Sunset di Tanjung Lesung |
Apa bedanya
pejalan dan pelancong, traveller dan turis? Keduanya mungkin menikmati hal yang
sama, ibaratnya kita masuk di sebuah restoran dan mencari makanan favorit kita.
Kita akan sama-sama duduk dan menikmati makanan yang sama, rasa yang sama dan
bahkan harga yang sama. Lalu dimana bedanya? Apa yang kami rasakan barusan saat
melakukan perjalanan ke Taman Nasional Ujung Kulon mungkin akan membantu
menemukan jawaban atas pertanyaan di atas tadi. Setidaknya bagi saya.
Taman Nasional
Ujung Kulon adalah sebuah nama area yang sudah lama menggelitik dan membangun
rasa penasaran kami. Berbekal riset kecil, kebosanan saat libur lebaran di
rumah, dan niat besar untuk mendapatkan tempat indah untuk dijelajahi maka
diputuskanlah bahwa ke sana kami akan pergi. Ke sana, ke ujung peta pulau Jawa,
ke sebuah tanjung besar dimana badak menjadi ikonnya. Setelah sholat Ied dan
silaturahmi ke tetangga selesai, kami berangkat dari Tangerang. Jalur yang kami
pilih adalah Cisauk – Cikupa – Balaraja – Serang- Pandeglang - Labuhan – Panimbang (Tj
Lesung)- Sumur-Tamanjaya…dan jika beruntung, Pulau Peucang!
Pantai Kalicaa jelang petang |
Terik sekali
siang itu ketika harus melintasi jalanan, jalanan masih terasa padat oleh orang yang hendak
bersilaturahmi. Setelah berjalan selama 5 jam sampailah kami di daerah yang
bernama Panimbang, tentu nama ini tidak populer tapi kalau menyebut Tanjung
Lesung pasti orang akan familiar. Tanjung Lesung adalah satu kawasan pantai
komersial yang dimiliki swasta dimana dibangun resort dan pusat aktivitas
keluarga yang sangat baik, bahkan cenderung mewah maka tak heran bila kawasan
pantainya sangat bersih, tertata rapi dan teratur. Larik pantai tanpa sampah,
pasir putih, jajaran pohon kelapa maupun pandan laut dan butun, gardu pandang,
bangku duduk, dan lampu tembak membuat kawasan ini sangat indah memang. Tentu
saja itu semua tak gratis, sekedar masuk dan parkir saja dikenakan biaya, Rp
50rb untuk motor dan Rp 100rb untuk mobil. Ada harga ada pelayanan, yang 100rb
dapat salam dan senyum dari penjaganya sementara jangan kaget jika yang 50rb
cuma dapat muka asem dan ucapan ketus!
Rumpon ikan di Pantai Kemuning, Tanjung Lesung |
Saat sunset
dilalui, kami mencari homestay untuk menginap karena seharian berkendara tentu
sangat letih dan sangat tidak dianjurkan untuk jalan malam, terlebih jika
menggunakan sepeda motor karena jalur yang akan dilewati sepi, jauh dan
nantinya hancur. Harga homestay di Tanjung Lesung cukup mahal, penginapan
sederhana tanpa AC dibandrol Rp 350rb, maka lebih baik mencari homestay yang agak
di luar kawasan Tanjung Lesung. Dekat pertigaan jalan masuk Tj Lesung (Pasar
Panimbang) kami menemukan plang homestay, di depannya ada bengkel tambal ban
dan warung. Pemiliknya bernama Pak Aom, orang tua yang ramah yang tak keberatan
ketika kami menawar 150rb untuk menginap semalam di homestaynya. Tak usah tanya
fasilitas kamar, KM di luar..tapi yang asik adalah, mereka punya halaman
belakang menghadap laut dan punya semacam pondok pancing. Cocok untuk
memancing, sekedar ngopi sambil mendengar debur ombak, melihat taburan bintang dimalam hari atau menunggu sunrise esok pagi. Dan benar saja, di pagi harinya dengan latar depan rumpon-rumpon
nelayan, kami menikmati sinar mentari yang terbit di sisi timur, perfect sunrise....
Patung Badak di gerbang kawasan TNUK |
Puas menikmati
pagi, perjalanan dilanjutkan menuju Taman Jaya yakni desa terakhir menuju Pulau
Peucang, jarak waktu dari Panimbang ke Taman Jaya sekitar 3 jam dengan
menyusuri jalan antara pemukiman, lahan perkebunan, hutan dan jika sudah sampai
Kecamatan Sumur lintasannya bakal sejajar garis pantai (tapi bukan tepi
pantai). Sebenarnya untuk menuju Peucang bisa juga dari kecamatan Sumur (1 jam
sebelum Taman Jaya) tapi kami memilih di Taman Jaya karena petunjuknya begitu
(???). Tapi ternyata pilihan kami tepat meskipun untuk sampai di Taman Jaya
merupakan perjuangan keras karena harus melewati satu jam jalan yang rusak berat, sekitar 25 km
jaraknya dari Sumur ke Taman Jaya. Di Taman Jaya ini kami mencari Homestay
Sunda Jaya milik Pak Komar yang memang sudah sangat popular di kalangan backpacker. Orangnya sibuk dengan
handphone (karena sedang musim padat kunjungan) tapi sangat ramah, helpful, dan
homestaynya…..adeem…hanya berbiaya Rp 100rb per malam!!
Karena kami
sampai di sini lewat tengah hari dan ternyata rombongan ke Peucang baru saja berangkat,
maka terpaksalah kami menunggu, siapa tau ada rombongan yang bisa digabungin.
Sebagai info, elemen paling mahal untuk ke Peucang adalah perahu. Untuk satu
perahu dengan kapasitas 20 orang dan pemakaian 2 hari 1 malam, biayanya bisa
sampai Rp 3jt, untuk kapasitas lebih kecil yakni 10-15 orang tidak jauh beda
yakni IDR 2 jt. Itu belum termasuk biaya guide (petugas TNUK), biaya
penginapan/barak di Peucang (tidak boleh camping di Peucang), logistik, biaya
pemasak di kapal (jika minta dimasakkan), dan tiket masuk kawasan Taman
Nasional (Rp 5rb/orang sampai akhir Agustus 2014). Lama menunggu tanpa ada
kabar, waktu pun dihabiskan dengan berjalan-jalan di tepian pantai, dermaga
bahkan keliling desa namun tetap tak ada rombongan lain yang datang. Tampaknya kami
harus rela tak bisa mencapai Peucang, mungkin lain kali lah, tapi ternyata
peruntungan kami berubah.
Pemandangan dari depan homestay Taman Jaya |
Malam-malam
kesunyian terusik dengan datangnya rombongan keluarga yang tampaknya akan
menyeberang ke Peucang karena sudah membawa peralatan lengkap untuk eksplorasi
pulau dan laut. Diakui ada rasa sungkan ketika melihat rombongan datang dengan
jauh lebih lengkap dan full facility seperti itu, ada rasa inferior sedikit
sehingga menghambat komunikasi. Mungkin perasaan pertama selalu begitu karena
belum mengenal.
Pagi-pagi, kami
berdua melihat ada rombongan kecil lain, ada yang berbeda dengan rombongan
besar sebelumnya yang datang. Mereka tampaknya sama dengan kami, datang dengan
kelompok kecil, untung-untungan akan dapat perahu, dan sama-sama menunggu kebaikan
orang. Dan benar saja, mereka bertiga pun berbeda grup, satu orang datang
sendiri sementara dua bersama. Lima orang terkumpul, masih terlalu mahal untuk
menyewa perahu. Kembali kami menunggu.
Sempat menikmati sunset di dermaga Taman Jaya |
Tak disangka, Om
Indra, salah satu dari rombongan yang datang malam tadi justru yang menyapa
terlebih dahulu saat saya membuat kopi pagi. Ia menanyakan apakah kami hendak
ke Peucang juga, saya jawab iya tapi kami menunggu rombongan lain agar bisa
sharing biaya boat. Keberuntungan kami, Om Indra justru menawarkan untuk
bergabung karena mereka cuma berdelapan, masih ada ruang cukup untuk kami. Sungguh
sapaan itu tak bisa dilupakan, karena sapaan sederhana itu menghasilkan dua
hal: satu, menghapus inferioritas dan prasangka saya atas status, dan kedua,
membuat kami berkesempatan untuk ke Peucang setelah hampir putus harapan.
Terimakasih Om Indra, Om Andy, Om Awi dan Koh Dion, Regi serta para tante yang
supeer!
Setelah
bergabung di perahu, berkesempatanlah kami mengobrol dan tahulah kami bahwa
mereka pun sudah melakukan perjalanan banyak kali, pengalaman travel mereka
sudah bejibun, dan saya pikir itulah yang membuat mereka punya sikap terbuka.
Para pejalan adalah orang terbuka karena telah melalui interaksi yang bebas,
beragam, dan tak punya rasa khawatir atau curiga tanpa alasan, dan saya harus
belajar itu. Rasa inferior saya salah! Seandainya tak ada sapa pagi itu,
mungkin kami tak bisa menuntaskan penasaran kami.
Bersama mereka
yang bergitu ramah, terbuka dan baik hati lebih terasa lagi bahwa dunia
traveling adalah dunia untuk mengenal dan membuka diri tanpa prasangka. Melebur
dalam pesona alam yang sama, matahari yang sama, keindahan dan kesusahan yang
sama, perbedaan terasa tak berarti. Saya benar-benar menyadari bahwa perjalanan
kami indah, memaknai bahwa sebuah perjalanan bukanlah dihitung dari sejauh mana
kita pergi melainkan seberapa banyak teman yang kita ciptakan.
Tim dadakan akhirnya ke Peucang...huray!! |
Untuk pertanyaan
saya di depan tadi, saya merumuskan sendiri begini: Pejalan adalah orang yang
terlibat secara lebih intens, mencoba mengenal orang sekitarnya, mengenal
proses di dekatnya serta tak segan berlama-lama menunggu dan membuka diri untuk
menikmati yang tak terduga sementara pelancong adalah yang hanya datang terburu-buru
untuk melihat objek, berfoto dan kemudian pergi, tak perlu menyapa, berkenalan
apalagi mengingat nama orang asing yang ada di dekatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar