Pantai Pulau Peucang, Ujung Kulon |
Alur perjalanan
selama paket dua hari satu malam yang diatur dengan tukang perahu adalah berangkat dari Taman Jaya
ke Pulau Peucang (2,5 jam perjalanan) untuk registrasi dan pesan tempat,
kemudian eksplorasi kawasan Pulau Peucang. Esoknya adalah waktu untuk
snorkeling dan menuju Padang Penggembalaan Cidaon, mengunjungi Pulau Handeuleum
kemudian kembali ke Taman Jaya pada sore harinya.
Seluruh tim berfoto di demaga Pulau Peucang |
Pulau Peucang
merupakan satu pulau di tanjung ini di mana pos taman nasional berada, di sini
semua informasi tersedia, ada tempat untuk registrasi, mendapatkan penginapan
berupa barak petugas dan dermaga yang memadai. Yang sedikit aneh adalah ada
Helipad di sini dan sebuah hotel yang dikelola swasta (tapi tentu bukan
bangunan permanen). Semua perahu yang membawa pengunjung harus mendaftar di
sini dahulu baru boleh melanjutkan ke pulau-pulau lain. Sebagai info, bila
hendak menginap di barak harganya Rp 250rb/kapasitas 8 orang atau kamar hotel
itu seharga Rp 600rb-1jt/kapasitas 2 orang. Kami tak mendapatkan barak karena
sudah penuh, namun berkat lobi dengan Pak Heri dari TN, kami diijinkan
menggunakan menggunakan asrama petugas TN.
Pohon tua yang masih menghiasi hutan |
Aktivitas
pertama di Peucang adalah trekking di hutan menuju ujung barat pulau bernama
Karang Copong (bolong) sementara tim lain memilih memancing di laut, hanya sejam menurut
info di papan informasi tapi karena banyak observasi dan memfoto kami pun
menghabiskan waktu dua jam untuk sampai di sana. Hutan di Peucang secara
sekilas seragam, variasi vegetasinya tak terlalu banyak dan bahkan umur tanaman
tertua pun nampak sama. Nanti di Handeuleum maupun di Taman Jaya pun akan
melihat pola ini. Hal ini dikarenakan karena proses pertumbuhan mereka dimulai
di waktu yang sama yakni pasca mega-tsunami Krakatau 1883. Tsunami itu meluluhlantakkan
seluruh tanjung, menghabisi semua kehidupan namun di sisi lain membawa
benih-benih yang punya ketahanan lama. Saat air surut dan tanah kembali muncul,
benih-benih seperti Butun, Kepuh, Kopo, Nyamplung, Kiara, Ketapang, Pandan Laut
dan vegetasi lain pun tumbuh, hampir di waktu yang sama dan beranak pinak.
Karena tanah ini tak dihuni manusia dalam periode yang panjang, ekosistem flora
dan faunanya relatif tidak terganggu dan berada dalam kondisi baik. Itulah alasan kenapa
kawasan ini menjadi Taman Nasional yang pertama di Indonesia dan dijadikan
warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1992 dengan luas daratan sekitar 79rb Ha
dan perairan 45rb Ha.
Di pohon Kiara yang memukau |
Ujung barat
Pulau Peucang ini indah karena karang yang bentuknya menarik (copong atau
bolong.pen), air biru jernih memanja mata, dan ikan-ikan hias yang indah yang
dapat anda temui terjebak di ceruk-ceruk karang, bahkan bulu babi pun ada. Di
ujung barat ini, berdiri dua buah karang yang menyendiri dimana masing-masing
dihuni oleh sekelompok burung Cangak serta Kelelawar. Merekalah bingkai bagi
lukisan sang surya tenggelam kami petang itu. Konsekuensinya, kembali melewati
hutan dalam kegelapan!
Setelah mengisi
perut dengan ikan hasil pancingan tim Dion dkk, malam pun dilewati dengan
gemerisik suara rusa, monyet dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar rumah.
Angin bertiup sangat kencang, kamipun terlelap dan tak terasa pagi telah hadir
terlalu awal. Rutinitas berulang yakni memburu gambar matahari terbit.
Pesona pasir putih pantai Peucang |
Pagi itu kami
menikmati snorkeling kami dengan perahu yang mengantar kami ke spot favorit,
meski relatif tak terlalu kaya variasi terumbunya, air di spot ini pun agak
keruh namun jenis ikannya kaya, yang paling mengejutkan adalah banyak ubur-ubur
kecil. Sengatannya lumayan mengagetkan dan gatal, maka bila hendak snorkeling
di sini sebaiknya kenakan pakaian yang menutup seluruh badan.
Siang pasca
makan ikan segar lagi, perjalanan dilanjutkan ke Padang Penggembalaan Cidaon.
Lokasinya berada di ujung Pulau Jawa, berjarak hanya 15 menit berperahu dari
Peucang. Sebuah dermaga menyambut kami yang penasaran untuk melihat kawanan
hewan liar di padang itu. Kira-kira 15 menit berjalan kaki lewat rawa kering
berisi nipah dan monyet ekor panjang kami melihat hamparan luas padang terbuka
dengan sebuah menara pengawas. Inilah yang kami cari, di kejauhan tampak
kawanan Banteng Jawa sedang merumput, Burung Cekakak beterbangan dari pucuk pohon, dan
saat kami menyusuri padang ini, tampak lima ekor burung merak (dua di antaranya
jantan) juga sedang mencari makan.
Kawanan banteng di Padang Penggembalaan Cidaon |
Perjalanan pulang
dilanjutkan menuju perhentian berikutnya yakni Pulau Handeuleum, pulau sepi
dimana sebuah pos resort TN berada, karena itu pulau ini memiliki dermaga.
Pulau ini dan juga pulau sekitar dominan dengan eksosistem pantainya berupa
bakau yang cukup luas menutup pinggiran. Pulau ini merupakan pulau yang indah
untuk camping karena memiliki halaman luas di depan kantornya yang langsung
menghadap laut dan langit luas. Maka jika tak dapat penginapan di Peucang,
dirikan saja tenda di sini. Selain tempat camping, pulau ini terkenal sebagai
tempat canoeing menyusuri Sungai Cigenter. Biaya sewanya perahu dihitung perorang sekitar 50rb orang atau 500rb untuk satu perahu (mahal euy....). Menurut Pak Heri, jika beruntung, dalam perjalanan dengan sampan
itu akan menemui badak, piton atau bahkan buaya muara di tepiannya.
Tepat saat
matahari mulai turun, langit mulai teduh, udara mulai terasa dingin, kami
menjauhi cakrawala dan menuju kembali ke Taman Jaya, ke homestay Pak Komar dan
berharap masih ada kamar. Selepas magrib kami sampai di dermaga dan berjalan ke
homestay, tempat itu sudah banyak orang dan benar saja, hanya tersisa satu
kamar. Alhasil sebagian tidur di luar berselimut hembusan angin laut. Kamipun
terlelap sambil berucap syukur.
Sunset di ujung barat Peucang, Pantai Karang Copong |
Akhirnya semua tuntas, meski pendek yang
dimiliki namun banyak yang dinikmati dan dirasakan, waktu yang menyenangkan,
lelah yang terbayar lunas, pertemanan baru dan hasrat untuk kembali dan
melengkapi episode lain Ujung Kulon yakni trekking menembus hutan dari Taman
Jaya menuju Cidaon selama 3 hari 2 malam, amieen….semoga terwujud! Terimakasih
untuk Dion dan rombongannya, Yolanda, Bronwyn, dan Iron. Semoga suatu saat bisa
bertemu dan berjalan bersama lagi. Ciao! (W&Y, Ags14)