Selasa, 08 Oktober 2013

Senandung Sunyi Galunggung

Panorama Kawah Galunggung


Berikut adalah sebuah kisah yang kucatat kembali dari memori yang telah lewat, sebuah memori yang sayang jika dibuang. Mirip seperti yang dikatakan Pram, sehebat apapun pengalaman seseorang  sejauh ia tidak menuliskannya maka pengalaman itu akan menghilang dan dilupakan. Maka sesepele apapun itu, kutulis lah kisah ini. Hitung-hitung menjadikannya sebuah buku dalam rak perjalanan kami berdua yang pastinya tak akan terlupakan.

Kami berada di sebuah daerah bernama Tasikmalaya, sebuah wilayah yang terkenal karena kerajinan bordirnya serta pedagang kain hebat di kawasan Tanah Abang. Daerah yang dahulunya bernama Sukapura ini merupakan dataran yang tersusun pasca meletusnya Galunggung, maka pernah juga daerah ini disebut dengan Tawang-Galunggung yang artinya dataran terbuka yang sangat luas. Penyebutan Tasikmalaya sendiri sangat berkaitan dengan dampak meletusnya Gunung Galunggung. Secara etimologis “tasik” muncul dari kata “keusik” yang berarti  “danau pasir” dan “malaya” berarti “ngalayah” atau “bertebaran”, maka benang merahnya, Tasikmalaya adalah daerah luas yang terdiri dari pasir vulkanis di mana-mana . Ada juga versi lain yang mengartikan Tasikmalaya sebagai “lautan gunung seperti di Malabar India sana” dan ini bisa jadi benar karena letusan Galunggung purba menciptakan sebuah kawasan perbukitan hasil lontaran materialnya yang saat ini dikenal dengan Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills), dalam dunia geologi kawasan ini dikenal dengan nama Formasi Tasikmalaya. Jadi Tasikmalaya bisa dikatakan adalah monumen sejarah sebuah peradaban di wilayah Priangan yang terbangun di atas memori atas bencana. Hal ini didapatkan dari cerita dan obrolan dengan warga Tasikmalaya sendiri maupun beberapa referensi  yang pernah kubaca.

Maka berangkatlah kami ke sana, menikmati Galunggung yang begitu menggoda, entah kenapa kami selalu tergoda dengan sosok gunung sehingga tak pernah bisa menolak godaan untuk mengunjunginya. Gunung Galunggung dapat ditempuh dengan kendaraan dari kota Tasikmalaya melewati jalur Tasik-Singaparna, sampai di simpang Pondok Pesantren Cipasung berbelok ke kanan menuju Kecamatan Sukaratu kira-kira 10 km. Di pertigaan kecil bertanda pos ojek dan papan penunjuk area tambang pasir Galunggung berbeloklah kami ke kanan menyusuri jalanan aspal hancur, tidak rata sana sini dan kemudian dominasi batu susun selama kurang lebih 1 jam. Jalanan baru kembali bagus setelah kami sampai di gerbang kawasan. Ada pos retribusi seharga Rp 4 ribu perorang dan pengunjung disediakan dua pilihan, belok kanan akan menuju pemandian terbuka air panas Cipanas  namun jika mengambil jalan lurus menanjak itu anda akan menuju kawah Galunggung. Kami memilih kawah Galunggung, dan menyusuri kembali hutan pinus kira-kira 20 menit sebelum sampai di parkiran di mana terdapat warung-warung kopi berpemandangan lembah-lembah.

Mulai meniti 620 anak tangga
Sama sekali tak sulit untuk menikmati kawah Galunggung meski ketinggian gunung ini tercatat 2.167 mdpl, dari parkiran ini kita langsung menemukan ratusan anak tinggi lurus ke atas menuju pinggiran kawah, tepatnya ada 620 anak tangga. Setelah sesekali berhenti untuk mengatur nafas dan mengambil gambar orang cantik yang bersamaku ini sampailah kami di pinggiran kawah dan tersajikan pemandangan kaldera lebar dengan tengahnya berisi sebuah kubah lava dikelilingi danau dan endapan material vulkanik di sisi yang lain. Meskipun ada beberapa warung di pinggiran kawah ini (biasanya buka sampai jam 4 untuk kemudian tutup dan mereka turun dengan barang dagangannya) kami memilih berjalan-jalan menyusuri bibir kawah sambil mengambil gambar, bercerita dan kadang-kadang hanya memandangi lanskap indah itu. Jika menginginkan pemandangan yang bebas kabut disarankan untuk berada di sini maksimal jam 2 siang karena sesudah jam itu biasanya kabut menyelimuti dan hujan juga sering terjadi.

