Pemandangan dari Puncak Gunung Gede, tampak puncak Salak di kejauhan |
Sebuah cara untuk mengabadikan sesuatu yang mungkin tak bisa
diulang lagi namun akan menjadi suatu kebahagiaan jika masih bisa menikmatinya
lagi suatu hari. Itu yang terpikir saat membuat narasi atas pendakian sekitar
setengah tahun yang lalu bersama tiga kawan saat memutuskan bahwa berada di
tengah taman bunga edelweiss Mandalawangi dan Suryakencana akan menjadi pengisi
waktu liburan kami di medio Mei 2013 lalu.
Awalnya kami hendak berlima dengan Wong namun karena saat
yang bersamaan Wong ada tugas ke Bali maka hanya berempatlah anggota tim
pendakian Pangrango-Gede kali ini. Alasan lain ya karena sudah telanjur
mendaftarkan kelompok pendakian ini di kantor Taman Nasional Gede Pangrango
yang bisa dikatakan ribet karena harus mendaftar jauh-jauh hari dan juga harus
datang langsung untuk mendapatkan SIMAKSI atau Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi.
Dengan berat hati sebenarnya tidak bersama Wong karena Wong lah yang
mengusahakan proses mendapatkan SIMAKSI ini. Maka kudedikasikan perjalanan ini
untuknya, dan suatu saat aku akan menyediakan diri menjadi rekan yang akan
melengkapi perjalanannya ke Pangrango dan mencumbu Mandalawangi, tempat di mana
abu Soe Hok Gie ditaburkan pasca kematiannya di Semeru.
Jumat sore kami bertemu dan packing dalam keterburu-buruan
karena waktu telah lewat senja dan setelah bertemu ternyata ada satu bahan yang
belum ada padahal sangat vital yakni spiritus, sementara bahan bakar alternatif
tidak disiapkan. Di tengah hujan, perburuan spiritus sia-sia karena semua toko
besi dan warung (yang biasa menjual spiritus) sudah tutup. Akhirnya diputuskan
tetap berangkat menuju Cibodas dan berusaha mencari di sana. Sekitar lewat tengah malam kami sampai di Cibodas,
Bogor yang sudah ramai dengan pendaki yang akan naik. Dari informasi yang
diterima dari sopir angkot yang membawa kami ke parkiran dekat pintu gerbang,
katanya ada warung yang menjual spiritus. Ternyata benar, dan ini sungguh kami
syukuri. Warung di mana kami berhenti untuk minum kopi dan makan ternyata
menjual spiritus, satu liter dihargai Rp 15.000,- sehingga perjalanan kami
tetap sesuai rencana yakni langsung melakukan pendakian di pagi buta itu.
Pendakian melalui Cibodas sangatlah ramah, jalur diawali
dengan sangat menyenangkan, jalur anak tangga dari batu landai membuat kaki
bisa melakukan penyesuaian, lama kelamaan jalur terasa menanjak meski tetap tak
terasa terlalu terjal. Perjalanan terasa
santai, air berlimpah di mana-mana bahkan air terjun besar (Cibeureum) pun
dapat dinikmati sambil berjalan, pemandangan tersaji beragam di kiri kanan. Pendeknya,
simply enjoyable! Tepat pada jam makan pagi, sekitar jam 7 kami sampai di pos
dekat air panas yang membelah jalur kami. Di sinilah baru kami istirahat dan
mengisi perut, sayang kami tak sempat berendam di air panas ini karena kami
merencanakan untuk sudah di Mandalawangi sore ini. Perjalanan panjang dan
menanjak terus berlanjut, masih relatif sama jalurnya sampai kemudian kami
mencapai Kandang Badak (2.395 mdpl), sebuah tempat istirahat di bawah
pertigaan, jalur kanan menuju Pangrango sementara jalur lurus lewat anak tangga
adalah Puncak Gede. Di sini baru tim sempatkan diri untuk tidur dan makan
siang.
Pertigaan menuju dua puncak |
Tengah hari perjalanan dilanjutkan ke Pangrango, perjalanan
episode kali ini kami mendapat teman
yakni hujan deras menerpa kami, empat jam hujan terus menerus menerpa tubuh.
Air dan keringat bercampur aduk di bawah baju, perjalanan terasa sunyi karena
kami akhirnya terpisah-pisah. Jalur tanah berubah total dimana semuanya penuh air,
jalan yang kami susuri menjadi sangat menanjak, ranting dan batang pohon
dimana-mana, dan ujung jalan hampir seperti tak pernah hadir, hanya hutan dan
hutan, kesendirian itu sangat menyiksa kurasakan.
Edelweiss kala hujan reda di puncak Pangrango |
Berkas matahari terbit dari Puncak Pangrango |
Tak hendak terlalu lama diam dalam lamunan dan dingin, aku berjalan turun melewati jalan setapak di belakang pondok rusak tadi, lima menit kemudian terhamparlah pemandangan menakjubkan. Sebuah padang yang luas yang ditumbuhi ribuan batang edelweiss tampak di depan mataku, sebuah aliran air kecil membelah padang itu, langit tampak putih karena butiran hujan masih di udara dan rerumputan masih basah karena hujan. Ini Mandalawangi, indah seperti namanya. Malam ini di sinilah istana kami, di antara batang-batang edelweiss ini lelah ingin diobati dalam malam yang dingin.
Pagi pun memberikan hadiahnya, Mandalawangi begitu gemilang dibungkus langit biru dan cahaya pagi yang lembut. Air yang mengalir begitu jernih sehingga tak ragu untuk menggunakannya sebagai bahan untuk kopi dan makan pagi kami sebelum melanjutkan perjalanan, turun kembali ke Kandang Badak. Semalam saja, biarkan memori indah Mandalawangi tinggal di ingatan dan lembar-lembar digital, meski kami yakin kami tak akan melupakan indahnya Mandalawangi pagi hari itu.
Sungai kecil di Mandalawangi |
Sekitar jam 9 kami sudah siap, kembali melewati Puncak Pangrango untuk meniti kembali jalan turun ke pertigaan. Pukul 12 siang kamipun mencapai pertigaan Kandang Badak untuk istirahat sebentar. Kemudian kaki kembali meniti anak tangga dan melintasi hutan-hutan tropis ini menuju Puncak Gede. Jalur menuju puncak Gede relatif lebih terbuka dan berbatu serta sangat menanjak. Tiga jam waktu yang diperlukan untuk mencapai batas tanjakan itu yakni pinggiran kawah. Tumbuhan yang ada hanya cantigi yang pendek, tanah gersang dan tampak endapan vulkanis karena memang Gede masih aktif mengeluarkan asap solfatara baik dari Kawah Lanang (sebelah kiri) dan Kawah Wadon (sebelah kanan). Namun ternyata belum selesai perjalanan ini karena jalur masih panjang dengan meniti pinggiran kawah, panjang juga meniti jalur ini meski relatif datar. Jika telah melihat sebuah tugu triangulasi bertuliskan Puncak Gede 2958 mdpl, maka itulah puncaknya. Sejenak saja kami menikmati waktu tapi tak bisa terlalu lama karena kemudian terulang lagi...hujan deras kembali mendera kami.
Dalam hujan yang turun dengan deras itu kami harus masih
menuruni jalur batu yang ditata menjadi anak tangga selama satu jam sebelum
akhirnya kami sampai di pelataran maha luas yang dikenal dengan nama Alun-alun
Suryakencana. Air meluap dimana-mana, sungai yangmembelah padang rumput ini
bahkan luber membanjiri kiri kanannya. Karena tak bisa membangun tenda dalam
kondisi seperti ini, berteduhlah kami di sebuah ceruk tebing di sebelah barat
sambil menahan dingin yang membuat badan menggigil dan bergetar.
Jelang magrib saat hari mulai gelap, hujan belum berhenti
namun lumayan mereda, tenda harus sudah didirikan karena tubuh harus segera
dihangatkan jika tak hendak kehilangan panas. Di sisi sungai itu lah tenda kami
dirikan, kamipun segera masuk dan mengganti baju basah, kemudian diam di dalam
mencari hangat. Hujan masih turun. Malam itu hanya gelap dalam tidur yang bisa
dilakukan serta berharap pagi segera datang. Malam itu mimpi menghiasi tidurku,
mimpi pada sosok yang sama yang seharusnya ada di sini dan membagi memori ini
bersama. Di sinilah untaian kata-kata ini tercipta sebagai manifestasi rindu:
Seiring akhir rinai hujan di 3019
meter di atas permukaan laut.
Dalam sendiri jelang senja, hanya
berteman dingin merasuk tiap pori tubuh.Mata hanya menatap ke depan, sang Agung tampak sangat dekat bermantelkan kabut,
menelan raksasa itu seperti ia menelanku dengan mudahnya
Hingga akhirnya hanya tertinggal tirai putih dan dingin yang makin mencekat.
Menuruni tiap jengkal tanah
basah, serasa tangan ini kembali menggandeng lenganmu
namun kau tak ada, kau di sana di
bawah hangat mentari.
Bentang Mandalawangi penuh indah,
tersaji ribuan bunga abadi dalam kuncup-kuncupnya.
Makin menusuk hatiku dalam sadar
bahwa kau tiada untuk mengaguminya.Sayang, indah puncak perjalananku ini untukmu!
Aku cuma ingin membaginya
denganmu, aku mau egois saja saat ini.
Kita lah pemilik kecantikan
lembah dewa ini. Tak ada yang lain, hujan sekalipun...
Namun semua tak usai, masih ada
perjalanan yang harus kutuntaskan,
Meskipun itu semakin menyiksaku
dalam rindu tertahan,Seharusnya kau ada, untuk membagi kisah masa lalumu
untuk kurebut semua dan kujadikan masa depanku.
Suryakencana,
Di lembah ini, rasa cemburu dan
kembali sepi mengerubungiku,Seiring gemetar tubuh melawan dingin, anganku kembali menghadirkanmu
Lagi dan lagi, dalam kisah klise dan membosankan
Tentang seorang tua yang menanti matahari pagi.
Kau lah matahari itu kekasihku,
dan aku menanti bayangmu datang dan memelukku di sini.
Di antara lembah-lembah ini, aku terbunuh sunyi.
Sekali ini dalam hidupku, aku
membenci kesunyian.
Pagipun datang tanpa ingkar, cerah sekali pagi itu sehingga
seluruh lanskap Alun-alun Suryakencana hadir di depan mata. Hampir mirip dengan
Mandalawangi namun Suryakencana jauh lebih luas, konturnya lebih bervariasi, lebih
terbuka, sungainya lebih besar, dan lebih ramai oleh pendaki-pendaki.
Di Alun-alun Suryakencana, bermandi cahaya mentari pagi empat
wajah penuh kelegaan menampakkan senyum, memandang puncak Gede dalam kagum,
mengagumi segala besar dan indahnya. Betapa beruntungnya dalam dua hari bisa
menikmati kehebatan karya bumi. Terimakasih Mandalawangi, terimakasih
Suryakencana, terimakasih Wong, dan terimakasih atas perjalanan yang dilalui
bersama dan tetap berkesempatan meninggalkan ini semua bersama.
Pagi dari Suryakencana |
Lima belas menit lagi kami harus berjalan, di sebuah warung
yang juga terdapat kamar mandi kami berhenti. Sepiring nasi goreng dan teh
panas adalah salah satu makanan dan minuman terenak yang kami rasakan sebelum
kami bertolak ke jalan raya Bogor-Cianjur menuju rumah, pulang. Dalam memoriku,
Mandalawangi dan Suryakencana tak akan terlupa dari ingatan. Kutujukankan
perjalanan ini untuk Wong dan berharap suatu hari nanti kembali dapat menemui
edelweiss Mandalawangi bersamamu (yp-01/14)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantaaap euuy
BalasHapus