Selasa, 08 Oktober 2013

Senandung Sunyi Galunggung

Panorama Kawah Galunggung


Berikut adalah sebuah kisah yang kucatat kembali dari memori yang telah lewat, sebuah memori yang sayang jika dibuang. Mirip seperti yang dikatakan Pram, sehebat apapun pengalaman seseorang  sejauh ia tidak menuliskannya maka pengalaman itu akan menghilang dan dilupakan. Maka sesepele apapun itu, kutulis lah kisah ini. Hitung-hitung menjadikannya sebuah buku dalam rak perjalanan kami berdua yang pastinya tak akan terlupakan.

Kami berada di sebuah daerah bernama Tasikmalaya, sebuah wilayah yang terkenal karena kerajinan bordirnya serta pedagang kain hebat di kawasan Tanah Abang. Daerah yang dahulunya bernama Sukapura ini merupakan dataran yang tersusun pasca meletusnya Galunggung, maka pernah juga daerah ini disebut dengan Tawang-Galunggung yang artinya dataran terbuka yang sangat luas. Penyebutan Tasikmalaya sendiri sangat berkaitan dengan dampak meletusnya Gunung Galunggung. Secara etimologis “tasik” muncul dari kata “keusik” yang berarti  “danau pasir” dan “malaya” berarti “ngalayah” atau “bertebaran”, maka benang merahnya, Tasikmalaya adalah daerah luas yang terdiri dari pasir vulkanis di mana-mana . Ada juga versi lain yang mengartikan Tasikmalaya sebagai “lautan gunung seperti di Malabar India sana” dan ini bisa jadi benar karena letusan Galunggung purba menciptakan sebuah kawasan perbukitan hasil lontaran materialnya yang saat ini dikenal dengan Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills), dalam dunia geologi kawasan ini dikenal dengan nama Formasi Tasikmalaya. Jadi Tasikmalaya bisa dikatakan adalah monumen sejarah sebuah peradaban di wilayah Priangan yang terbangun di atas memori atas bencana. Hal ini didapatkan dari cerita dan obrolan dengan warga Tasikmalaya sendiri maupun beberapa referensi  yang pernah kubaca.

Maka berangkatlah kami ke sana, menikmati Galunggung yang begitu menggoda, entah kenapa kami selalu tergoda dengan sosok gunung sehingga tak pernah bisa menolak godaan untuk mengunjunginya. Gunung Galunggung dapat ditempuh dengan kendaraan dari kota Tasikmalaya melewati jalur Tasik-Singaparna, sampai di simpang Pondok Pesantren Cipasung berbelok ke kanan menuju Kecamatan Sukaratu kira-kira 10 km. Di pertigaan kecil bertanda pos ojek dan papan penunjuk area tambang pasir Galunggung berbeloklah kami ke kanan menyusuri jalanan aspal hancur, tidak rata sana sini dan kemudian dominasi batu susun selama kurang lebih 1 jam. Jalanan baru kembali bagus setelah kami sampai di gerbang kawasan. Ada pos retribusi seharga Rp 4 ribu perorang dan pengunjung disediakan dua pilihan, belok kanan akan menuju pemandian terbuka air panas Cipanas  namun jika mengambil jalan lurus menanjak itu anda akan menuju kawah Galunggung. Kami memilih kawah Galunggung, dan menyusuri kembali hutan pinus kira-kira 20 menit sebelum sampai di parkiran di mana terdapat warung-warung kopi berpemandangan lembah-lembah.

Mulai meniti 620 anak tangga
Sama sekali tak sulit untuk menikmati kawah Galunggung meski ketinggian gunung ini tercatat 2.167 mdpl, dari parkiran ini kita langsung menemukan ratusan anak tinggi lurus ke atas menuju pinggiran kawah, tepatnya ada 620 anak tangga. Setelah sesekali berhenti untuk mengatur nafas dan mengambil gambar orang cantik yang bersamaku ini sampailah kami di pinggiran kawah dan tersajikan pemandangan kaldera lebar dengan tengahnya berisi sebuah kubah lava dikelilingi danau dan endapan material vulkanik di sisi yang lain. Meskipun ada beberapa warung di pinggiran kawah ini (biasanya buka sampai jam 4 untuk kemudian tutup dan mereka turun dengan barang dagangannya) kami memilih berjalan-jalan menyusuri bibir kawah sambil mengambil gambar, bercerita dan kadang-kadang hanya memandangi lanskap indah itu. Jika menginginkan pemandangan yang bebas kabut disarankan untuk berada di sini maksimal jam 2 siang karena sesudah jam itu biasanya kabut menyelimuti dan hujan juga sering terjadi.

Bila ingat Galunggung tentu kita teringat fenomenalnya erupsi gunung ini. Terbayang apa yang terjadi tahun 1982 kala Galunggung meletus dengan hebatnya, bahkan menjadi salah satu letusan terhebat di nusantara. Dinding kokoh dari Gunung Ageung (sebutan lain Galunggung yang lebih tua) serta danau berwarna hijau, serta bukaan kawah ke arah timur-tenggara seakan menjadi saksi bisu letusan hebatnya kala itu. Kembali ke tahun 1982, tepatnya tanggal 5 April 1982 ketika gunung ini bergemuruh dan melemparkan isi bumi ke luar dengan massa dan kekuatan luar biasa. Petir dan halilintar menggelegar membuat langit berwarna merah. Debu vulkanik menggumpal  dalam kolom setinggi 20 km ke angkasa, belum lagi awan panas menyapu wilayah timurnya, sementara debunya menghujani  sampai wilayah dalam radius 100 km. Periode erupsi ini berjalan sepanjang 9 bulan sampai 8 Januari 1983, memaksa 20 ribuan orang harus bertransmigrasi ke sumatera karena tak bisa menggarap lahan atau tinggal di desanya lagi. Bekas terbukanya kawah bagian timur-tenggara adalah sisa kehancuran besar saat itu, dinding masif itu itu runtuh menjadi lahar dingin yang menenggelamkan kawasan-kawasan sekitarnya dalam lautan pasir, tanah, dan batu. Pintu ini sampai sekarang menjadi bayangan bahaya bagi kota Tasikmalaya karena arah bukaannya nya memang ke arah kota.

Halilintar di atas Galunggung saat erupsi 1982 (photo by Wikimedia)
Dan di sinilah kami, di bawah perkasanya karya bumi ini kami menghirup nafas panjang dan merasakan segarnya puncak Galunggung.  Jika sampai di sini mata tak akan bisa lepas dari pemandangan di bawahnya yakni sebuah kaldera besar seluas kira-kira 4 hektar. Kita bisa menuruninya dari dua sisi danau selama kira-kira 20 menit ke bawah turun sedalam 100 meter. Berada di tengah kawah ini sungguh menyenangkan, seolah kita berada di sebuah baskom besar yang sunyi. Di dalam kaldera ini terdapat sebuah danau yang dipenuhi ganggang berwarna hijau mengelilingi kubah lava yang dihasilkan pasca letusan 1918, kubah ini kemudian dinamakan Gunung Jadi. Air danau ini diatur volumenya yakni tidak boleh melewati lebih dari 750 ribu meter kubik dengan cara dibuat terowongan pada tahun 1993-1997 sepanjang 748 meter untuk mengalirkannya ke Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran di bawahnya. Hal ini dilakukan sebab jika volume air sangat tinggi, air tersebut dapat meruntuhkan dinding kawah yang pastinya mengakibatkan bencana besar nantinya. Proyek ini adalah salah satu bentuk mitigasi bencana struktural yang sangat brilian menurutku.

Pinggiran danau kawah
Bila menyempatkan diri untuk berkemah di tengah kaldera ini dengan memasang tenda di pinggir kawah maka anda akan merasakan ketenangan luar biasa bahkan cenderung sunyi senyap karena jarang orang mau berkemah di sini, kebanyakan karena alasan mistik ( di sini juga ada mesjid dimana di belakangnya sering dijadikan tempat bersemedi) maupun karena adanya babi hutan. Untungnya saya tidak mengalami keduanya selama saya berkemah di sana. Dalam gelap total dan hanya melihat bintang, tidur akan terasa pulas. Paginya, uap dari permukaan danau akan menjadi sajian pertama anda, kabut yang mendekap Gunung Jadi tampak begitu anggun, dan rasanya siang begitu lama akan datang. Tanda-tanda siang telah tiba ditandai dengan munculnya orang yang datang untuk memancing ikan, rombongan remaja berisik yang hendak piknik dan foto-foto, serta munculnya jajaran manusia di tepian kawah di atas anda. Semua dinikmati sendiri sambil memasak sarapan dan menikmati kopi panas, luar biasa rasanya.

Perjalanan pun harus berakhir, terbayar sudah rasa penasaran pada sosok gunung yang legendaris ini, saatnya menggandeng tangan kekasih menuruni ratusan anak tangga dan kembali di mana kami memulai semua. Terimakasih Galunggung, dan semoga pelajaran atas bencana karenamu tak akan mudah terlupakan oleh manusia-manusia yang berada dekat denganmu. (1/5,W&Y)
Pagi di tepian danau kawah dan tampakan kubah lava

Senin, 07 Oktober 2013

Menemukan Jembatan Cinta Itu

Panorama sisi barat Tidung saat senja
Suatu kali terbersit ide untuk melakukan perjalanan akhir minggu tanpa harus perlu mengeluarkan tenaga ekstra namun ada keinginan bahwa tempat itu memang layak dalam arti memberikan suasana berbeda dari kejamakan hari-hari kami dan membuat akhir minggu terasa indah dan menyegarkan. Awalnya niat yang kami rencanakan adalah berlibur di Taman Wisata Alam Muara Angke yang menyediakan spot perairan payau dan kawasan mangrove dimana terdapat cottage yang bisa digunakan untuk menginap. Namun setelah dipelajari bahwa biaya akomodasi cottage tersebut relatif mahal dan nanggung, tujuannya langsung berubah menuju satu tempat yang telah lama ingin kukunjungi yakni Pulau Seribu. Wong sendiri sudah pernah ke Pulau Seribu sehingga bisa memberikan pandangan bagiku bahwa tempat itu menarik dan layak dijadikan destinasi liburan akhir pekan kami. Maka diputuskanlah bahwa tujuan liburan kami adalah salah satu pulau di kawasan Pulau Seribu di utara Jakarta.

Bergeraklah kami dari rumah pagi-pagi sekali agar pada jam 7 pagi kami sudah berada di pelabuhan Muara Angke untuk naik kapal penumpang ke Pulau Pramuka. Perjalanan pagi dari rumah pada pagi buta di Jakarta sangatlah menyenangkan karena masih relatif segar, namun bayangan itu buyar ketika kami harus melewati Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke. Bau busuk yang begitu menyengat menyergap penciuman kami meskipun seluruh kaca mobil sudah tertutup rapat, entah dari mana bau busuk itu masuk. Penutup hidung dari kain kamipun tetap tak mampu menangkal bau busuk dari TPI ini, sungguh luar biasa aroma pagi itu, terasa kenyang perut karenanya, cenderung ke mual.

Langit perak Jakarta
Setelah sekitar 15 menit melewati TPI ini kami sampai di tepian pelabuhan penyeberangan Angke. Dari sini dilanjutkan dengan berjalan kaki di antara jalanan becek, berebutan dengan sepeda motor, gerobak,kereta, becak barang, angkot dan puluhan manusia lain yang sibuk dengan agendanya masing-masing. Namun yang dominan terlihat adalah para manusia yang tampaknya memiliki niatan sama dengan kami yakni menyeberang ke Pulau Seribu. Di tepian pelabuhan yang berair keruh dan penuh sampah, tampak beberapa kapal penumpang. Ada tulisan di depannya, Pulau Pramuka dan Pulau Tidung. Awalnya kami hendak ke Pramuka karena pulau itu memang sudah terkenal di kalangan penyuka travelling, tapi kembali lagi ide mendadak dari perempuan manisku ini muncul. “Kenapa tidak ke pulau Tidung saja karena sama-sama belum pernah ke sana dan letak pulau itu lebih jauh, mungkin ada hal berbeda dan lebih menarik di sana?” begitu katanya Tanpa menggugat tawarannya lebih lanjut, setelah menghabiskan kopi hitam kami langsung naik ke kapal yang bertuliskan Tidung. Waw, di geladak bagian tengah ternyata sudah berjubel orang. Mereka duduk bersila, duduk selonjor di pinggiran geladak, atau tiduran di sana berkelompok-kelompok sambil bercerita dan makan minum. Kamipun mencari tempat untuk duduk karena perjalanan akan lumayan panjang, 3 jam dengan biaya per orang Rp 32 ribu.

Penampakan Onrust dari kapal

                Saat mentari pagi bersinar, paparan sinar perak di langit Jakarta mengantar kami mengarungi perairan utara Jakarta dalam tenang. Gejolak arus yang tertabrak laju kapal tampak pasrah menerima terjangan kapal, mata pun dimanja dengan pemandangan Ancol dari perairan dengan tegakan-tegakan gedung tinggi di sana sini bercampur dengan bayang rumah-rumah kumuh pinggiran Angke. Betul-betul menggambarkan Jakarta yang biasa orang kenal. Satu persatu pulau dilewati, Pulau Onrust yang legendaris sebagai perhentian haji dan koloni lepra, pulau yang dijadikan hutan larangan, Pulau Bidadari yang indah dengan resortnya dan pulau-pulau kecil lain pun kami lewati menuju tujuan akhir kami yakni Tidung. Setelah 2,5 jam barulah tampak bentuk pulau tujuan kami, ada dua pulau ternyata yakni Tidung Besar dan Tidung Kecil berdampingan dan dihubungkan oleh jembatan sepanjang 800 meter. Terbayang menyenangkannya menyeberangi jembatan itu dengan sepeda berdua, namun kami akhirnya sedikit kecewa nantinya.

Dermaga Tidung


                Sesampainya di dermaga, suasana sudah ramai, sebuah papan menunjukkan dimana kami berada. Setelah 3 jam di kapal, bisa berdiri dan berjalan di darat rasanya begitu melegakan. Ini lah pulau tujuan kami yang ternyata adalah sebuah pulau yang sempit memanjang. Keluar dari dermaga kami langsung berhadapan dengan lorong-lorong antara rumah dengan jalan mirip gang, jalan dengan paving blok inilah satu-satunya jalan di pulau ini dan tampaknya berkendara dengan sepeda lebih menyenangkan. Akhirnya setelah menikmati sarapan yang tertunda, aktivitas pertama kami adalah menyewa sepeda, 20 ribu saja untuk berboncengan dan dengan sepeda ini lah kami menyusuri ujung satu ke ujung lain pulau sambil mencari penginapan yang berlokasi strategis.

Di ujung barat pemukiman dan penginapan berupa homestay lebih padat, tak ada pemandangan ke laut yang cukup terbuka, sementara ke timur terasa lebih lapang. Bisa jadi karena sisi timur memiliki daratan yang lebih sempit. Di ujung jalan inilah ternyata pusat keramaian berada, puluhan warung tersaji di sini, ada juga penyewaan kayak atau permainan air lainnya yang bisa disewa. Kamipun memilih menyewa snorkel dan kayak yang kami gunakan untuk menyeberang ke gosong kecil di area agak tengah dimana kami bisa menambatkan kayak dan menggunakan snorkel untuk snorkling di daerah itu. Di sini kita bisa menyaksikan ikan-ikan kecil berkeliaran di antara terumbu yang relatif sudah rusak, dan dengan kayak kita bisa menikmati jernihnya perairan dangkal penuh ganggang laut. Jikapun ada sedikit rasa kecewa kami adalah ketika menyadari bahwa harapan untuk bersepeda menyeberang jembatan penghubung kedua pulau itu tidak bisa terwujud karena Jembatan Cinta, nama jembatan itu sedang mengalami proses renovasi. Tinggal lah dengan kayak kami menikmati kedua pulau itu dari air, cukup menyenangkan.

Senyum di gerbang Jembatan Cinta
Tepian pulau di sisi timur

             Setelah puas bersnorling dan berkayak ceria, hunting penginapan dimulai dan akhirnya kamipun menemukan penginapan di sektor timur yang menurut kami strategis karena memiliki halaman belakang yang luas dan langsung menghadap laut baik arah timur, selatan maupun barat, sebuah penginapan yang relatif luas terdiri dari 2 kamar yang bisa ditempati sampai 10 orang dengan harga Rp 250 ribu. Tempatnya lapang, bersih dan pastinya aman.

Dari lokasi kami ini, sisi barat terpampang di mana kami bisa menunggu matahari tenggelam sambil memandangi anak-anak yang berenang di dermaga atau menyaksikan para pemancing yang dengan sabar memegang jorannya. Duduk di sini memandang keluasan laut memberi rasa lega pada mata kami, duduk dan saling bercerita terasa menyenangkan, sampai tak terasa gelap mulai datang dan sunset yang kami tunggu memang tak hadir. Namun itu tak membuat kami kecewa karena malam memberikan gantinya. Di bawah pohon-pohon cemara kami disuguhi pemandangan langit penuh bintang dan suara hempasan ombak kecil di tepian pantai. Suasana yang menciptakan malam syahdu bagi para kekasih, menyediakan nada bagi lantunan lagu-lagu cinta, malam terasa sangat cepat berlalu, indahnya tak terlupa. Malam itu adalah salah satu malam yang tak akan kami lupakan dalam hidup kami.


Jembatan Cinta sedang direnovasi
                Pagi hari telah kuniatkan hati untuk menunggu cahaya matahari terbit dari sisi timur, tak perlu berjalan jauh karena penginapan kami menyediakan spot terbaik untuk sunrise. Dan apa yang kunanti akhirnya datang, betapa kurasakan membuncahnya rasa hati seolah baru menjemput seorang kekasih yang telah lama berpisah. Berkas cahaya pagi menciptakan garis berwarna nila yang begitu agung, langit biru menjadikannya latar belakang yang bersih, mega-mega menjadi ornamen, sementara pendar cahayanya di atas air menciptakan kelembutan yang anggun. Betapa mata ini dimanja, tak henti-hentinya shutter kamera kutekan untuk mengabadikan setiap momen itu. Sempurnalah, aku memiliki malam yang sempurna dan ditutup dengan sunrise yang sempurna. Terimakasih Tidung, terimakasih Wong untuk membuatku bisa menikmatinya. Meskipun tak bisa kita menyusuri Jembatan Cinta, kita telah menemukan jembatan bagi cinta kita, lewat semesta ini lah kita membangun kekaguman dan kecintaan satu sama lain, itulah jembatan kita. Ingin kumencipta dan menyanyikan sebuah lagu cinta untukmu, selalu dan selamanya. Dari Tidung ini kedua hati makin dipertautkan (W&Y,12-12)

Lukisan pagi


Sunrise Pulau Tidung


 



Kamis, 26 September 2013

Dimulai dengan Cikurai

 
Cikurai pada rentang 1920-1940, koleksi Tropenmuseum

Jika mendengar kata Cikurai, mungkin tak banyak orang yang langsung ngeh jika itu adalah nama sebuah gunung. Gunung ini tepatnya berada di wilayah Kabupaten Garut. Area terdekat jika hendak mencarinya di google map atau google earth adalah di kawasan Perkebunan Teh Dayeuhmanggung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut bagian timur. Jika anda melewati jalur Garut-Tasikmalaya lewat Singaparna maka kaki gunung inilah yang Anda susuri.


Cikurai kini
Gunung ini menjulang setinggi 2818 meter di atas permukaan laut dan tampil seperti sebuah kerucut dengan punggungan tajam menanjak. Terbayang sudah jalur trek yang akan memaksa dengkul untuk sering bertemu dengan dagu kalau istilah kawan dari Garut sendiri, Abah Enties. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di wilayah Garut dibandingkan Gunung Papandayan (2622 mdpl) dan Gunung Guntur (2249 mdpl). Uniknya ketiganya memiliki karakter medan yang berbeda sama sekali , jadi puaslah bisa merasakan sensasi tiga gunung di Garut ini secara lengkap pada nantinya.

Kami berangkat dalam tim empat orang, aku, Wong, Abah dan Bayu dengan titik pertemuan di Garut pada Jumat malam. Sabtu pagi-pagi sekali kami telah ditunggu oleh angkot yang kami carter Rp 200.000 sampai di pemancar. Cara ini lebih simple karena tak perlu berpindah-pindah transportasi, barang-barang steady, dan kami bisa mampir untuk membeli sarapan di warung yang telah buka. Hitung-hitung jalan-jalan pagi. Keputusan ini kami syukuri setelah kami mengalami sendiri jalur dari jalan Garut-Tasik (Cilawu) menuju Stasiun Pemancar berupa jalan yang tersusun dari batu besar yang terkadang berlubang, tapi sejuk hembusan angin pagi dan pemandangan kebun teh pagi hari sungguh menghibur. Jika dilakukan dengan ojek akan lumayan menyiksa punggung sementara jika memilih berjalan kaki akan menyiksa lutut sebelum bertanding, namun anehnya kami menemukan rombongan dari Bogor yang berjalan kaki selama 3 jam sampai kaki Cikurai..wawwww. Hebat!


Lanskap perkebunan the Dayeuhmanggung

Hari masih sangat pagi, sekitar jam 7 kami sudah sampai di stasiun pemancar, masih sangat sepi. Sejenak kami menikmati indahnya pemandangan kebun teh di sekitar stasiun, mempelajari  jalur yang ada di sebuah pondok, menyiapkan mental dan repacking. Kamipun mulai melangkah menyusuri jalur teh yang masih berupa rumput dan tanah basah. Jalanan langsung menanjak dan terus menanjak sampai kami melewati  batas akhir kebun dan mulai memasuki hutan. Hutan tersebut berupa punggungan tajam, dan jalur pendakian mulai menyempit namun tetap menanjak. Mahfum lah kami dengan bentuk kerucut gunung ini, jalur pendakiannya memang senantiasa mendaki, dengkul ketemu dagu sering terjadi ketika harus melewati jalur akar-akar pohon.  Perjalanan terus berada seprti di lorong hijau hutan, tak sering ditemui  tempat datar dan lapang. Kelegaan baru dialami lima jam kemudian ketika kami tiba-tiba sampai di Pos 6 yang sering disebut Puncak Bayangan, tanah seluas lapangan badminton mempertontonkan puncak di sebelah kanan dan lembah di depan kami. Di sini lah baru istirahat terasa sangat direstui bumi, dan ini benar karena dua orang di antara kami sempat tidur siang beberapa menit sementara aku dan wong lebih suka mengambil gambar dan berbagi cerita.

Rehat di puncak bayangan
Setelah puas menikmati masa rehat, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri punggungan terakhir menuju puncak, kembali jalur hutan cuman bedanya di jalur ini sudah mulai terbuka. Nampak di kiri kanan ditemui tanah yang cukup untuk didirikan tenda, jalur juga mulai diwarnai dengan batu. Bisa diartikan bahwa area puncak sudah dekat karena bisa jadi itu adalah guguran batu dari puncak saat gunung ini tak lagi aktif, ini sih analisis sekenanya aja. Ternyata cukup makan waktu juga menuju ke puncak ini, hampir sekitar 2 jam kami baru mencapai daerah dengan batuan yang solid di sana-sini, semak ada di mana-mana, dan akhirnya..wallaaaa.....puncak Cikurai. Sebuah bendera merah putih berkibar tegas menyambut kami dan sebuah pondok permanen berukuran 2 x 2 seakan telah menunggu kami untuk memberi keteduhan di tengah terik hari. Pukul 2 siang kami sampai di puncak, tujuh jam kami habiskan untuk berjalan, tak penting itu lama atau cepat, yang penting kami sudah ada di titik paling tinggi menikmati lapisan awan dan kepakan burung layang-layang.
Berempat di puncak cikurai

Sayang kebersamaan kami tak lama, Abah memutuskan untuk langsung turun lagi karena ada pekerjaaan yang harus dikerjakan besoknya, ia seolah hanya mengantar kami sampai puncak lalu ketika tugas selesai, ia akan pulang sendiri. Sungguh orang yang baik hati, terimakasih Abah dan makin salut ketika waktu kami turun kami tahu bahwa kemarin ia jalan kaki dari puncak ke jalan besar Garut-Tasik melewati kebun teh saat senja hari......ajiib..!



Satu hal yang jarang kami temui namun dapat kami alami di puncak Cikurai ini adalah ngecamp di pondok permanen lalu menikmati matahari tenggelam. Sungguh luar biasa sensasi ini, menyaksikan matahari dan awan membentuk konfigurasi yang menakjubkan sampai akhirnya gelap melingkupi kami berganti bintang-bintang. Namun tantangannya juga besar yakni saat angin bertiup sangat kencang membawa butiran air menciptakan dingin yang menggigit sampai tulang, itulah konsekuensi membuat camp di puncak. Wong sempat mengalami efek dingin yang serius meski kemudian bisa teratasi sehingga bisa tidur cukup.


Saat surya tenggelam
View dari dalam shelter














Pagi-pagi sekitar jam 4 aku terbangun oleh niat untuk mengambil momen sunrise dan ternyata sudah ada banyak orang di luar pondok kami dengan tujuan yang sama, meriah sekali pagi itu. Sang matahari pun muncul menyambut kami dalam warnanya yang merah muda, menyampaikan salam bagi para pemuja keindahan. Gambar-gambar tersebut akan dengan senang hati kami bagi pada siapapun yang membuka tulisan ini.
Mentari merah muda saat terbit

Perjalanan pulang terasa melelahkan, empat jam waktu yang kami habiskan untuk turun dengan lutut yang mulai bergetar. Untunglah dengan perenc anaan yang antisipatif, kami sudah memesan jemputan kami kemarin di stasiun pemancar sehingga ketika hujan tiba kami sudah dalam perjalanan di dalam angkot carteran menuruni jalur-jalur teh Dayeuhmanggung menuju kota Garut.

Whew...cuma kelegaan dan syukur bisa kami rasakan, dan yang paling spesial bagi kami adalah bahwa perjalanan ini menjadi titik awal perjalanan-perjalanan berikutnya yang tak kalah menyenangkan. Akan kami share juga di sini jika pembaca tidak keberatan. Bye bye and thanks Cikurai. (Nov12-W&Y)


Terimakasih semesta, indahnya siang dari larik teh Dayeuhmanggung ini

 

Rabu, 25 September 2013

Ketika Semesta Mempertemukan Kami Kembali

matahari terbit kita pagi itu

Dia datang dari remang masa lalu, pernah di suatu masa ia hadir sebentar dan kemudian menghilang kembali. Tak sempat ia meninggalkan pendar cahayanya dalam mataku, maka jamaklah ketika memoriku tak sempat berkembang atasnya selain ia adalah seorang yang baik dan menyenangkan. Banyak orang mengatakan bahwa tak baiklah menjalin hubungan dengan seseorang hasil sebuah perjalanan karena sejatinya bukan pribadinya yang menyenangkan melainkan kehadirannya saat diri ini sendirian lah yang membuatnya nyaman. Taktala perjalanan itu usai maka kenangan itu tertinggal sebagai kenangan yang indah, so jangan menyeret momentum keindahan ke dalam dunia beku kehidupan yang membosankan, begitu para bijak menyarankan. Begitulah maka ketika aku pun terlupa olehnya, tak ada rasa sakit hati atau kerinduan. Hidupku melangkah sendiri untuk memahat relief jalan diriku, begitu pula dengannya, ukiran hidupnya ternyata telah terjalin rumit dan membatu tanpa perlu ada hadirku di sana, rasa bahagia dan senang, sakit dan derita adalah miliknya semata yang tak pernah pula dibagi padaku. So long my friend in travel.

Entah suatu kebetulan atau hanya kesempatan yang sama-sama tak disadari, ternyata aku telah lama bergeming di dekatnya. Perjalanan kami bukan tak bersisa, tanpa disadarinya aku selalu menemaninya setiap saat,saat lelah setelah bekerja, saat air mata tumpah di atas bantalnya, saat ia begitu bahagia dalam cinta, saat ia terdiam dan tenggelam dalam lamunan, saat ia berganti baju, berganti kekasih, berganti cerita, aku tetap di sana memandangnya dalam sunyi tanpa kata. Menyaksikan semua itu tapi tak berkomentar apapun atas semua jalan hidupnya. Apakah itu bisa diartikan bahwa aku membiarkannya mencari tujuan hidup tanpa hendak mengganggunya, aku tak tahu.

Tak disangka, waktu kembali berputar, bertahun-tahun kemudian aku dan dia bertemu kembali di titik yang sama di mana kami memulai dahulu, sebuah kerinduan yang lama, kegairahan yang sama atas sebuah perjalanan kembali membuncah, ia memang  teman seperjalanan yang menyenangkan. Namun ada yang berbeda kali ini, di atas bukit di tengah kabut, seiring mengeringnya peluh, sebuah ruang waktu seakan dihadirkan buat kami, menyisihkan manusia dan makhluk lain di sekitar agar kami punya waktu untuk berbicara dan saling mendengarkan kisah kami.  Baru kutahu kepahitan yang dialaminya, baru kusadari betapa indah pernah ia rasa meski tanpaku, dan aku bahagia mendengar ia bahagia namun juga ikut bersedih saat kemuraman dan keputusasaan juga muncul dari bibir tipisnya yang indah. Ada rasa simpati betapa sang pemilik mata sayu dan bibir indah ini ternyata disakiti begitu rupa, terlalu banyak keputusan salah yang diambil namun tak bisa semua diulang, tak lain hanya penghiburan yang bisa kuberi. Malam pun menjelang, dingin mulai menusuk-nusuk tulang, lembaran-lembaran kain harus dirapatkan ke tubuh untuk mengumpulkan hangat. Mentari pun sirna, berganti malam dan gemintang yang disaput angin kencang badai puncak gunung.

Dalam gigitan malam itu, sebuah ceracau membangunkanku, panggilan dari tubuh yang menggigil kehilangan panas, suaranya bagaikan sedang mengalami mimpi buruk. Antara sadar dan tak sadar kuberikan hangat tubuhku agar berhenti igauan itu, sebuah dekapan bisa berarti besar saat itu. Tak seberapa lama tubuhnya meringkuk rapat di tubuhku dan ceracau ribut itu sirna, nafasnya kembali teratur, kurasakan tidurnya kembali pulas, kueratkan pelukanku di tubuhnya untuk memastikan ia bisa terlelap dengan nyaman hingga pagi menjelang, dan kamipun tenggelam dalam tidur yang dalam sambil menanti fajar datang menghibur mata sembab kami. Baru kusadari dengan penuh saat pagi menjelang kutelah mendekapnya begitu rapat, ia masih terlelap, begitu nyaman. Kupandang wajahnya kala itu, dan aku merasa bahwa wajah itu sekarang begitu kenal, begitu akrab, dan tak pernah jauh dariku, ia pernah hadir sebelum ia menghilang.

Sebuah garis waktu memerangkap kami kemudian dalam rangkaian kisah siang dan malam ketika cerita tak lagi sama, dilema berhadapan pada diri masing-masing untuk membuat sebuah keputusan. Rangkaian ragu mengantarkan kami pada sebuah perjalanan batin yang berliku, berkelindan dengan harapan dan kenyataan yang ada di depan mata. Berulang kembali kisah-kisah sakit hati maupun simpati, namun yang paling nyata adalah sebuah mimpi bahwa masing-masing menginginkan masa depan yang bahagia dengan cara saling membahagiakan. Benar bahwa cinta datang dalam cara yang misterius, jalinan ragu, cemburu, ketidakyakinan yang ada justru menuju sebuah titik kesatuan yang mendalam. Tanpa ada upacara, tanpa kalimat-kalimat janji, hanya dengan pandangan mata dan bahasa tubuh masing-masing, kamipun menyatu. Kesatuan itulah yang memulakan jalan berliku dan penuh duri kami sampai saat ini.

Saat jemari tak pernah mau terlepas, saling memagut tanpa hendak melepaskannya kami menyusuri jalan sunyi kami. Di tengah keramaian dunia kami tahu bahwa pada dasarnya kami sendirian karena hanya kami yang bisa memaknai jalan dan pilihan janggal ini. Jalan-jalan tanah ini adalah lorong perjalanan kami, kami menyusun satu persatu batu bagi jalan kami untuk kaki kami melangkah. Puluhan kali kaki-kaki ini terantuk, sesekali mereka berhenti untuk kemudian melangkah lagi. Tak selalu seirama, tak senantiasa pasti, namun kami percaya bahwa jalan ziarah kami sedang dimulai dan tak akan berhenti sampai semesta mencabut semua niatan ini, ialah yang mempertemukan kami maka ia jugalah yang bisa memisahkannya. Inilah jalan kami, perjalanan mencari ujung pelangi kebahagiaan.  Bersamamu aku percaya kekasihku, seperti waktu telah bersabar untuk mempertemukan kita kembali, aku percaya kita pun akan bersahabat dengan sang waktu. (W&Y)


suatu pagi di puncak cikurai