Bila ingat Galunggung tentu kita teringat fenomenalnya erupsi gunung ini. Terbayang apa yang terjadi tahun 1982 kala Galunggung meletus dengan hebatnya, bahkan menjadi salah satu letusan terhebat di nusantara. Dinding kokoh dari Gunung Ageung (sebutan lain Galunggung yang lebih tua) serta danau berwarna hijau, serta bukaan kawah ke arah timur-tenggara seakan menjadi saksi bisu letusan hebatnya kala itu. Kembali ke tahun 1982, tepatnya tanggal 5 April 1982 ketika gunung ini bergemuruh dan melemparkan isi bumi ke luar dengan massa dan kekuatan luar biasa. Petir dan halilintar menggelegar membuat langit berwarna merah. Debu vulkanik menggumpal  dalam kolom setinggi 20 km ke angkasa, belum lagi awan panas menyapu wilayah timurnya, sementara debunya menghujani  sampai wilayah dalam radius 100 km. Periode erupsi ini berjalan sepanjang 9 bulan sampai 8 Januari 1983, memaksa 20 ribuan orang harus bertransmigrasi ke sumatera karena tak bisa menggarap lahan atau tinggal di desanya lagi. Bekas terbukanya kawah bagian timur-tenggara adalah sisa kehancuran besar saat itu, dinding masif itu itu runtuh menjadi lahar dingin yang menenggelamkan kawasan-kawasan sekitarnya dalam lautan pasir, tanah, dan batu. Pintu ini sampai sekarang menjadi bayangan bahaya bagi kota Tasikmalaya karena arah bukaannya nya memang ke arah kota.

Halilintar di atas Galunggung saat erupsi 1982 (photo by Wikimedia)
Dan di sinilah kami, di bawah perkasanya karya bumi ini kami menghirup nafas panjang dan merasakan segarnya puncak Galunggung.  Jika sampai di sini mata tak akan bisa lepas dari pemandangan di bawahnya yakni sebuah kaldera besar seluas kira-kira 4 hektar. Kita bisa menuruninya dari dua sisi danau selama kira-kira 20 menit ke bawah turun sedalam 100 meter. Berada di tengah kawah ini sungguh menyenangkan, seolah kita berada di sebuah baskom besar yang sunyi. Di dalam kaldera ini terdapat sebuah danau yang dipenuhi ganggang berwarna hijau mengelilingi kubah lava yang dihasilkan pasca letusan 1918, kubah ini kemudian dinamakan Gunung Jadi. Air danau ini diatur volumenya yakni tidak boleh melewati lebih dari 750 ribu meter kubik dengan cara dibuat terowongan pada tahun 1993-1997 sepanjang 748 meter untuk mengalirkannya ke Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran di bawahnya. Hal ini dilakukan sebab jika volume air sangat tinggi, air tersebut dapat meruntuhkan dinding kawah yang pastinya mengakibatkan bencana besar nantinya. Proyek ini adalah salah satu bentuk mitigasi bencana struktural yang sangat brilian menurutku.

Pinggiran danau kawah
Bila menyempatkan diri untuk berkemah di tengah kaldera ini dengan memasang tenda di pinggir kawah maka anda akan merasakan ketenangan luar biasa bahkan cenderung sunyi senyap karena jarang orang mau berkemah di sini, kebanyakan karena alasan mistik ( di sini juga ada mesjid dimana di belakangnya sering dijadikan tempat bersemedi) maupun karena adanya babi hutan. Untungnya saya tidak mengalami keduanya selama saya berkemah di sana. Dalam gelap total dan hanya melihat bintang, tidur akan terasa pulas. Paginya, uap dari permukaan danau akan menjadi sajian pertama anda, kabut yang mendekap Gunung Jadi tampak begitu anggun, dan rasanya siang begitu lama akan datang. Tanda-tanda siang telah tiba ditandai dengan munculnya orang yang datang untuk memancing ikan, rombongan remaja berisik yang hendak piknik dan foto-foto, serta munculnya jajaran manusia di tepian kawah di atas anda. Semua dinikmati sendiri sambil memasak sarapan dan menikmati kopi panas, luar biasa rasanya.

Perjalanan pun harus berakhir, terbayar sudah rasa penasaran pada sosok gunung yang legendaris ini, saatnya menggandeng tangan kekasih menuruni ratusan anak tangga dan kembali di mana kami memulai semua. Terimakasih Galunggung, dan semoga pelajaran atas bencana karenamu tak akan mudah terlupakan oleh manusia-manusia yang berada dekat denganmu. (1/5,W&Y)
Pagi di tepian danau kawah dan tampakan kubah lava

Tidak ada komentar:

Posting Komentar