedanya pejalan dan pelancong, traveller dan turis? Keduanya mungkin menikmati hal yang sama, ibaratnya kita masuk di sebuah restoran dan mencari makanan favorit kita. Kita akan sama-sama duduk dan menikmati makanan yang sama, rasa yang sama dan bahkan harga yang sama. Lalu dimana bedanya? Apa yang kami rasakan barusan saat melakukan perjalanan ke Taman Nasional Ujung Kulon mungkin akan membantu menemukan jawaban atas pertanyaan di atas tadi. Setidaknya bagi saya.

Taman Nasional Ujung Kulon adalah sebuah nama area yang sudah lama menggelitik dan membangun rasa penasaran kami. Berbekal riset kecil, kebosanan saat libur lebaran di rumah, dan niat besar untuk mendapatkan tempat indah untuk dijelajahi maka diputuskanlah bahwa ke sana kami akan pergi. Ke sana, ke ujung peta pulau Jawa, ke sebuah tanjung besar dimana badak menjadi ikonnya. Setelah sholat Ied dan silaturahmi ke tetangga selesai, kami berangkat dari Tangerang. Jalur yang kami pilih adalah Cisauk – Cikupa – Balaraja – Serang- Pandeglang - Labuhan – Panimbang (Tj Lesung)- Sumur-Tamanjaya…dan jika beruntung, Pulau Peucang!

Pantai Kalicaa jelang petang
Terik sekali siang itu ketika harus melintasi jalanan, jalanan masih terasa padat oleh orang yang hendak bersilaturahmi. Setelah berjalan selama 5 jam sampailah kami di daerah yang bernama Panimbang, tentu nama ini tidak populer tapi kalau menyebut Tanjung Lesung pasti orang akan familiar. Tanjung Lesung adalah satu kawasan pantai komersial yang dimiliki swasta dimana dibangun resort dan pusat aktivitas keluarga yang sangat baik, bahkan cenderung mewah maka tak heran bila kawasan pantainya sangat bersih, tertata rapi dan teratur. Larik pantai tanpa sampah, pasir putih, jajaran pohon kelapa maupun pandan laut dan butun, gardu pandang, bangku duduk, dan lampu tembak membuat kawasan ini sangat indah memang. Tentu saja itu semua tak gratis, sekedar masuk dan parkir saja dikenakan biaya, Rp 50rb untuk motor dan Rp 100rb untuk mobil. Ada harga ada pelayanan, yang 100rb dapat salam dan senyum dari penjaganya sementara jangan kaget jika yang 50rb cuma dapat muka asem dan ucapan ketus!

Rumpon ikan di Pantai Kemuning, Tanjung Lesung
Saat sunset dilalui, kami mencari homestay untuk menginap karena seharian berkendara tentu sangat letih dan sangat tidak dianjurkan untuk jalan malam, terlebih jika menggunakan sepeda motor karena jalur yang akan dilewati sepi, jauh dan nantinya hancur. Harga homestay di Tanjung Lesung cukup mahal, penginapan sederhana tanpa AC dibandrol Rp 350rb, maka lebih baik mencari homestay yang agak di luar kawasan Tanjung Lesung. Dekat pertigaan jalan masuk Tj Lesung (Pasar Panimbang) kami menemukan plang homestay, di depannya ada bengkel tambal ban dan warung. Pemiliknya bernama Pak Aom, orang tua yang ramah yang tak keberatan ketika kami menawar 150rb untuk menginap semalam di homestaynya. Tak usah tanya fasilitas kamar, KM di luar..tapi yang asik adalah, mereka punya halaman belakang menghadap laut dan punya semacam pondok pancing. Cocok untuk memancing, sekedar ngopi sambil mendengar debur ombak, melihat taburan bintang dimalam hari atau menunggu sunrise esok pagi. Dan benar saja, di pagi harinya dengan latar depan rumpon-rumpon nelayan, kami menikmati sinar mentari yang terbit di sisi timur, perfect sunrise....

Patung Badak di gerbang kawasan TNUK
Puas menikmati pagi, perjalanan dilanjutkan menuju Taman Jaya yakni desa terakhir menuju Pulau Peucang, jarak waktu dari Panimbang ke Taman Jaya sekitar 3 jam dengan menyusuri jalan antara pemukiman, lahan perkebunan, hutan dan jika sudah sampai Kecamatan Sumur lintasannya bakal sejajar garis pantai (tapi bukan tepi pantai). Sebenarnya untuk menuju Peucang bisa juga dari kecamatan Sumur (1 jam sebelum Taman Jaya) tapi kami memilih di Taman Jaya karena petunjuknya begitu (???). Tapi ternyata pilihan kami tepat meskipun untuk sampai di Taman Jaya merupakan perjuangan keras karena harus melewati satu jam jalan yang rusak berat, sekitar 25 km jaraknya dari Sumur ke Taman Jaya. Di Taman Jaya ini kami mencari Homestay Sunda Jaya milik Pak Komar yang memang sudah sangat popular di kalangan backpacker. Orangnya sibuk dengan handphone (karena sedang musim padat kunjungan) tapi sangat ramah, helpful, dan homestaynya…..adeem…hanya berbiaya Rp 100rb per malam!!

Karena kami sampai di sini lewat tengah hari dan ternyata rombongan ke Peucang baru saja berangkat, maka terpaksalah kami menunggu, siapa tau ada rombongan yang bisa digabungin. Sebagai info, elemen paling mahal untuk ke Peucang adalah perahu. Untuk satu perahu dengan kapasitas 20 orang dan pemakaian 2 hari 1 malam, biayanya bisa sampai Rp 3jt, untuk kapasitas lebih kecil yakni 10-15 orang tidak jauh beda yakni IDR 2 jt. Itu belum termasuk biaya guide (petugas TNUK), biaya penginapan/barak di Peucang (tidak boleh camping di Peucang), logistik, biaya pemasak di kapal (jika minta dimasakkan), dan tiket masuk kawasan Taman Nasional (Rp 5rb/orang sampai akhir Agustus 2014). Lama menunggu tanpa ada kabar, waktu pun dihabiskan dengan berjalan-jalan di tepian pantai, dermaga bahkan keliling desa namun tetap tak ada rombongan lain yang datang. Tampaknya kami harus rela tak bisa mencapai Peucang, mungkin lain kali lah, tapi ternyata peruntungan kami berubah.

Pemandangan dari depan homestay Taman Jaya
Malam-malam kesunyian terusik dengan datangnya rombongan keluarga yang tampaknya akan menyeberang ke Peucang karena sudah membawa peralatan lengkap untuk eksplorasi pulau dan laut. Diakui ada rasa sungkan ketika melihat rombongan datang dengan jauh lebih lengkap dan full facility seperti itu, ada rasa inferior sedikit sehingga menghambat komunikasi. Mungkin perasaan pertama selalu begitu karena belum mengenal.

Pagi-pagi, kami berdua melihat ada rombongan kecil lain, ada yang berbeda dengan rombongan besar sebelumnya yang datang. Mereka tampaknya sama dengan kami, datang dengan kelompok kecil, untung-untungan akan dapat perahu, dan sama-sama menunggu kebaikan orang. Dan benar saja, mereka bertiga pun berbeda grup, satu orang datang sendiri sementara dua bersama. Lima orang terkumpul, masih terlalu mahal untuk menyewa perahu. Kembali kami menunggu.

Sempat menikmati sunset di dermaga Taman Jaya
Tak disangka, Om Indra, salah satu dari rombongan yang datang malam tadi justru yang menyapa terlebih dahulu saat saya membuat kopi pagi. Ia menanyakan apakah kami hendak ke Peucang juga, saya jawab iya tapi kami menunggu rombongan lain agar bisa sharing biaya boat. Keberuntungan kami, Om Indra justru menawarkan untuk bergabung karena mereka cuma berdelapan, masih ada ruang cukup untuk kami. Sungguh sapaan itu tak bisa dilupakan, karena sapaan sederhana itu menghasilkan dua hal: satu, menghapus inferioritas dan prasangka saya atas status, dan kedua, membuat kami berkesempatan untuk ke Peucang setelah hampir putus harapan. Terimakasih Om Indra, Om Andy, Om Awi dan Koh Dion, Regi serta para tante yang supeer!

Setelah bergabung di perahu, berkesempatanlah kami mengobrol dan tahulah kami bahwa mereka pun sudah melakukan perjalanan banyak kali, pengalaman travel mereka sudah bejibun, dan saya pikir itulah yang membuat mereka punya sikap terbuka. Para pejalan adalah orang terbuka karena telah melalui interaksi yang bebas, beragam, dan tak punya rasa khawatir atau curiga tanpa alasan, dan saya harus belajar itu. Rasa inferior saya salah! Seandainya tak ada sapa pagi itu, mungkin kami tak bisa menuntaskan penasaran kami.
Bersama mereka yang bergitu ramah, terbuka dan baik hati lebih terasa lagi bahwa dunia traveling adalah dunia untuk mengenal dan membuka diri tanpa prasangka. Melebur dalam pesona alam yang sama, matahari yang sama, keindahan dan kesusahan yang sama, perbedaan terasa tak berarti. Saya benar-benar menyadari bahwa perjalanan kami indah, memaknai bahwa sebuah perjalanan bukanlah dihitung dari sejauh mana kita pergi melainkan seberapa banyak teman yang kita ciptakan.

Tim dadakan akhirnya ke Peucang...huray!!
Untuk pertanyaan saya di depan tadi, saya merumuskan sendiri begini: Pejalan adalah orang yang terlibat secara lebih intens, mencoba mengenal orang sekitarnya, mengenal proses di dekatnya serta tak segan berlama-lama menunggu dan membuka diri untuk menikmati yang tak terduga sementara pelancong adalah yang hanya datang terburu-buru untuk melihat objek, berfoto dan kemudian pergi, tak perlu menyapa, berkenalan apalagi mengingat nama orang asing yang ada di dekatnya.

Salam buat para pejalan. Nanti kami lanjutkan cerita kami tentang Ujung Kulon. W&Y, Ags 2014. 

Selasa, 01 Juli 2014

Lebaran di bawah Tabir Gunung Salak



Tabir Cakrawala
Masih relatif gelap saat kami keluar, berbekal headlamp dan kamera kami berjalan ke luar kampung, menyusuri jalan tanah di antara kebun-kebun teh yang masih basah oleh air dan embun, tempat yang kami tuju dengan berjalan kaki adalah sebuah lapangan datar yang berada di salah satu puncak bukit di mana menjadi tempat yang cocok untuk menikmati matahari terbit. 

Birunya pagi
Angin terasa sangat dingin, saat kami di atas bukit cercah matahari belum muncul sementara angin gunung mencocok kulit. Akhitnya cahaya kemerahan itu mulai muncul, menerangi cakrawala dengan warna oranye di tengah, hitam di bagian bawah dimana profil bumi ada sementara biru di bagian atas ketika langit dan awan hitam seolah tersibak paksa. Itulah makan pagi kami di hari itu, meskipun telah puluhan kali melilhat sunrise tapi tetap saja pesona itu ingin dinikmati lagi dan lagi, seakan kecanduan.

Dari kanvas alam pagi itu nampak kemudian sosok jajaran pegunungan Salak dengan kedua puncaknya, gunung yang menyimpan misteri gelap sekaligus menantang para petualang untuk mencumbunya. Kami di sini, dari jauh menikmati lukisan itu dengan kagum sekaligus rasa syukur karena mendapatkan anugerah seindah itu dan bisa menikmatinya dalam keadaan sehat.


Bermandi cahaya matahari pagi
Saat matahari kian meninggi bukan berarti keindahan itu hilang, ia memberikan lukisan yang lain, cahayanya menciptakan semburat warna oranye pada perbukitan di bagian atas, sementara bagian bawah masih relatif gelap. Saat bagian bawah pun tersibak, muncullah gambar kampung Malasari dengan aktivitas penduduknya, mereka baru pulang dari lapangan tempat mereka melaksanakan sholat Ied. Ya, hari itu adalah lebaran, hari yang dinanti dengan kegembiraan dan kasih sayang atas permaafan. Meski tak ikut sholat, kami merasakan kesyahduan hari itu di tengah hijau dan teduhnya alam Citalahab ini, maka saat kami turun tak lupa juga mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin bagi warga yang kami temui.

Arakan awan di atas perkebunan teh
Namun hari itulah juga kami harus  mengakhiri kunjungan di Citalahab karena kami akan kembali ke Jakarta saat jalanan masih relatif sepi. Setelah berpamitan kamipun kembali di atas dua roda si Ijo. Kami tidak kembali ke Parung Kuda melainkan melanjutkan jalan yang kami lalui kemarin menuju Cibeber yang menurut informasi dari penduduk jauh lebih cepat (karena beraspal) apabila hendak ke Jakarta. Jalanan itu sama seperti jalan sebelumnya, jalanan dari batu susun namun lebih lebar, tetap melintasi kolom-kolom kebun teh namun diujungnya akan ditemui aspal yang cukup rata. Jalan yang kami lalui ini akan berujung ke Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ternyata pemandangan indah belum berakhir, di sisi jalan ini kita bisa berhenti untuk istirahat sambil menikmati pemandangan lembah berterasering, sangat indah bentuknya.
Teras-teras cantik penyusun lahan pertanian

Tujuh hari perjalanan, dari kota ke pantai lalu ke pegunungan, meski tak banyak waktu dan tak banyak biaya, melelahkan secara fisik namun semuanya terbayar lunas. Saat kembali ke Jakarta, pengalaman itu adalah salah satu yang terbaik yang kami alami. Letih, kesal, marah, senang, bahagia semua dibagi bersama. Perjalanan ini adalah perjalanan untuk mengenal lebih banyak tentang Indonesia dan juga mengenal lebih banyak diri masing-masing. At the end,we’re a happy couple with a happy times. Terimakasih untuk perjalanannya, ziarah kecil kita. (w&y, 2013)

Dari hunting Owa Jawa sampai Berburu Jamur Berfosfor di Citalahab


Kampung Malasari, Citalahab
Selamat pagi! 

Sinar matahari bersinar terang menembusi dedaunan dan pohon-pohon di depan homestay kami, suasana yang membuat kami tak hendak cepat-cepat mandi, lagian airnya sungguh sangat dingin. Suasana masih sepi namun beberapa orang sudah mulai melaksanakan aktivitasnya. Dengan segelas kopi susu panas kami berada di teras dan mengobrol tentang segala hal, sungguh pagi yang nikmat.

Suasana pagi di Malasari, Citalahab
Seusai mandi dan sarapan kami merancang acara hari ini yakni eksplorasi kawasan Malasari ini, ada beberapa hal menarik yang bisa dilakukan di sini. Pertama kami berjalan-jalan di sekitar perkebunan teh Nirmala ini menikmati embun di permukaan daun dan terpaan sinar mentarinya. Cerah sekali pagi itu, menjadikan karpet hijau kebun teh, lekuk jalanan tanah, tegakan pohon, hamparan langit biru, awan putih dan sisa kabut  menjadi sebuah skesta alam nan indah di mata kami.  

Mencari Owa Jawa




Kedua, kami melakukan light trekk di kawasan hutan di belakang kampung, berdasarkan informasi dan juga suara-suara yang kami dengar sejak kemarin, terdapat sekumpulan owa Jawa di hutan sana. Meskipun hutan ini kecil dan pastinya sering dimasuki orang, toh bisa membuat kita kehilangan arah karena saking asiknya menikmati suasana. Walhasil tak juga menemukan Owa Jawa yang kami cari, kami malah harus mencari jalan keluar dari hutan ini. Untungnya kami temukan juga jalan keluarnya yang ternyata memutari hutan tersebut dan berujung di sawah di sisi lain jalan masuk kami. Namun kami menemukan hal lain yang menarik, selain terong susu berwarna kuning terang, di sepanjang jalan menuju kampung terserak feses luwak yang bercampur kopi. Inilah sang bakal kopi mahal itu sementara di sini terserak begitu saja oleh luwak liar, hal ini kami simpulkan karena di sana tak ada yang memelihara luwak penghasil kopi luwak.

Tangkapan yang sukses siang itu
Jelang siang, keasyikan ternyata belum terhenti. Bapak pemilik homestay sedang bermain dengan joran pancingnya di kolam untuk mencari lauk makan siang ternyata. Kebetulan yang menyenangkan bagi Wong yang segera saja meminjam joran lain dan ikut memancing, ia betah berlama-lama berjongkok menunggu umpannya disambar. Hasilnya cukup memuaskan, beberapa mujair segar siap jadi lauk kami. Aktivitas kecil ini ternyata sangat menyenangkannya.

Siangnya, kami mengunjungi Curug Macan, salah satu air terjun kecil yang berada di dekat stasiun penelitian TNGHS. Dengan menitipkan kendaraan di pos ini, kami berjalan menuju curug ini, dari pinggir jalan antara pos-citalahab, curug ini berada sekitar 200 meter ke bawah. Curug ini tidak besar namun cukup tinggi jatuhan airnya di sungai yang airnya sangat jernih dan dingin. Tak salah jika berada di sini memunculkan keinginan untuk mandi kemudian memasak kopi lalu makan di pinggir sungai...
Curug Macan


Malam pun tak mau dilewati begitu saja, sayang jika tidak menyempatkan diri untuk mengunjungi canopy trail dan mencari jamur berfosfor di sekitar stasiun penelitian. Ternyata banyak juga pengunjung yang datang ke sana malam itu. Ditemani seorang pemandu, dengan berbekal headlamp kami diajak menuju Canopy Trail (namun saat itu tak bisa digunakan karena masih dalam perbaikan) dan mencari jamur yang bercahaya itu, setelah berjalan sedikit agak di belakang pos, pemandu meminta kami mematikan semua lampu dan cermat melihat sekitar, dan woilaaa..... kami melihat titik-titik kecil, amat kecil seukuran 2-3 mm tapi bertebaran di mana-mana, benda berpendar itulah jamur yang kami cari. Bila tanpa pemandu, niscaya kami tak akan bisa mengetahui keberadaannya. 

Canopy Trail sedang dalam perbaikan
Terimakasih kami ucapkan pada pemandu yang telah membuat kami berkesempatan menikmatinya sebelum kami kembali ke rumah Bu Ana untuk istirahat.

Cukup untuk malam ini, waktunya kembali beristirahat. Malam (w&y)

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, pengasingan berikutnya


Perkebunan Teh Nirmala, Citalahab
Sejak berangkat dari Sawarna kami sudah berniat meninggalkan hangatnya pesisir dan menuju sepinya kawasan hutan yang bersanding dengan luasnya perkebunan teh, meninggalkan panasnya pantai menuju dinginnya selimut kabut hutan. Tujuan berikutnya hari ini adalah Citalahab dan Cikaniki yang merupakan pos taman nasional Gunung Halimun-Salak, salah satu kawasan suaka margasatwa yang paling terjaga di Pulau Jawa.

Gerbang TNGHS, masih 17 km lagi
Dari Sawarna kami kembali menuju Pelabuhan Ratu, kemudian mengambil jalur menuju Parung Kuda. Cukup panjang jalur yang mesti ditempuh melewati kawasan hutan homogen yang bercampur dengan pemukiman serta kebun pertanian, sekitar 2 jam mesti ditempuh. Bila dari arah Pelabuhan Ratu, jangan sampai kota Parung Kuda karena artinya Anda melewatkan pertigaan Cipeteuy yang merupakan jalan masuk ke pos TNGHS Kabandungan. Pelajaran inilah yang kami alami, karena tidak memperhatikan papan penanda kami kebablasan sampai Parung Kuda, walhasil kami harus kembali lagi menuju Cipeteuy, menemukan pertigaan dan baru menuju Citalahab dan berhenti di sana guna mencari informasi lebih detil tentang arah menuju Stasiun Penelitian di dalam kawasan hutan TNGHS itu. Tengah hari kami sampai di pos Citalahab dan mendapatkan informasi bahwa untuk menuju Stasiun Penelitian Cikaniki mesti harus melanjutkan 3 km lagi lewat jalan desa , kemudian setelah sampai gerbang TNGHS perjalanan berlanjut sejauh 17 km lagi masuk hutan.

Angka 17 km terkesan tidak jauh tapi kami menyadari bahwa 17 km itu bukan dengan jalan aspal mulus atau datar melainkan tumpukan batuan bercampur tanah, air dan lumpur, sangat licin dan untuk kendaraan roda dua dan sangat berpotensi selip. Untuk menggambarkanya, lebih tepatnya kami seperti berada di sebuah koridor atau lorong sangat panjang, berliku seakan tak ada habisnya. Meski kami berjalan sekitar jam satu siang, sore seakan berjalan cepat karena naungan pepohonan menutup sinar matahari, semakin ke dalam semakin terasa gelap, apalagi memang kemudian sore cuacanya mendung. 

Stasiun Penelitian TNGHS, Cikaniki
Pukul 15 sore kami sampai di Pos Penelitian Cikaniki, sebuah bangunan berwarna kayu gelap yang asri, bagus dan cukup luas untuk istirahat namun sayang tak ada orang saat kami datang. Mungkin karena jelang Idhul Fitri, semua petugas sudah pulang ke rumah. Hari mulai gelap ketika yang dikhawatirkan terjadi, hujan yang cukup deras tumpah, kira-kira satu jam kami tertahan di pos ini sebelum memutuskan untuk menuju Citalahab, kampung dimana terdapat homestay bagi para pengunjung kawasan. Meski harus berhujan-hujan melewati jalur berbatu melintasi perkebunan teh Nirmala, itu lebih baik daripada menunggu malam yang membuat kita  lebih sulit untuk mengenali medan.

Sekitar 40 menit kemudian kami melihat papan bertuliskan Home Stay di kiri jalan, sempat agak ragu karena papan itu mengarah ke sebuah jalan berlumpur menurun, sangat sepi seakan masuk ke sebuah lubang gelap. Namun kami masuki juga dan merasa lega setelah melihat jalan berubah jadi batu bersusun dan melihat banyak rumah di sana. Berkat informasi Pak Suryana kami diarahkan untuk menuju salah satu rumah saudaranya yang bisa disewa untuk menginap. Kalau tak salah ingat rumah Ibu Ana, rumah berteras panggung yang sangat asri. Kamar yang disewakan sangat sederhana dipatok Rp 75 ribu per malam belum termasuk makan. Per paket makan perhari per orang adalah Rp 25 ribu (dan masakannya sungguh lezaat, one of the best dishes we ever had!)

Citalahab saat masih gelap
 Malam itu dalam dingin malam sesudah hujan, ditemani kopi panas dan makanan hangat nan lezat kami berefleksi, di sini ujungnya, di tempat sepi ini kami sejenak beristirahat, menikmati masa jelang lebaran bersama masyarakat Kampung Malasari, Citalahab (Kab. Bogor) yang syahdu tanpa gelegar petasan dan klakson kendaraan.

Inilah malam pertama kami di sini, Selamat datang di Citalahab, selamat datang malam, kami menanti pagi di sini segera datang. (w&y)