Rabu, 11 Desember 2013

Bagaimana Menikmati Bali dalam Dua Hari

 
Hanoman dibakar, sebagian adegan dalam penampilan Tari Kecak di Pura Uluwatu
Bali adalah kata sakti karena meski telah beratus tahun negeri ini menjadi daerah kunjungan wisata, perubahan-perubahan pasti terjadi seiring waktu, namun Bali tetap menyimpan pesonanya sendiri sehingga masih tetap layak dinobatkan sebagai destinasi utama wisata di Indonesia. Bali dalam konteks ini tentu saja bukan seluruh Bali melainkan hanya merujuk Bali bagian selatan. Sejak kedatangan pertama di pelabuhan Padang Bai aroma Bali sudah terasa meski hari masih gelap. Kami menghabiskan waktu 5 jam dengan kapal ferry dari Pelabuhan Lembar, Lombok sejak jam 10 malam dan sampai di Padang Bai jam 5 pagi. Kemudian dilanjutkan dengan naik kolt (cukup mahal tapi tak banyak pilihan, @50 ribu) dan berhenti di terminal Batu Bulan, Gianyar untuk menunggu bis Sarbagita (ini adalah Bus Rapid Transit, sejenis Transjakarta atau Transjogja, biayanya murah meriah @3500) menuju Kuta. Di Legian, Kuta inilah kami merencanakan untuk menjadi tempat singgah selama dua hari dan menikmati sejengkal waktu sebelum kembali ke Jakarta.


Pantai Pandawa
Semilir angin dan hangatnya udara pantai Kuta menyambut kami di pagi hari, membawa kami dalam suasana liburan yang sesungguhnya. Tak ada yang mengganggu waktu selain hanya untuk menyegarkan paru-paru dan mata menikmati indahnya sebagian Pulau Dewata. Hari ini direncanakan untuk menikmati Bali dengan cara yang berbeda yakni memakai moda roda empat karena jarak tujuan yang jauh dan mengantisipasi udara gerah serta panas teriknya mentari. Dari persewaan di dekat hotel kami mendapatkan Jimny dengan biaya sewa 150.000, pilihan yang tepat oleh Wong karena seharian kami diselamatkan oleh moda ini dengan ac yang menjaga kami tetap sejuk di bawah terik matahari Bali dan udara yang begitu lembab.
Model Dadakan
Arah sudah ditentukan yakni selatan dengan tujuan akhir adalah Pura Uluwatu di mana akan ada performance Tari Kecak bersamaan dengan waktu matahari terbenam. Sambil menuju Uluwatu kami mengunjungi pantai-pantai di wilayah Selatan. Berbekal majalah MyTrip kami menyusuri pantai-pantai itu untuk membayar rasa penasaran kami, yang sengaja kami lewatkan adalah Garuda Wisnu Kencana yang sebenarnya sejalan dengan arah kami dan memilih eksplore pantai-pantainya. Yang pertama adalah Pantai Suluban atau dikenal secara internasional sebagai Blue Point (yang ternyata menjadi salah satu lokasi syuting “Eat, Pray & Love”). Pantai ini arahnya sebelah kanan sebelum masuk Pura Uluwatu dengan posisinya sempit dan agak di bawah dari jalan raya menyusuri tangga yang sudah sangat bagus. Pantai ini dikenal sebagai surganya surfer karena ombaknya yang besar. Dari atas tebing dapat dinikmati penampilan para penari ombak sambil duduk santai atau menikmati makanan dan minuman segar di atasnya.

Pantai Suluban alias Blue Point




Selesai menikmati Blue Point, kami mengunjungi pantai Padang-padang, sebuah pantai yang berada searah dengan Blue Point. Pantai ini lebih ramai oleh pengunjung dari dalam negeri. Padang-padang atau Labuan Sait merupakan sebuah teluk sempit yang memiliki air yang relatif tenang sehingga banyak pengunjung berenang di area yang memang dikhususkan untuk berenang. Pantai berikutnya yang kami tuju adalah Pantai Pandawa, sebuah pantai yang direkomendasikan oleh MyTrip sebagai pantai yang indah, panjang dengan pemandangan laut biru yang luas. Saat memasuki wilayah ini kita disambut oleh gerbang besar berupa tebing yang dipangkas, pada latar belakangnya nampak garis laut yang memang panjang. Di sepanjang tebing ini nampak jajaran arca di dalam tebing yang dikeruk menjadi ceruk kecil dengan nama-nama para penyandang dana bagi pengembangan pantai ini. Di pantai ini kita dapat melihat para pengendara paralayang melintas di atas tebing sambil menikmati air kelapa segar dari warung-warung yang berdiri di tepian pantai di mana juga nampak jajaran payung untuk tempat berjemur dan beristirahat sambil menikmati pemandangan pantai. 
Pantai Padang-padang
Ketika telah terpuaskan menikmati pantai di selatan Bali ini, kami memutuskan untuk menuju Pura Uluwatu di mana performance Kecak akan dilangsungkan, namun sesampainya di sana hari masih terlalu siang sehingga banyak waktu kami gunakan untuk berjalan-jalan di hutan penuh monyet ekor panjang yang agresif, menyusuri liku-liku koridor Pura Uluwatu yang luas dan dari kejauhan menikmati pemandangan ujung karang dimana pura yang didirikan abad 11 ini berdiri 97 m di atas permukaan laut.

Sekitar pukul 5 sore tiket untuk pertunjukan utama sudah dibuka, harganya cukup mahal yakni 70 ribu per orang namun toh panggung tetap penuh sesak oleh para penonton. Sedikit tentang tari kecak, sebenarnya tarian ini bukanlah tarian sakral dan juga bukan tarian yang sudah lama ada di Bali. Tari Kecak atau Cak atau Tari Api merupakan seni yang dikembangkan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak dan pelukis Jerman Walter Spies sebagai sebuah pertunjukan publik semata. Lakon yang dibawakan mengambil kisah Ramayana tanpa menggunakan gamelan atau alat musik apapun selain suara mulut “..cak cak cak ke cak..” Yang paling spesial dari pertunjukan Kecak di Uluwatu adalah bahwa pertunjukan ini dilakukan di panggung terbuka berbentuk amphiteather yang menghadap ke barat di mana matahari terbenam, jadi dalam satu kesempatan penonton akan disuguhi pertunjukan Tari Kecak sekaligus menyaksikan matahari terbenam. Sungguh pemandangan yang spektakuler dan sangat bernilai untuk menjadi kesempatan sekali seumur hidup.
Pura Uluwatu
Malam itu bayangan akan pertunjukan di depan matahari terbenam menjadi hiasan dalam benak kami, mengantar kami dalam tidur yang lelap. Esok pagi ada hari baru yang akan kami nikmati di negeri dewata ini. Wajah Wong nampak lelah namun tak sanggup menghentikan pancaran rasa suka cita di matanya.

Para Penari Kecak
Hari baru pun tiba, sambil menikmati kopi dan kudapan di Pantai Kuta yang masih sepi, rencana hari ini disusun.  Satu tempat yang membuat penasaran Wong sudah ditetapkan yakni Bebek Tepi Sawah di Ubud, sekaligus juga memberi kesempatan bagiku untuk menikmati kawasan Ubud yang terkenal itu. Maka  meluncurlah kami untuk menyusuri daerah tujuan kami. Jalanan terasa begitu luas, perjalanan lancar dan sepanjang jalan kami disuguhi wajah khas Bali dengan ornamen dan sentuhan etnik yang kental, apalagi hari itu adalah sehari menjelang Galungan sehingga semua pura menghias diri dengan cantik, jalanan pun tampak indah dengan ornamen khas perayaan hari raya. Setelah berputar-putar di Ubud termasuk singgah ke Monkey Forest kamipun mencari lokasi Bebek Tepi Sawah untuk menuntaskan rasa penasaran Wong. Untuk informasi saja, ini adalah bebek termahal yang pernah kami makan, bayangkan saja bagaimana seporsi bebek goreng dihargai Rp 90 ribu dan masih plus plus yang lain, memang rasa penasaran itu mahal meski diakui memang sedap rasanya di lidah.
Bebek Tepi Sawah, Ubud
Setelah rasa pedas di lidah hilang, perjalanan dilanjutkan menuju Pura Luhur Tanah Lot, dari Ubud kami merentang jalan menuju Tabanan di mana pura ini berlokasi. Pura yang menjadi salah satu dari Sad Kahyangan ini dibangun oleh seorang brahmana, Danghyang Nirartha pada abad 16 dengan sentuhan magis yakni dengan memindahkan batu karang ke tengah pantai dimana pura dibangun di atasnya dan mengubah selendangnya menjadi seekor ular laut, ular ini sampai saat ini masih ada dan dianggap suci.



Sunset Point Tanah Lot
Selain pura utama yang berada di atas karang tadi, di sisi utara juga terdapat pura di ujung karang dimana di bawahnya berlubang seperti pintu air, di sini spot terbaik untuk mengambil gambar. Di pura ini terdapat taman yang cukup luas dan bersih yang bisa dijadikan tempat duduk dan istirahat memandang laut maupun sunset jika mau, di pelataran pura ini juga terdapat pasar untuk membeli oleh-oleh yang cukup lengkap. Sayang kami harus segera bergegas tanpa bisa merasakan sunset di Tanah Lot ini. Sunset akan kami dapatkan di Kuta sebagai snapshot terakhir dari Bali sebelum pagi hari nanti kembali ke Jakarta. So di Kuta lah semuanya berawal dan berakhir, diiring dengan tenggelamnya sang surya bundar berwarna kuning dalam balutan awan jingga, kami tautkan doa kami agar kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir. Bali selalu mempesona, suatu hari kami akan kembali. (w&y, 10/13)

Sunset di Pantai Kuta

Selasa, 03 Desember 2013

Dari Sunset ke Sunset (Gili Trawangan - Bukit Malimbu 2)

 
Pemandangan Matahari Terbenam dengan latar Gunung Rinjani dari Gili Trawangan
Setelah sempat menikmati siang yang panas di Mataram serta lezatnya Ayam Taliwang di Karang Taliwang pada malam harinya, liburan yang masih ada kami gunakan untuk menemui tempat yang membuat kami penasaran yakni gili atau pulau-pulau kecil yang berada di Lombok bagian barat. Sengaja pagi hari kami menuju Pelabuhan Bangsal yang merupakan pelabuhan rakyat menuju gili-gili ini. Ada tiga pulau atau gili yang letaknya berdekatan dan menjadi tujuan para wisatawan dan pemburu lautan yakni Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, dari ketiganya kami memilih Gili Trawangan dan akan menggunakan moda perahu untuk menyambangi pulau lain.
 
Menunggu perahu ke Trawangan di Pelabuhan Bangsal
Dengan ongkos Rp 12.000 rupiah per orang kami sudah mendapatkan tiket naik perahu motor selama 30 menit menuju Gli Trawangan. Bersama kami tampak pula para pedagang yang membawa barang-barang mentah sebagai dagangan, para wisatawan dengan tas besar maupun kecil serta para penduduk Gili Trawangan yang memang seringkali bolak-balik antara Gili Trawangan dan Lombok, perahu penuh sesak pagi itu namun tetap kami menikmatinya sebagai sebagian wajah Indonesia sambil sesekali memandang ke luar ke air biru bening dan luas di sekitar kami.

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang sangat ramai. Saat perahu mendarat pantai tampak ramai oleh orang, tumpukan dus Bir Bintang, jejeran kafe atau tempat berjemur dan umbul-umbul perusahaan penawar jasa diving atau snorkling. Di kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh toko-toko , cafe dan penyewaan sepeda (ongkosnya @50-60 ribu perhari) sedangkan jalan sendiri penuh padat dengan lalu lalang sepeda, orang berjalan kaki maupun cidomo (kombinasi antara cikar, dokar dan mobil dengan biaya @50ribu).

Selamat datang di Trawangan

Pertama-tama, kami mencari tempat menginap. Dari informasi Narsih teman kami di Mataram, rekannya memiliki penginapan yang nyaman dan relatif murah yakni Gili Smile Inn yang letaknya di jalan belakang dari jalan utama, 500 meter dari gerbang pendaratan perahu tadi,  namun sayang sekali saat itu Gili Smile tutup karena stafnya melakukan pendakian ke Rinjani. Tapi akhirnya melalui rekan dari kawan di Gili Smile itu kami direkomendasikan ke Hotel Balenta yang letaknya di seberang Gili Smile namun berbatasan langsung dengan jalan utama. Seorang kawan baru yang baik akhirnya memberi kami sebuah pondokan yang nyaman dan indah berbentuk rumah Sasak hanya dengan harga Rp 150 ribu, ini harga teman, sementara harga normal untuk tipe standar adalah Rp 250 – 300 ribu. Kami sangat beruntung memiliki teman dari teman yang memberi kami tempat yang nyaman ini.
Penginapan dengan desain Rumah Sasak, Gili Smile inn
Barulah pada siang hari kami menikmati tepian pantai Gili Trawangan yang ramai terisi para wisatawan. Seperti biasa, pengamatan kami dimulai, pertama, harga makanan di cafe-cafe pinggiran pantai ini relatif mahal, rata-rata harga makanan adalah Rp 50ribu dan minuman Rp 15ribu. Kedua, kami adalah minoritas di gili ini karena hampir 95% yang kami lihat adalah wisatawan mancanegara. Ketiga, hampir semua makanan yang disediakan adalah makanan barat meski  tetap terselip menu lokal yang disediakan. Keempat, udara di sini sangat terik dan panas, so setelah terpanggang di gunung di sini kami seperti di sauna. Namun dari kesemuanya, kami akui Gili Trawangan memiliki suasana dan pemandangan yang indah, lautnya tenang, biru bening dan bersih untuk snorkling atau berenang di tepiannya.


Fun snorkeling
Yang terbaik dari Gili Trawangan ada tiga, ini kami temukan setelah kami menghabiskan 2 hari di sana. Yang pertama adalah spot snorklingnya yang indah dimana Anda akan bisa melihat penyu, rombongan ikan hias, terumbu-terumbu cantik, Meno wall ataupun bangkai kapal kargo. Cara untuk menikmatinya pun gampang, setiap pk 10.00 pagi selalu ada Glass Bottom Boat atau perahu dengan dasar kaca yang akan mengantar setiap tamu untuk snorkling ke tiga spot snorling terbaik baik di dekat Trawangan, Meno maupun Air. Biaya per orang Rp 100.000 untuk perjalanan sampai jam 15.00 sore. Terbaik kedua adalah spot Sunset, untuk mendapatkan spot terbaik pergilah ke ujung barat pulau, jika jalan kaki maka akan melintasi kira-kira 3 kilometer jalanan yang penuh hotel, resort dan cafe. Di depan anda akan terpampang bulatnya matahari yang akan tenggelam di cakrawala berbalut cahaya jingga yang mempesona tercermin ke langit maupun di permukaan air laut. Di depan matahari jingga tersebut, anda bisa menyaksikan sosok Gunung Rinjani yang agung. Sungguh paduan yang tepat bagi kamera dan mata telanjang.
 
Menangkap mentari
Terbaik ketiga dari Trawangan adalah suasana malamnya. Suatu hal yang sayang dilewatkan untuk menikmati pasar seni dimana terdapat lapangan yang penuh dengan penjual makanan beraneka rupa. Tapi jangan salah, meskipun namanya pasar harga makanan pun relatif mahal, tapi ini tergantung dari pesanan Anda apakah mau bakso saja, nasi campur, atau ikan bakar segar. Suasana ramai dan terbuka adalah sesuatu yang bisa Anda nikmati. Puas dengan makan malam di pasar seni, datanglah ke cafe reggae yang terletak di sebelah kiri dari pintu masuk Gili Trawangan dimana pada jam 9 malam pun sudah penuh sesak oleh tamu yang hendak menikmati live music reggae, pilihan lain adalah live musik rock klasik, letaknya di sisi kanan dari arah pintu masuk Trawangan. Jangan langsung masuk kamar setelah itu, mampirlah di tepi pantai, duduk lah di atas pasir atau bale-bale untuk menikmati rembulan dan bintang. Ketika sudah terpuaskan perut, mata dan hati maka istirahatlah hingga pagi menjelang.


Glass-bottom Boat
Jika ingin mencari makan pagi, Anda perlu bersabar karena cafe-cafe buka agak siang, kecuali yang sarapan di hotel. Namun jika rindu makanan nasi campur ala warung, pergilah ke sudut timur. Dari Gili Smile jalan ke timur sejauh 50 meter akan ditemukan sebuah warung di pojok jalan bernama Sudi Mampir, harganya bersahabat karena ditujukan bukan untuk wisatawan mancanegara. Alternatif lain adalah nasi balap yang dibungkus kertas coklat berbentuk kerucut yang dijual di pinggir-pinggir jalan, dengan 5ribu sudah bisa mengisi perut di pagi hari sebelum snorkling. Jika hendak snorkling sendiri di pinggiran pantai, Anda bisa menyewa alat seperti snorkel, life jacket atau fin seharga @15-20ribu namun jika hendak ke spot snorkling, ikutlah rombongan tur tiga pulau dengan Glass Bottom Boat yang ditawarkan agen-agen di kiri kanan jalan. Dijamin tak akan kecewa dan menyenangkan, asal jangan lupa memakai tabir surya dengan SPF minimal 30 dan mengikuti arahan tour leader karena kadang ada arus yang kuat di titik snorkling itu. Di akhir trip, tour leader akan mengajak semua penumpang makan siang di Gili Air.
 
Tepian Gili Trawangan
Dua hari mungkin tak cukup namun untuk yang hanya memiliki dua haripun lelah akan terbayar, menjadi minoritas di sini untuk dua hari tetap terasa menyenangkan. Memang agak berbeda ketika weekend karena jumlah wisatawan dalam negeri akan meningkat signifikan baik perorangan maupun dalam rombongan piknik kantor atau keluarga besar. Dari Gili, pengalaman Lombok semakin lengkap namun Lombok masih luas, masih ada banyak lagi tapi tak akan dinikmati di Gili lagi. Dalam perjalanan pulang ke Lombok sudah terbayang tempat-tempat lain untuk menikmati waktu liburan yang tersisa, Senggigi adalah salah satunya.

Bersama tiga kawan di Mataram, keesokan harinya kami sempat mengunjungi Pasar Seni Sayang-sayang dimana banyak menjual banyak suvenir dengan harga miring, kemudian kami menuju arah Senggigi untuk menikmati kuliner ikan segar. Senggigi merupakan kawasan yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata karena itu di sana kami melihat banyak sekali hotel maupun penginapan yang tersedia. Ternyata bukan di Senggigi kami berhenti melainkan masih terus melintasi jalanan lebar dan naik turun dengan pemandangan laut di kiri kami, sungguh indah perjalanan melintasi pantai-pantai setelah Senggigi ini di mana lautan luas terhampar memanja mata, maka hati-hatilah bila Anda adalah yang menyetir mobil atau mengendarai motor, jangan teralihkan konsentrasinya.

Sunset di Bukit Malimbu 2
Sampailah kami di Bukit Malimbu 2 yang kadang disebut juga Bukit Nipah, yang memang menjadi spot terbaik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Sambil menunggu sunset, sajian ikan bakar segar plus sambal yang pedas layak juga dinanti. Akhirnya momen yang ditunggu pun hadir. Dari ujung bukit ini, momentum itu terasa sangat mempesona ketika langit merona merah dan bayang-bayang pohon kelapa tampak tenang menghiasi temaramnya senja. Sunset kesekian di Lombok kami dapati dan tak pernah merasa bosan menikmatinya. Rasa syukur kembali kami ucap dalam hati atas kesempatan yang kami miliki untuk berbagi kebahagiaan bersama kawan-kawan yang baik. Sekali lagi, dari Lombok ini kami makin mencintai negeri ini (10/13 W&Y)

Sampai bertemu lagi