Selasa, 01 Juli 2014

Sawarna, Primadona Banten Selatan


Tembok Karang Pantai Tanjung Layar, Sawarna, Banten Selatan
Selamat pagi..

Mari lanjutkan perjalanan kita. Dari Pelabuhan Ratu ini perjalanan berikutnya akan menuju Pantai Sawarna di Banten Selatan, kami tinggal menyusuri jalan ke utara menuju Cisolok. Sempat mampir ke Pantai Karang Hawu dan Pantai Cimaja yang terkenal sebagai spot surfing, perjalanan awalnya tidak menyenangkan karena jalan aspal yang rusak dan sangat menanjak, namun ketika sudah masuk wilayah Banten kami cukup heran karena jalan relatif lebih baik dibandingkan di wilayah Jawa Barat. 

Jalan masuk kawasan Pantai Sawarna
Dua jam kira-kira waktu dihabiskan untuk menuju Sawarna termasuk untuk singgah minum kopi dan mengambil gambar. Kawasan Sawarna sekilas tak tampak sebagai kawasan pantai karena untuk menuju pantai harus melewati jembatan gantung secara bergantian dan kudu melewati perkampungan, masih cukup sepi saat kami datang pada pukul 10.45 pagi. Sebagai orang yang baru pertama kali ke Sawarna, suasana ini mengingatkan saya pada Pulau Tidung atau Bali karena pantai tidak terbuka melainkan tertutup perkampungan wisata. Harga homestay juga relatif wajar, apalagi kami datang saat akhir minggu.

Menurut cerita Wong dan penuturan warga pemilik warung kopi di Sawarna, pantai ini berubah sangat cepat dari pantai alamiah dan sepi menjadi pantai yang selalu ramai, warung-warung berdiri di mana-mana, penginapan juga didirikan di mana-mana untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan. Hampir semua rumah juga berfungsi sebagai homestay yang menyewakan kamarnya, untuk rate weekend harganya berkisar antara 150-350 rb tidak termasuk makan, jangan ragu untuk menawar. Masalah yang sering muncul di sini adalah aliran listrik padam sehingga terbayang betapa gerahnya berada di kawasan ini tanpa kipas angin.

Siang terik di Pantai Pasir Putih, Sawarna

Bila sudah berada di Sawarna, tentu tak boleh melewatkan Tanjung Layar , pantai yang ditandai dengan tegakan dua karang tinggi yang berdampingan yang berdiri di pantai dangkal. Di sebelah kanan karang ini dan lebih menjorok ke laut nampak karang lain yang berdiri seperti dinding penahan ombak. Saat ombak tinggi menghempas dinding ini  terpapar sebuah pemandangan menakjubkan dengan diiringi suara ombak yang berdebum.

Tanjung Layar
Hempas ombak di tembok karang


Legon Pari
Selain Tanjung Layar, ada satu pantai lagi yang boleh dikunjungi yakni Pantai Legon Pari, sebuah teluk yang terisolasi letaknya. Untuk mencapainya dibutuhkan keteguhan dan kengeyelan karena jalur yang dilewati adalah batu. Namun kami berpikir positif bahwa ini harga sebuah keingintahuan. Ternyata Legon Pari memang teluk yang cukup menarik meskipun tidak fenomenal amat, pantainya memiliki  memiliki batuan berlumut serta memiliki lengkungan pasir putih yang akan berakhir di karang besar yang merupakan ujung daratan. Hampir mirip dengan dinding di Tanjung Layar, karang ini adalah tempat ombak terhempas dengan keras, hanya bedanya, karang di Legon Pari bisa didekati oleh manusia meskipun tetap menyimpan bahaya, ingat bahwa ombak besar hanya berbatas karang itu...hiiii!

Karang Legon Pari
Selesai dengan Legon Pari, kami mengunjungi sesuatu yang berbeda yakni Gua Lalay alias Gua Kelelawar, sebuah gua kapur yang dialiri air jernih yang cukup melimpah namun karena tidak membawa alat yang memadai kami tak melanjutkan sampai ujung sehingga tidak bisa menggambarkan variasi ornamen apa saja yang ada di bagian dalam gua Lalay ini.

Goa Lala






Tak terasa sore telah menjelang saat kami keluar dari kawasan Gua Lalay yang berupa perkampungan juga, namun kami belum berniat kembali ke penginapan. Memasuki kawasan Pantai Sawarna lagi, kami langsung menuju ke Tanjung Layar karena di ujung pantai ini tempat yang tepat untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Sayangnya, harapan tidak sesuai kenyataan, awan menyelimuti matahari sepanjang sore itu, kesempatan untuk mendapatkan gambar mataharipun sangat sulit. Meski begitu, kesempatan menikmati petang tetap dapat didapat seraya merasakan hembusan angin yang semakin kencang dan dingin, saat gelap mulai merayap berarti waktunya kembali ke homestay menikmati sisa waktu di Sawarna.

Secuil sunset di ujung hari di Sawarna
Terimakasih karena telah membawaku ke sini, ke primadona Banten Selatan. Esok hari, perjalanan akan dilanjutkan dengan kembali ke Pelabuhan Ratu untuk kemudian menuju Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Cikaniki, Sukabumi (w&y)

Kala para Tukik Kembali ke Lautan Luas di Pangumbahan, Ujung Genteng


Para Tukik Berlarian menuju Laut Lepas di Pantai Pangumbahan
Dari peta produksi Google, untuk menuju Ujung Genteng kami mengambil jalur melewati Jampang Kulon, Surade. Masih teringat bahwa jalan yang dilewati merupakan jalanan yang panjang dan melelahkan, kondisi jalan masih sama seperti yang kami bayangkan yakni jalanan kualitas jalan kecamatan yang tak terlalu baik apabila telah meninggalkan kota. Cukup menyiksa bagi yang harus duduk di jok sepeda motor tapi tetap saja kami menikmati perjalanan itu. Untuk petunjuk arah tersedia cukup banyak sehingga jangan khawatir akan tersesat.

Air Terjun Luhur Cigangsa
Setelah melewati perjalanan panjang tanpa henti, di tengah perjalanan menuju Ujung Genteng kami melihat sebuah petunjuk keberadaan sebuah air terjun bernama Air Terjun Luhur Cigangsa, kamipun memutuskan untuk berbelok di sana. Ketika jalan aspal berakhir, kami menitipkan kendaraan di rumah penduduk dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah di tepi sungai. Dari pinggir nampak sungai dengan batuan kapur di tengahnya dan tampak seperti patah-patah, aliran air tak terlalu istimewa layaknya sungai biasa di Jawa Barat namun setelah sampai di ujung jalan, kami harus turun lagi sampai kira-kira 30 meter dan barulah tampak bagian yang indah yakni ketika tiba-tiba sungai seperti melesak patah ke bawah meninggalkan tepian batuan kapur yang berlapis majemuk menjadi kanvas bagi lukisan dari air yang mengalir lembut di sela-sela batuan itu. Lebar atas air terjun ini sekitar 25 meter, jadi cukup lebar untuk membentuk aliran yang cantik. Di bagian bawah terdapat seperti tampungan berupa kolam yang sebagian batuannya datar tempat untuk mengambil foto bagi pemotret. Air dari kolam ini kemudian mengalir lagi ke patahan kedua yang lebih sempit dan dalam untuk kemudian mengalir melewati sungai yang relatif datar.

Di sini lelah setelah berkendaraan terbayar untuk sementara, beristirahat sambil merasakkan segarnya air dan hembusan angin. Namun perjalanan harus dilanjutkan, menurut perkiraan sekitar 1,5 jam lagi kami bisa sampai di Ujung Genteng dan lebih enak untuk sampai sebelum gelap untuk mencari tempat menginap yang pas dan cocok dengan kantong.

Surfer di Pangumbahan, Ujung Genteng
Ada banyak penginapan di sini namun cukup mengagetkan karena rate-nya cukup tinggi, meskipun kami berada di sana saat akhir minggu tetap saja rate-nya luar biasa. Untuk hotel dengan kualifikasi hotel bintang dua pun dibandrol rata-rata 400-700 ribu. Berkat informasi salah satu warga, untuk mendapatkan penginapan yang relatif murah disarankan untuk mencarinya dekat dengan Pantai Pangumbahan atau dekat site surfing, dan benar saja, ketika menjelajahi kawasan ini penginapannya relatif lebih murah yakni antara 100-200 ribu dan sama-sama mendapatkan pemandangan sunset indah karena berada dekat pantai dan di sini bisa memesan makan lengkap termasuk ikan segar bakar/goreng yang disajikan di depan kamar...mmmmm yummi!

Senja di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng
Pantai Pangumbahan memang dikenal sebagai spot surfing, pantainya masih relatif sepi dan selain itu di pantai ini terdapat area konservasi dan penetasan penyu sisik, hampir setiap hari pk 17.00 ada pelepasan penyu di pantai ini ketika banyak wisatawan berkunjung. Jadi bila sore hari berada di sini, kita bisa menikmati tiga hal: menonton atau surfing, melepaskan tukik ke laut serta menikmati pemandangan matahari terbenam.

Hasil tangkapan dibawa ke TPI
Bila bangun pagi, keluarlah dari kamar dan hiruplah udara segar beraroma asin dari laut, sejenak menikmati air yang pasang di pinggiran cukup menyenangkan dilakukan sebelum mandi pagi dan sarapan. Namun jika hendak eksplorasi lebih jauh, tempat pelelang ikan adalah tempat yang menyenangkan, bagaimana tidak, melihat puluhan ikan segar yang ditenteng nelayan dari perahu-perahu untuk ditimbang dan dijual sungguh mengasyikkan, pasti setidaknya ingin membeli sedikit hasil laut segar itu dan dijadikan sarapan di penginapan, sedaaap. Pagi itupun diisi dengan acara berputar-putar dari TPI, kemudian pantai pendaratan perahu dan kembali masuk ke kawasan konservasi penyu Pangumbahan. 

Pantai Pasir Putih, Ujung Genteng
Karena masih dirasakan masih ada waktu untuk eskplorasi, kami memutuskan untuk mengunjungi Pantai Pasir Putih, salah satu pantai yang masih jarang dikunjungi, melewati jalanan tanah, berbatu, kemudian perladangan dan berakhir di kawasan hutan homogen kami berhenti dan meneruskannya dengan berjalan kaki ke Pantai Pasir Putih selama kira-kira 20 menit, di sana terdapat muara yang berakhir di pesisir pantai yang sangat panjang dan terbuka. Banyak para pemancing yang mencoba peruntungannya di muara ini, tapi kami memilih untuk hanya duduk dan memanjakan mata menikmati hamparan lautan.

Senja di Pelabuhan Ratu
Siang hari kunjungan di Ujung Genteng berakhir, perjalanan akan dilanjutkan menuju Pelabuhan Ratu, lokasi transit dan istirahat sebelum menuju Banten. Perjalanan selama tiga jam kembali dilalui, cukup melelahkan sampai akhirnya kelegaan terpancar ketika mencapai kota Pelabuhan Ratu untuk istirahat, kembali menikmati sunset tersaput mendung dan malam di kota ini. Selamat istirahat. (w&y)

Memulai perjalanan dari Situs Gunung Padang dan Stasiun Lampegan, Cianjur


Pelataran Pertama Gunung Padang
Tak terasa sudah hampir setahun perjalanan itu dilalui namun masih terpatri di ingatan. Tepat saat kebanyakan orang melakukan mudik jelang perayaan lebaran 2013, kami menginginkan sesuatu yang lain: menikmati perjalanan yang (relatif) panjang berdua dengan moda yang lincah yakni kendaraan roda dua, Si Ijo nama yang disematkan oleh Wong untuk Honda Blade-nya. Perkiraan waktu telah ditentukan yakni sekitar tujuh hari sebelum kembali ke Jakarta. Lokasi yang dipilih adalah yang sekiranya jarang dikunjungi dan memiliki keragaman sajian namun berada dalam jalur yang dapat diakses dengan kendaraan roda dua. Akhirnya disepakati bahwa jalur yang akan dilalui adalah Jakarta-Situs Gunung Padang Cianjur-Kota Sukabumi-Kawasan Ujung Genteng Sukabumi-Pelabuhan Ratu Sukabumi-Pantai Sawarna Banten Selatan-Kampung Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak- kembali ke Jakarta. 

Tanggal 3 Agustus 2013 bulan Ramadhan pk 05.00 perjalanan dimulai menuju Cianjur lewat Puncak, sengaja berangkat subuh untuk menghindari kemacetan sewaktu keluar dari Jakarta. Seperti diharapkan, perjalanan lancar sampai Puncak lalu turun ke kota Cianjur yang padat dengan angkot. Dari kota kami menyusuri  jalan raya Cianjur-Sukabumi dimana tujuan kami yang pertama akan dicapai yakni Situs Gunung Padang. Situs ini telah sangat populer di masyarakat umum sejak dilakukan penelitian oleh tim arkeologi ITB mengenai keberadaan tumpukan batuan berundak besar bertipe megalitik. Namun sayangnya, kepopuleran situs ini tidak dibarengi dengan pengembangan infrastrukturnya, jalan masuk sepanjang 20 km dari jalan raya Sukabumi menuju situs sangatlah buruk, dominasi jalan batu, aspal hancur, tanah dan lumpur adalah pemandangan jamak. Sungguh mengurangi kredit atas situs ini sebagai salah satu daya tarik Cianjur.
Gunung Padang

Sekitar pukul 09.30 kami sampai di kawasan situs, di sini tampak sudah ada penataan yang lebih baik. Ada kantor informasi, toilet, gerbang yang jelas, lalu jajaran warung dan parkir yang relatif rapi. Sepi saat kami datang, tentu karena saat itu bulan puasa dan bukan hari kunjungan wisatawan. Dengan bea masuk hanya Rp 2000,- kami dengan ditemani pemandu yang menawarkan diri (menerima tips seikhlasnya dari pengunjung) untuk menelusuri tangga batu yang cukup curam menuju bagian depan situs ini. Setelah berjalan sekitar 15 menit kita akan disuguhi oleh tumpukan batu-batu besar yang bergeletakan begitu saja namun di bagian sisi kiri tampak tersembul batuan berbentuk persegi panjang yang disusun dengan sengaja dan rapi menjadi dinding pembatas luar. Jika cuaca cerah dari pelataran pertama ini kita bisa melihat puncak Gunung Gede. Di pelataran ini ada beberapa batu yang dapat diidentifikasi dan diberi nama seperti batu gong, batu gamelan, batu seperti pintu masuk serta bentuk susunan batuan seperti lantai sebuah ruang. Di bagian tengah terdapat gundukan lagi yang membentuk seperti jalan menuju bagian atas namun sudah tak berbentuk jalan lagi.

Tapak Maung di pelataran Kedua
Di pelataran kedua masih didominasi tumpukan batuan persegi panjang, namun di sisi kanan ada formasi batuan seperti tempat duduk. Di pelataran ini terdapat cerita dari pemandu yang dihubungkan dengan keberadaan Sri Baduga Maharaja alias Siliwangi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya bentuk ceruk seperti tapak harimau dan ceruk berbentuk kujang. Entah benar atau tidak, bentukan itu sangat menarik untuk dicermati. Cerita bahwa di tempat ini masih sering digunakan untuk semedi bisa jadi sebuah spekulasi bahwa dahulu memang digunakan untuk ritus-ritus tertentu. Di pelataran ketiga (meski ketinggiannya hampir sama) kebanyakan adalah dataran kosong yang bagian terluarnya dipagari dengan susunan batu persegi lagi. Di pelataran keempat atau yang tertinggi adalah bagian paling menarik karena  letaknya paling terbuka, paling tinggi dan dipercaya sebagai tempat duduk raja. Di bagian paling atas ini memang ada susunan batu yang berbentuk alas sebuah tempat untuk pertemuan atau duduk, oleh karena itu lah dikembangkan kisah bahwa bagian ini merupakan lokasi singgasana raja.

Rel dan Terowongan Stasiun Lampegan
Banyak spekulasi atau analisa yang bisa dikembangkan jika mengunjungi dan membaca tentang situs ini, makin membuatnya menjadi objek yang menarik dan membuat penasaran. Setelah penasaran itu terbayar kami turun kembali di jalan yang sama seperti kami datang tapi dengan sengaja, di suatu belokan tajam ke kanan, kami memilih jalan lurus mengikuti sebuah tanda bahwa di sana terdapat sebuah stasiun kereta api tua bernama Stasiun Lampegan. Tak jauh, hanya 5 menit kami sudah melihat sebuah stasiun, rel yang masih baik dan sebuah terowongan berwarna putih hitam yang bertuliskan 1879-1882 sebagai tanda dibangunnya terowongan ini. Lanskap ini membawa kita pada sebuah gambar klasik mengenai Sukabumi di masa lalu saat kereta ini masih aktif beroperasi (saat ini jalur ini diaktifkan lagi.pen).

Sudah siang, terik matahari masih memanggang kami ketika meneruskan perjalanan menuju Kota Sukabumi dan berharap belum terlalu sore sampai di sana untuk istirahat. Sekitar jam 4 kami sampai di Sukabumi dan sempat mengunjungi sebuah objek sejarah yakni bekas rumah tahanan Bung Hatta dan Syahrir, namun sayang sudah terlalu sore sehingga rumah itu ditutup bagi umum.

Rumah bekas tahanan Hatta dan Syahrir
Di Kota Sukabumi yang dingin ini kami istirahat untuk mengembalikan tenaga bagi perjalanan berikutnya menuju Ujung Genteng. Selamat malam. (w&y)

Kamis, 20 Maret 2014

Sajak Kerikil

Aku tahu telah ribuan langkah
kau buat di atas bongkah-bongkah emas
Titik bahagiamu terentang dari ujung langit
sampai batas cakrawala
Dan inilah aku, sebuah kerikil kecil
yang kau lewati setiap hari
tanpa pernah kau sapa

Apakah layak sebuah noktah meminta selembar kanvas putih
apakah kerikil boleh menuntut sapamu
Jikapun boleh, tak akan mampu ia berpinta
bagaikan langit hitam yang tak pernah berharap matahari membelainya

Ia tetap di sana
sampai suatu hari ia membuatmu tersandung
kau jatuh, menangis, untuk kemudian bangkit lagi

Namun kali ini kerikil itu tersenyum
karena sekali dalam putaran waktunya, kau menatapnya lebih lama.
Itu cukup, karena bahagia itu sederhana

Kamis, 09 Januari 2014

Antara Mandalawangi dan Suryakencana


Pemandangan dari Puncak Gunung Gede, tampak puncak Salak di kejauhan

Sebuah cara untuk mengabadikan sesuatu yang mungkin tak bisa diulang lagi namun akan menjadi suatu kebahagiaan jika masih bisa menikmatinya lagi suatu hari. Itu yang terpikir saat membuat narasi atas pendakian sekitar setengah tahun yang lalu bersama tiga kawan saat memutuskan bahwa berada di tengah taman bunga edelweiss Mandalawangi dan Suryakencana akan menjadi pengisi waktu liburan kami di medio Mei 2013 lalu.
Awalnya kami hendak berlima dengan Wong namun karena saat yang bersamaan Wong ada tugas ke Bali maka hanya berempatlah anggota tim pendakian Pangrango-Gede kali ini. Alasan lain ya karena sudah telanjur mendaftarkan kelompok pendakian ini di kantor Taman Nasional Gede Pangrango yang bisa dikatakan ribet karena harus mendaftar jauh-jauh hari dan juga harus datang langsung untuk mendapatkan SIMAKSI atau Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi. Dengan berat hati sebenarnya tidak bersama Wong karena Wong lah yang mengusahakan proses mendapatkan SIMAKSI ini. Maka kudedikasikan perjalanan ini untuknya, dan suatu saat aku akan menyediakan diri menjadi rekan yang akan melengkapi perjalanannya ke Pangrango dan mencumbu Mandalawangi, tempat di mana abu Soe Hok Gie ditaburkan pasca kematiannya di Semeru.
Alun-alun Mandalawangi, tempat abu Soe Hok Gie ditaburkan
Jumat sore kami bertemu dan packing dalam keterburu-buruan karena waktu telah lewat senja dan setelah bertemu ternyata ada satu bahan yang belum ada padahal sangat vital yakni spiritus, sementara bahan bakar alternatif tidak disiapkan. Di tengah hujan, perburuan spiritus sia-sia karena semua toko besi dan warung (yang biasa menjual spiritus) sudah tutup. Akhirnya diputuskan tetap berangkat menuju Cibodas dan berusaha mencari di sana. Sekitar  lewat tengah malam kami sampai di Cibodas, Bogor yang sudah ramai dengan pendaki yang akan naik. Dari informasi yang diterima dari sopir angkot yang membawa kami ke parkiran dekat pintu gerbang, katanya ada warung yang menjual spiritus. Ternyata benar, dan ini sungguh kami syukuri. Warung di mana kami berhenti untuk minum kopi dan makan ternyata menjual spiritus, satu liter dihargai Rp 15.000,- sehingga perjalanan kami tetap sesuai rencana yakni langsung melakukan pendakian di pagi buta itu.

Pertigaan menuju dua puncak
Pendakian melalui Cibodas sangatlah ramah, jalur diawali dengan sangat menyenangkan, jalur anak tangga dari batu landai membuat kaki bisa melakukan penyesuaian, lama kelamaan jalur terasa menanjak meski tetap tak terasa terlalu terjal.  Perjalanan terasa santai, air berlimpah di mana-mana bahkan air terjun besar (Cibeureum) pun dapat dinikmati sambil berjalan, pemandangan tersaji beragam di kiri kanan. Pendeknya, simply enjoyable! Tepat pada jam makan pagi, sekitar jam 7 kami sampai di pos dekat air panas yang membelah jalur kami. Di sinilah baru kami istirahat dan mengisi perut, sayang kami tak sempat berendam di air panas ini karena kami merencanakan untuk sudah di Mandalawangi sore ini. Perjalanan panjang dan menanjak terus berlanjut, masih relatif sama jalurnya sampai kemudian kami mencapai Kandang Badak (2.395 mdpl), sebuah tempat istirahat di bawah pertigaan, jalur kanan menuju Pangrango sementara jalur lurus lewat anak tangga adalah Puncak Gede. Di sini baru tim sempatkan diri untuk tidur dan makan siang.
Tengah hari perjalanan dilanjutkan ke Pangrango, perjalanan episode kali ini  kami mendapat teman yakni hujan deras menerpa kami, empat jam hujan terus menerus menerpa tubuh. Air dan keringat bercampur aduk di bawah baju, perjalanan terasa sunyi karena kami akhirnya terpisah-pisah. Jalur tanah berubah total dimana semuanya penuh air, jalan yang kami susuri menjadi sangat menanjak, ranting dan batang pohon dimana-mana, dan ujung jalan hampir seperti tak pernah hadir, hanya hutan dan hutan, kesendirian itu sangat menyiksa kurasakan.



Edelweiss kala hujan reda di puncak Pangrango
Tenteram hati ini setelah perjalanan menyusuri jalur terjal habis dan aku menemukan sebuah dataran yang penuh dengan cantigi dan jalur menjadi datar. Sekitar 100 meter kutemukan ruang terbuka yang tak terlalu luas dengan bukaan ke arah puncak Gede, di sebelah kiri tampak bekas pondok dan di sebelahnya berdiri tugu triangulasi dan papan bertuliskan Puncak Pangrango 3.319 mdpl. Seiring dengan itu hujan pun mereda seakan menyambutku di puncak ini. Rasa syukur penuh kelegaan terbuncah, kulepaskan carrier, melepaskan raincoat dan sepatu yang sudah basah kuyup lalu duduk diam. Sambil menyalakan rokok sebagai penghangat dan sebagai perayaan kecil, pandanganku tertuju ke depan ke arah sosok Gunung Gede. Dalam sendiri dan dingin muncul perasaan yang aneh, aku merindukan seseorang yang seharusnya ada di sini. Dalam kabut dan rintik hujan kutitipkan rindu pada seseorang yang saat itu sedang jauh dan ingin rasanya membagi suasana ini dengannya.


Berkas matahari terbit dari Puncak Pangrango




Tak hendak terlalu lama diam dalam lamunan dan dingin, aku berjalan turun melewati jalan setapak di belakang pondok rusak tadi, lima menit kemudian terhamparlah pemandangan menakjubkan. Sebuah padang yang luas yang ditumbuhi ribuan batang edelweiss tampak di depan mataku, sebuah aliran air kecil membelah padang itu, langit tampak putih karena butiran hujan masih di udara dan rerumputan masih basah karena hujan. Ini Mandalawangi, indah seperti namanya. Malam ini di sinilah istana kami, di antara batang-batang edelweiss ini lelah ingin diobati dalam malam yang dingin.



Pagi pun memberikan hadiahnya, Mandalawangi begitu gemilang dibungkus langit biru dan cahaya pagi yang lembut. Air yang mengalir begitu jernih sehingga tak ragu untuk menggunakannya sebagai bahan untuk kopi dan makan pagi kami sebelum melanjutkan perjalanan, turun kembali ke Kandang Badak. Semalam saja, biarkan memori indah Mandalawangi tinggal di ingatan dan lembar-lembar digital, meski kami yakin kami tak akan melupakan indahnya Mandalawangi pagi hari itu.



Sungai kecil di Mandalawangi


Sekitar jam 9 kami sudah siap, kembali melewati Puncak Pangrango untuk meniti kembali jalan turun ke pertigaan. Pukul 12 siang kamipun mencapai pertigaan Kandang Badak untuk istirahat sebentar. Kemudian kaki kembali meniti anak tangga dan melintasi hutan-hutan tropis ini menuju Puncak Gede. Jalur menuju puncak Gede relatif lebih terbuka dan berbatu serta sangat menanjak. Tiga jam waktu yang diperlukan untuk mencapai batas tanjakan itu yakni pinggiran kawah. Tumbuhan yang ada hanya cantigi yang pendek, tanah gersang dan tampak endapan vulkanis karena memang Gede masih aktif mengeluarkan asap solfatara baik dari Kawah Lanang (sebelah kiri) dan Kawah Wadon (sebelah kanan). Namun ternyata belum selesai perjalanan ini karena jalur masih panjang dengan meniti pinggiran kawah, panjang juga meniti jalur ini meski relatif datar. Jika telah melihat sebuah tugu triangulasi bertuliskan Puncak Gede 2958 mdpl, maka itulah puncaknya. Sejenak saja kami menikmati waktu  tapi tak bisa terlalu lama karena kemudian terulang lagi...hujan deras kembali mendera kami.



Dalam hujan yang turun dengan deras itu kami harus masih menuruni jalur batu yang ditata menjadi anak tangga selama satu jam sebelum akhirnya kami sampai di pelataran maha luas yang dikenal dengan nama Alun-alun Suryakencana. Air meluap dimana-mana, sungai yangmembelah padang rumput ini bahkan luber membanjiri kiri kanannya. Karena tak bisa membangun tenda dalam kondisi seperti ini, berteduhlah kami di sebuah ceruk tebing di sebelah barat sambil menahan dingin yang membuat badan menggigil dan bergetar.


Jelang magrib saat hari mulai gelap, hujan belum berhenti namun lumayan mereda, tenda harus sudah didirikan karena tubuh harus segera dihangatkan jika tak hendak kehilangan panas. Di sisi sungai itu lah tenda kami dirikan, kamipun segera masuk dan mengganti baju basah, kemudian diam di dalam mencari hangat. Hujan masih turun. Malam itu hanya gelap dalam tidur yang bisa dilakukan serta berharap pagi segera datang. Malam itu mimpi menghiasi tidurku, mimpi pada sosok yang sama yang seharusnya ada di sini dan membagi memori ini bersama. Di sinilah untaian kata-kata ini tercipta sebagai manifestasi rindu:



Seiring akhir rinai hujan di 3019 meter di atas permukaan laut.
Dalam sendiri jelang senja, hanya berteman dingin merasuk tiap pori tubuh.
Mata hanya menatap ke depan, sang Agung tampak sangat dekat bermantelkan kabut,
menelan raksasa itu seperti ia menelanku dengan mudahnya
Hingga akhirnya hanya tertinggal tirai putih dan dingin yang makin mencekat.


Menuruni tiap jengkal tanah basah, serasa tangan ini kembali menggandeng lenganmu
namun kau tak ada, kau di sana di bawah hangat mentari.


Bentang Mandalawangi penuh indah, tersaji ribuan bunga abadi dalam kuncup-kuncupnya.
Makin menusuk hatiku dalam sadar bahwa kau tiada untuk mengaguminya.
Sayang, indah puncak perjalananku ini untukmu!


Aku cuma ingin membaginya denganmu, aku mau egois saja saat ini.
Kita lah pemilik kecantikan lembah dewa ini.
Tak ada yang lain, hujan sekalipun...


Namun semua tak usai, masih ada perjalanan yang harus kutuntaskan,
Meskipun itu semakin menyiksaku dalam rindu tertahan,
Seharusnya kau ada, untuk membagi kisah masa lalumu
untuk kurebut semua dan kujadikan masa depanku.


Suryakencana,
Di lembah ini, rasa cemburu dan kembali sepi mengerubungiku,
Seiring gemetar tubuh melawan dingin, anganku kembali menghadirkanmu
Lagi dan lagi, dalam kisah klise dan membosankan
Tentang seorang tua yang menanti matahari pagi.
Kau lah matahari itu kekasihku,
dan aku menanti bayangmu datang dan memelukku di sini.
Di antara lembah-lembah ini, aku terbunuh sunyi.


Sekali ini dalam hidupku, aku membenci kesunyian.



Profil Gunung Pangrango dari Puncak Gunung Gede
Pagipun datang tanpa ingkar, cerah sekali pagi itu sehingga seluruh lanskap Alun-alun Suryakencana hadir di depan mata. Hampir mirip dengan Mandalawangi namun Suryakencana jauh lebih luas, konturnya lebih bervariasi, lebih terbuka, sungainya lebih besar, dan lebih ramai oleh pendaki-pendaki.
Di Alun-alun Suryakencana, bermandi cahaya mentari pagi empat wajah penuh kelegaan menampakkan senyum, memandang puncak Gede dalam kagum, mengagumi segala besar dan indahnya. Betapa beruntungnya dalam dua hari bisa menikmati kehebatan karya bumi. Terimakasih Mandalawangi, terimakasih Suryakencana, terimakasih Wong, dan terimakasih atas perjalanan yang dilalui bersama dan tetap berkesempatan meninggalkan ini semua bersama. 




Pagi dari Suryakencana
Jelang siang, bersamaan dengan kabut yangmembungkus Suryakencana kami melangkah ke utara dengan masing-masing menenteng tas plastik berisi sampah hasil dua hari pendakian, kami menuju gerbang Gunung Putri. Kami memilih jalur ini untuk turun karena relatif lebih pendek daripada jalur Cibodas yang panjang dan landai. Namun lagi-lagi sahabat kami, hujan kembali turun. Di kawasan sebelum Buntut Lutung (2.300 mdpl) hujan kembali turun dengan deras. Alhasil kami kembali basah kuyub di tengah hutan dan tanah merah maupun ketika sudah mencapai jalur berbatu yang ditata memasuki jalan di tengah ladang sayur. Dengan langkah gontai, lima jam berjalan tanpa henti dan basah kuyub kami akhirnya mencapai pos Taman Nasional Gede Pangrango Gunung Putri untuk melapor dan menyerahkan sampah kami.
Lima belas menit lagi kami harus berjalan, di sebuah warung yang juga terdapat kamar mandi kami berhenti. Sepiring nasi goreng dan teh panas adalah salah satu makanan dan minuman terenak yang kami rasakan sebelum kami bertolak ke jalan raya Bogor-Cianjur menuju rumah, pulang. Dalam memoriku, Mandalawangi dan Suryakencana tak akan terlupa dari ingatan. Kutujukankan perjalanan ini untuk Wong dan berharap suatu hari nanti kembali dapat menemui edelweiss Mandalawangi bersamamu (yp-01/14)