Tampilkan postingan dengan label bogor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bogor. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Juli 2014

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, pengasingan berikutnya


Perkebunan Teh Nirmala, Citalahab
Sejak berangkat dari Sawarna kami sudah berniat meninggalkan hangatnya pesisir dan menuju sepinya kawasan hutan yang bersanding dengan luasnya perkebunan teh, meninggalkan panasnya pantai menuju dinginnya selimut kabut hutan. Tujuan berikutnya hari ini adalah Citalahab dan Cikaniki yang merupakan pos taman nasional Gunung Halimun-Salak, salah satu kawasan suaka margasatwa yang paling terjaga di Pulau Jawa.

Gerbang TNGHS, masih 17 km lagi
Dari Sawarna kami kembali menuju Pelabuhan Ratu, kemudian mengambil jalur menuju Parung Kuda. Cukup panjang jalur yang mesti ditempuh melewati kawasan hutan homogen yang bercampur dengan pemukiman serta kebun pertanian, sekitar 2 jam mesti ditempuh. Bila dari arah Pelabuhan Ratu, jangan sampai kota Parung Kuda karena artinya Anda melewatkan pertigaan Cipeteuy yang merupakan jalan masuk ke pos TNGHS Kabandungan. Pelajaran inilah yang kami alami, karena tidak memperhatikan papan penanda kami kebablasan sampai Parung Kuda, walhasil kami harus kembali lagi menuju Cipeteuy, menemukan pertigaan dan baru menuju Citalahab dan berhenti di sana guna mencari informasi lebih detil tentang arah menuju Stasiun Penelitian di dalam kawasan hutan TNGHS itu. Tengah hari kami sampai di pos Citalahab dan mendapatkan informasi bahwa untuk menuju Stasiun Penelitian Cikaniki mesti harus melanjutkan 3 km lagi lewat jalan desa , kemudian setelah sampai gerbang TNGHS perjalanan berlanjut sejauh 17 km lagi masuk hutan.

Angka 17 km terkesan tidak jauh tapi kami menyadari bahwa 17 km itu bukan dengan jalan aspal mulus atau datar melainkan tumpukan batuan bercampur tanah, air dan lumpur, sangat licin dan untuk kendaraan roda dua dan sangat berpotensi selip. Untuk menggambarkanya, lebih tepatnya kami seperti berada di sebuah koridor atau lorong sangat panjang, berliku seakan tak ada habisnya. Meski kami berjalan sekitar jam satu siang, sore seakan berjalan cepat karena naungan pepohonan menutup sinar matahari, semakin ke dalam semakin terasa gelap, apalagi memang kemudian sore cuacanya mendung. 

Stasiun Penelitian TNGHS, Cikaniki
Pukul 15 sore kami sampai di Pos Penelitian Cikaniki, sebuah bangunan berwarna kayu gelap yang asri, bagus dan cukup luas untuk istirahat namun sayang tak ada orang saat kami datang. Mungkin karena jelang Idhul Fitri, semua petugas sudah pulang ke rumah. Hari mulai gelap ketika yang dikhawatirkan terjadi, hujan yang cukup deras tumpah, kira-kira satu jam kami tertahan di pos ini sebelum memutuskan untuk menuju Citalahab, kampung dimana terdapat homestay bagi para pengunjung kawasan. Meski harus berhujan-hujan melewati jalur berbatu melintasi perkebunan teh Nirmala, itu lebih baik daripada menunggu malam yang membuat kita  lebih sulit untuk mengenali medan.

Sekitar 40 menit kemudian kami melihat papan bertuliskan Home Stay di kiri jalan, sempat agak ragu karena papan itu mengarah ke sebuah jalan berlumpur menurun, sangat sepi seakan masuk ke sebuah lubang gelap. Namun kami masuki juga dan merasa lega setelah melihat jalan berubah jadi batu bersusun dan melihat banyak rumah di sana. Berkat informasi Pak Suryana kami diarahkan untuk menuju salah satu rumah saudaranya yang bisa disewa untuk menginap. Kalau tak salah ingat rumah Ibu Ana, rumah berteras panggung yang sangat asri. Kamar yang disewakan sangat sederhana dipatok Rp 75 ribu per malam belum termasuk makan. Per paket makan perhari per orang adalah Rp 25 ribu (dan masakannya sungguh lezaat, one of the best dishes we ever had!)

Citalahab saat masih gelap
 Malam itu dalam dingin malam sesudah hujan, ditemani kopi panas dan makanan hangat nan lezat kami berefleksi, di sini ujungnya, di tempat sepi ini kami sejenak beristirahat, menikmati masa jelang lebaran bersama masyarakat Kampung Malasari, Citalahab (Kab. Bogor) yang syahdu tanpa gelegar petasan dan klakson kendaraan.

Inilah malam pertama kami di sini, Selamat datang di Citalahab, selamat datang malam, kami menanti pagi di sini segera datang. (w&y)

Memulai perjalanan dari Situs Gunung Padang dan Stasiun Lampegan, Cianjur


Pelataran Pertama Gunung Padang
Tak terasa sudah hampir setahun perjalanan itu dilalui namun masih terpatri di ingatan. Tepat saat kebanyakan orang melakukan mudik jelang perayaan lebaran 2013, kami menginginkan sesuatu yang lain: menikmati perjalanan yang (relatif) panjang berdua dengan moda yang lincah yakni kendaraan roda dua, Si Ijo nama yang disematkan oleh Wong untuk Honda Blade-nya. Perkiraan waktu telah ditentukan yakni sekitar tujuh hari sebelum kembali ke Jakarta. Lokasi yang dipilih adalah yang sekiranya jarang dikunjungi dan memiliki keragaman sajian namun berada dalam jalur yang dapat diakses dengan kendaraan roda dua. Akhirnya disepakati bahwa jalur yang akan dilalui adalah Jakarta-Situs Gunung Padang Cianjur-Kota Sukabumi-Kawasan Ujung Genteng Sukabumi-Pelabuhan Ratu Sukabumi-Pantai Sawarna Banten Selatan-Kampung Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak- kembali ke Jakarta. 

Tanggal 3 Agustus 2013 bulan Ramadhan pk 05.00 perjalanan dimulai menuju Cianjur lewat Puncak, sengaja berangkat subuh untuk menghindari kemacetan sewaktu keluar dari Jakarta. Seperti diharapkan, perjalanan lancar sampai Puncak lalu turun ke kota Cianjur yang padat dengan angkot. Dari kota kami menyusuri  jalan raya Cianjur-Sukabumi dimana tujuan kami yang pertama akan dicapai yakni Situs Gunung Padang. Situs ini telah sangat populer di masyarakat umum sejak dilakukan penelitian oleh tim arkeologi ITB mengenai keberadaan tumpukan batuan berundak besar bertipe megalitik. Namun sayangnya, kepopuleran situs ini tidak dibarengi dengan pengembangan infrastrukturnya, jalan masuk sepanjang 20 km dari jalan raya Sukabumi menuju situs sangatlah buruk, dominasi jalan batu, aspal hancur, tanah dan lumpur adalah pemandangan jamak. Sungguh mengurangi kredit atas situs ini sebagai salah satu daya tarik Cianjur.
Gunung Padang

Sekitar pukul 09.30 kami sampai di kawasan situs, di sini tampak sudah ada penataan yang lebih baik. Ada kantor informasi, toilet, gerbang yang jelas, lalu jajaran warung dan parkir yang relatif rapi. Sepi saat kami datang, tentu karena saat itu bulan puasa dan bukan hari kunjungan wisatawan. Dengan bea masuk hanya Rp 2000,- kami dengan ditemani pemandu yang menawarkan diri (menerima tips seikhlasnya dari pengunjung) untuk menelusuri tangga batu yang cukup curam menuju bagian depan situs ini. Setelah berjalan sekitar 15 menit kita akan disuguhi oleh tumpukan batu-batu besar yang bergeletakan begitu saja namun di bagian sisi kiri tampak tersembul batuan berbentuk persegi panjang yang disusun dengan sengaja dan rapi menjadi dinding pembatas luar. Jika cuaca cerah dari pelataran pertama ini kita bisa melihat puncak Gunung Gede. Di pelataran ini ada beberapa batu yang dapat diidentifikasi dan diberi nama seperti batu gong, batu gamelan, batu seperti pintu masuk serta bentuk susunan batuan seperti lantai sebuah ruang. Di bagian tengah terdapat gundukan lagi yang membentuk seperti jalan menuju bagian atas namun sudah tak berbentuk jalan lagi.

Tapak Maung di pelataran Kedua
Di pelataran kedua masih didominasi tumpukan batuan persegi panjang, namun di sisi kanan ada formasi batuan seperti tempat duduk. Di pelataran ini terdapat cerita dari pemandu yang dihubungkan dengan keberadaan Sri Baduga Maharaja alias Siliwangi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya bentuk ceruk seperti tapak harimau dan ceruk berbentuk kujang. Entah benar atau tidak, bentukan itu sangat menarik untuk dicermati. Cerita bahwa di tempat ini masih sering digunakan untuk semedi bisa jadi sebuah spekulasi bahwa dahulu memang digunakan untuk ritus-ritus tertentu. Di pelataran ketiga (meski ketinggiannya hampir sama) kebanyakan adalah dataran kosong yang bagian terluarnya dipagari dengan susunan batu persegi lagi. Di pelataran keempat atau yang tertinggi adalah bagian paling menarik karena  letaknya paling terbuka, paling tinggi dan dipercaya sebagai tempat duduk raja. Di bagian paling atas ini memang ada susunan batu yang berbentuk alas sebuah tempat untuk pertemuan atau duduk, oleh karena itu lah dikembangkan kisah bahwa bagian ini merupakan lokasi singgasana raja.

Rel dan Terowongan Stasiun Lampegan
Banyak spekulasi atau analisa yang bisa dikembangkan jika mengunjungi dan membaca tentang situs ini, makin membuatnya menjadi objek yang menarik dan membuat penasaran. Setelah penasaran itu terbayar kami turun kembali di jalan yang sama seperti kami datang tapi dengan sengaja, di suatu belokan tajam ke kanan, kami memilih jalan lurus mengikuti sebuah tanda bahwa di sana terdapat sebuah stasiun kereta api tua bernama Stasiun Lampegan. Tak jauh, hanya 5 menit kami sudah melihat sebuah stasiun, rel yang masih baik dan sebuah terowongan berwarna putih hitam yang bertuliskan 1879-1882 sebagai tanda dibangunnya terowongan ini. Lanskap ini membawa kita pada sebuah gambar klasik mengenai Sukabumi di masa lalu saat kereta ini masih aktif beroperasi (saat ini jalur ini diaktifkan lagi.pen).

Sudah siang, terik matahari masih memanggang kami ketika meneruskan perjalanan menuju Kota Sukabumi dan berharap belum terlalu sore sampai di sana untuk istirahat. Sekitar jam 4 kami sampai di Sukabumi dan sempat mengunjungi sebuah objek sejarah yakni bekas rumah tahanan Bung Hatta dan Syahrir, namun sayang sudah terlalu sore sehingga rumah itu ditutup bagi umum.

Rumah bekas tahanan Hatta dan Syahrir
Di Kota Sukabumi yang dingin ini kami istirahat untuk mengembalikan tenaga bagi perjalanan berikutnya menuju Ujung Genteng. Selamat malam. (w&y)