![]() |
Tabir Cakrawala |
Masih relatif gelap saat kami keluar, berbekal headlamp dan
kamera kami berjalan ke luar kampung, menyusuri jalan tanah di antara
kebun-kebun teh yang masih basah oleh air dan embun, tempat yang kami tuju
dengan berjalan kaki adalah sebuah lapangan datar yang berada di salah satu
puncak bukit di mana menjadi tempat yang cocok untuk menikmati matahari terbit.
![]() |
Birunya pagi |
Angin terasa sangat dingin, saat kami di atas bukit cercah
matahari belum muncul sementara angin gunung mencocok kulit. Akhitnya cahaya
kemerahan itu mulai muncul, menerangi cakrawala dengan warna oranye di tengah,
hitam di bagian bawah dimana profil bumi ada sementara biru di bagian atas
ketika langit dan awan hitam seolah tersibak paksa. Itulah makan pagi kami di
hari itu, meskipun telah puluhan kali melilhat sunrise tapi tetap saja pesona
itu ingin dinikmati lagi dan lagi, seakan kecanduan.
Dari kanvas alam pagi itu nampak kemudian sosok jajaran
pegunungan Salak dengan kedua puncaknya, gunung yang menyimpan misteri gelap
sekaligus menantang para petualang untuk mencumbunya. Kami di sini, dari jauh
menikmati lukisan itu dengan kagum sekaligus rasa syukur karena mendapatkan
anugerah seindah itu dan bisa menikmatinya dalam keadaan sehat.
![]() |
Bermandi cahaya matahari pagi |
Saat matahari kian meninggi bukan berarti keindahan itu
hilang, ia memberikan lukisan yang lain, cahayanya menciptakan semburat warna
oranye pada perbukitan di bagian atas, sementara bagian bawah masih relatif
gelap. Saat bagian bawah pun tersibak, muncullah gambar kampung Malasari dengan
aktivitas penduduknya, mereka baru pulang dari lapangan tempat mereka
melaksanakan sholat Ied. Ya, hari itu adalah lebaran, hari yang dinanti dengan
kegembiraan dan kasih sayang atas permaafan. Meski tak ikut sholat, kami
merasakan kesyahduan hari itu di tengah hijau dan teduhnya alam Citalahab ini,
maka saat kami turun tak lupa juga mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin bagi
warga yang kami temui.
![]() |
Arakan awan di atas perkebunan teh |
Namun hari itulah juga kami harus mengakhiri kunjungan di Citalahab karena kami
akan kembali ke Jakarta saat jalanan masih relatif sepi. Setelah berpamitan
kamipun kembali di atas dua roda si Ijo. Kami tidak kembali ke Parung Kuda
melainkan melanjutkan jalan yang kami lalui kemarin menuju Cibeber yang menurut
informasi dari penduduk jauh lebih cepat (karena beraspal) apabila hendak ke
Jakarta. Jalanan itu sama seperti jalan sebelumnya, jalanan dari batu susun
namun lebih lebar, tetap melintasi kolom-kolom kebun teh namun diujungnya akan
ditemui aspal yang cukup rata. Jalan yang kami lalui ini akan berujung ke
Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ternyata pemandangan indah belum berakhir, di sisi
jalan ini kita bisa berhenti untuk istirahat sambil menikmati pemandangan
lembah berterasering, sangat indah bentuknya.
![]() |
Teras-teras cantik penyusun lahan pertanian |
Tujuh hari perjalanan, dari kota ke pantai lalu ke
pegunungan, meski tak banyak waktu dan tak banyak biaya, melelahkan secara
fisik namun semuanya terbayar lunas. Saat kembali ke Jakarta, pengalaman itu
adalah salah satu yang terbaik yang kami alami. Letih, kesal, marah, senang,
bahagia semua dibagi bersama. Perjalanan ini adalah perjalanan untuk mengenal
lebih banyak tentang Indonesia dan juga mengenal lebih banyak diri
masing-masing. At the end,we’re a happy couple with a happy times. Terimakasih
untuk perjalanannya, ziarah kecil kita. (w&y, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar