![]() |
Pelataran Pertama Gunung Padang |
Tak terasa sudah hampir setahun perjalanan itu dilalui namun
masih terpatri di ingatan. Tepat saat kebanyakan orang melakukan mudik jelang
perayaan lebaran 2013, kami menginginkan sesuatu yang lain: menikmati
perjalanan yang (relatif) panjang berdua dengan moda yang lincah yakni
kendaraan roda dua, Si Ijo nama yang disematkan oleh Wong untuk Honda
Blade-nya. Perkiraan waktu telah ditentukan yakni sekitar tujuh hari sebelum
kembali ke Jakarta. Lokasi yang dipilih adalah yang sekiranya jarang dikunjungi
dan memiliki keragaman sajian namun berada dalam jalur yang dapat diakses
dengan kendaraan roda dua. Akhirnya disepakati bahwa jalur yang akan dilalui
adalah Jakarta-Situs Gunung Padang Cianjur-Kota Sukabumi-Kawasan Ujung Genteng
Sukabumi-Pelabuhan Ratu Sukabumi-Pantai Sawarna Banten Selatan-Kampung
Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak- kembali ke Jakarta.
Tanggal 3 Agustus 2013 bulan Ramadhan pk 05.00 perjalanan dimulai
menuju Cianjur lewat Puncak, sengaja berangkat subuh untuk menghindari
kemacetan sewaktu keluar dari Jakarta. Seperti diharapkan, perjalanan lancar
sampai Puncak lalu turun ke kota Cianjur yang padat dengan angkot. Dari kota
kami menyusuri jalan raya Cianjur-Sukabumi
dimana tujuan kami yang pertama akan dicapai yakni Situs Gunung Padang. Situs
ini telah sangat populer di masyarakat umum sejak dilakukan penelitian oleh tim
arkeologi ITB mengenai keberadaan tumpukan batuan berundak besar bertipe megalitik.
Namun sayangnya, kepopuleran situs ini tidak dibarengi dengan pengembangan
infrastrukturnya, jalan masuk sepanjang 20 km dari jalan raya Sukabumi menuju
situs sangatlah buruk, dominasi jalan batu, aspal hancur, tanah dan lumpur
adalah pemandangan jamak. Sungguh mengurangi kredit atas situs ini sebagai
salah satu daya tarik Cianjur.
![]() |
Gunung Padang |
Sekitar pukul 09.30 kami sampai di kawasan situs, di sini
tampak sudah ada penataan yang lebih baik. Ada kantor informasi, toilet, gerbang
yang jelas, lalu jajaran warung dan parkir yang relatif rapi. Sepi saat kami
datang, tentu karena saat itu bulan puasa dan bukan hari kunjungan wisatawan.
Dengan bea masuk hanya Rp 2000,- kami dengan ditemani pemandu yang menawarkan
diri (menerima tips seikhlasnya dari pengunjung) untuk menelusuri tangga batu
yang cukup curam menuju bagian depan situs ini. Setelah berjalan sekitar 15
menit kita akan disuguhi oleh tumpukan batu-batu besar yang bergeletakan begitu
saja namun di bagian sisi kiri tampak tersembul batuan berbentuk persegi panjang
yang disusun dengan sengaja dan rapi menjadi dinding pembatas luar. Jika cuaca
cerah dari pelataran pertama ini kita bisa melihat puncak Gunung Gede. Di
pelataran ini ada beberapa batu yang dapat diidentifikasi dan diberi nama
seperti batu gong, batu gamelan, batu seperti pintu masuk serta bentuk susunan
batuan seperti lantai sebuah ruang. Di bagian tengah terdapat gundukan lagi
yang membentuk seperti jalan menuju bagian atas namun sudah tak berbentuk jalan
lagi.
![]() |
Tapak Maung di pelataran Kedua |
Di pelataran kedua masih didominasi tumpukan batuan persegi
panjang, namun di sisi kanan ada formasi batuan seperti tempat duduk. Di
pelataran ini terdapat cerita dari pemandu yang dihubungkan dengan keberadaan
Sri Baduga Maharaja alias Siliwangi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya bentuk
ceruk seperti tapak harimau dan ceruk berbentuk kujang. Entah benar atau tidak,
bentukan itu sangat menarik untuk dicermati. Cerita bahwa di tempat ini masih
sering digunakan untuk semedi bisa jadi sebuah spekulasi bahwa dahulu memang
digunakan untuk ritus-ritus tertentu. Di pelataran ketiga (meski ketinggiannya
hampir sama) kebanyakan adalah dataran kosong yang bagian terluarnya dipagari
dengan susunan batu persegi lagi. Di pelataran keempat atau yang tertinggi
adalah bagian paling menarik karena
letaknya paling terbuka, paling tinggi dan dipercaya sebagai tempat
duduk raja. Di bagian paling atas ini memang ada susunan batu yang berbentuk
alas sebuah tempat untuk pertemuan atau duduk, oleh karena itu lah dikembangkan
kisah bahwa bagian ini merupakan lokasi singgasana raja.
![]() |
Rel dan Terowongan Stasiun Lampegan |
Banyak spekulasi atau analisa yang bisa dikembangkan jika
mengunjungi dan membaca tentang situs ini, makin membuatnya menjadi objek yang
menarik dan membuat penasaran. Setelah penasaran itu terbayar kami turun
kembali di jalan yang sama seperti kami datang tapi dengan sengaja, di suatu belokan
tajam ke kanan, kami memilih jalan lurus mengikuti sebuah tanda bahwa di sana
terdapat sebuah stasiun kereta api tua bernama Stasiun Lampegan. Tak jauh,
hanya 5 menit kami sudah melihat sebuah stasiun, rel yang masih baik dan sebuah
terowongan berwarna putih hitam yang bertuliskan 1879-1882 sebagai tanda
dibangunnya terowongan ini. Lanskap ini membawa kita pada sebuah gambar klasik
mengenai Sukabumi di masa lalu saat kereta ini masih aktif beroperasi (saat ini
jalur ini diaktifkan lagi.pen).
Sudah siang, terik matahari masih memanggang kami ketika
meneruskan perjalanan menuju Kota Sukabumi dan berharap belum terlalu sore
sampai di sana untuk istirahat. Sekitar jam 4 kami sampai di Sukabumi dan
sempat mengunjungi sebuah objek sejarah yakni bekas rumah tahanan Bung Hatta
dan Syahrir, namun sayang sudah terlalu sore sehingga rumah itu ditutup bagi
umum.
![]() |
Rumah bekas tahanan Hatta dan Syahrir |
Di Kota Sukabumi yang dingin ini kami istirahat untuk
mengembalikan tenaga bagi perjalanan berikutnya menuju Ujung Genteng. Selamat
malam. (w&y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar