Selasa, 01 Juli 2014

Memulai perjalanan dari Situs Gunung Padang dan Stasiun Lampegan, Cianjur


Pelataran Pertama Gunung Padang
Tak terasa sudah hampir setahun perjalanan itu dilalui namun masih terpatri di ingatan. Tepat saat kebanyakan orang melakukan mudik jelang perayaan lebaran 2013, kami menginginkan sesuatu yang lain: menikmati perjalanan yang (relatif) panjang berdua dengan moda yang lincah yakni kendaraan roda dua, Si Ijo nama yang disematkan oleh Wong untuk Honda Blade-nya. Perkiraan waktu telah ditentukan yakni sekitar tujuh hari sebelum kembali ke Jakarta. Lokasi yang dipilih adalah yang sekiranya jarang dikunjungi dan memiliki keragaman sajian namun berada dalam jalur yang dapat diakses dengan kendaraan roda dua. Akhirnya disepakati bahwa jalur yang akan dilalui adalah Jakarta-Situs Gunung Padang Cianjur-Kota Sukabumi-Kawasan Ujung Genteng Sukabumi-Pelabuhan Ratu Sukabumi-Pantai Sawarna Banten Selatan-Kampung Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak- kembali ke Jakarta. 

Tanggal 3 Agustus 2013 bulan Ramadhan pk 05.00 perjalanan dimulai menuju Cianjur lewat Puncak, sengaja berangkat subuh untuk menghindari kemacetan sewaktu keluar dari Jakarta. Seperti diharapkan, perjalanan lancar sampai Puncak lalu turun ke kota Cianjur yang padat dengan angkot. Dari kota kami menyusuri  jalan raya Cianjur-Sukabumi dimana tujuan kami yang pertama akan dicapai yakni Situs Gunung Padang. Situs ini telah sangat populer di masyarakat umum sejak dilakukan penelitian oleh tim arkeologi ITB mengenai keberadaan tumpukan batuan berundak besar bertipe megalitik. Namun sayangnya, kepopuleran situs ini tidak dibarengi dengan pengembangan infrastrukturnya, jalan masuk sepanjang 20 km dari jalan raya Sukabumi menuju situs sangatlah buruk, dominasi jalan batu, aspal hancur, tanah dan lumpur adalah pemandangan jamak. Sungguh mengurangi kredit atas situs ini sebagai salah satu daya tarik Cianjur.
Gunung Padang

Sekitar pukul 09.30 kami sampai di kawasan situs, di sini tampak sudah ada penataan yang lebih baik. Ada kantor informasi, toilet, gerbang yang jelas, lalu jajaran warung dan parkir yang relatif rapi. Sepi saat kami datang, tentu karena saat itu bulan puasa dan bukan hari kunjungan wisatawan. Dengan bea masuk hanya Rp 2000,- kami dengan ditemani pemandu yang menawarkan diri (menerima tips seikhlasnya dari pengunjung) untuk menelusuri tangga batu yang cukup curam menuju bagian depan situs ini. Setelah berjalan sekitar 15 menit kita akan disuguhi oleh tumpukan batu-batu besar yang bergeletakan begitu saja namun di bagian sisi kiri tampak tersembul batuan berbentuk persegi panjang yang disusun dengan sengaja dan rapi menjadi dinding pembatas luar. Jika cuaca cerah dari pelataran pertama ini kita bisa melihat puncak Gunung Gede. Di pelataran ini ada beberapa batu yang dapat diidentifikasi dan diberi nama seperti batu gong, batu gamelan, batu seperti pintu masuk serta bentuk susunan batuan seperti lantai sebuah ruang. Di bagian tengah terdapat gundukan lagi yang membentuk seperti jalan menuju bagian atas namun sudah tak berbentuk jalan lagi.

Tapak Maung di pelataran Kedua
Di pelataran kedua masih didominasi tumpukan batuan persegi panjang, namun di sisi kanan ada formasi batuan seperti tempat duduk. Di pelataran ini terdapat cerita dari pemandu yang dihubungkan dengan keberadaan Sri Baduga Maharaja alias Siliwangi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya bentuk ceruk seperti tapak harimau dan ceruk berbentuk kujang. Entah benar atau tidak, bentukan itu sangat menarik untuk dicermati. Cerita bahwa di tempat ini masih sering digunakan untuk semedi bisa jadi sebuah spekulasi bahwa dahulu memang digunakan untuk ritus-ritus tertentu. Di pelataran ketiga (meski ketinggiannya hampir sama) kebanyakan adalah dataran kosong yang bagian terluarnya dipagari dengan susunan batu persegi lagi. Di pelataran keempat atau yang tertinggi adalah bagian paling menarik karena  letaknya paling terbuka, paling tinggi dan dipercaya sebagai tempat duduk raja. Di bagian paling atas ini memang ada susunan batu yang berbentuk alas sebuah tempat untuk pertemuan atau duduk, oleh karena itu lah dikembangkan kisah bahwa bagian ini merupakan lokasi singgasana raja.

Rel dan Terowongan Stasiun Lampegan
Banyak spekulasi atau analisa yang bisa dikembangkan jika mengunjungi dan membaca tentang situs ini, makin membuatnya menjadi objek yang menarik dan membuat penasaran. Setelah penasaran itu terbayar kami turun kembali di jalan yang sama seperti kami datang tapi dengan sengaja, di suatu belokan tajam ke kanan, kami memilih jalan lurus mengikuti sebuah tanda bahwa di sana terdapat sebuah stasiun kereta api tua bernama Stasiun Lampegan. Tak jauh, hanya 5 menit kami sudah melihat sebuah stasiun, rel yang masih baik dan sebuah terowongan berwarna putih hitam yang bertuliskan 1879-1882 sebagai tanda dibangunnya terowongan ini. Lanskap ini membawa kita pada sebuah gambar klasik mengenai Sukabumi di masa lalu saat kereta ini masih aktif beroperasi (saat ini jalur ini diaktifkan lagi.pen).

Sudah siang, terik matahari masih memanggang kami ketika meneruskan perjalanan menuju Kota Sukabumi dan berharap belum terlalu sore sampai di sana untuk istirahat. Sekitar jam 4 kami sampai di Sukabumi dan sempat mengunjungi sebuah objek sejarah yakni bekas rumah tahanan Bung Hatta dan Syahrir, namun sayang sudah terlalu sore sehingga rumah itu ditutup bagi umum.

Rumah bekas tahanan Hatta dan Syahrir
Di Kota Sukabumi yang dingin ini kami istirahat untuk mengembalikan tenaga bagi perjalanan berikutnya menuju Ujung Genteng. Selamat malam. (w&y)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar