Selasa, 01 Juli 2014

Kala para Tukik Kembali ke Lautan Luas di Pangumbahan, Ujung Genteng


Para Tukik Berlarian menuju Laut Lepas di Pantai Pangumbahan
Dari peta produksi Google, untuk menuju Ujung Genteng kami mengambil jalur melewati Jampang Kulon, Surade. Masih teringat bahwa jalan yang dilewati merupakan jalanan yang panjang dan melelahkan, kondisi jalan masih sama seperti yang kami bayangkan yakni jalanan kualitas jalan kecamatan yang tak terlalu baik apabila telah meninggalkan kota. Cukup menyiksa bagi yang harus duduk di jok sepeda motor tapi tetap saja kami menikmati perjalanan itu. Untuk petunjuk arah tersedia cukup banyak sehingga jangan khawatir akan tersesat.

Air Terjun Luhur Cigangsa
Setelah melewati perjalanan panjang tanpa henti, di tengah perjalanan menuju Ujung Genteng kami melihat sebuah petunjuk keberadaan sebuah air terjun bernama Air Terjun Luhur Cigangsa, kamipun memutuskan untuk berbelok di sana. Ketika jalan aspal berakhir, kami menitipkan kendaraan di rumah penduduk dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah di tepi sungai. Dari pinggir nampak sungai dengan batuan kapur di tengahnya dan tampak seperti patah-patah, aliran air tak terlalu istimewa layaknya sungai biasa di Jawa Barat namun setelah sampai di ujung jalan, kami harus turun lagi sampai kira-kira 30 meter dan barulah tampak bagian yang indah yakni ketika tiba-tiba sungai seperti melesak patah ke bawah meninggalkan tepian batuan kapur yang berlapis majemuk menjadi kanvas bagi lukisan dari air yang mengalir lembut di sela-sela batuan itu. Lebar atas air terjun ini sekitar 25 meter, jadi cukup lebar untuk membentuk aliran yang cantik. Di bagian bawah terdapat seperti tampungan berupa kolam yang sebagian batuannya datar tempat untuk mengambil foto bagi pemotret. Air dari kolam ini kemudian mengalir lagi ke patahan kedua yang lebih sempit dan dalam untuk kemudian mengalir melewati sungai yang relatif datar.

Di sini lelah setelah berkendaraan terbayar untuk sementara, beristirahat sambil merasakkan segarnya air dan hembusan angin. Namun perjalanan harus dilanjutkan, menurut perkiraan sekitar 1,5 jam lagi kami bisa sampai di Ujung Genteng dan lebih enak untuk sampai sebelum gelap untuk mencari tempat menginap yang pas dan cocok dengan kantong.

Surfer di Pangumbahan, Ujung Genteng
Ada banyak penginapan di sini namun cukup mengagetkan karena rate-nya cukup tinggi, meskipun kami berada di sana saat akhir minggu tetap saja rate-nya luar biasa. Untuk hotel dengan kualifikasi hotel bintang dua pun dibandrol rata-rata 400-700 ribu. Berkat informasi salah satu warga, untuk mendapatkan penginapan yang relatif murah disarankan untuk mencarinya dekat dengan Pantai Pangumbahan atau dekat site surfing, dan benar saja, ketika menjelajahi kawasan ini penginapannya relatif lebih murah yakni antara 100-200 ribu dan sama-sama mendapatkan pemandangan sunset indah karena berada dekat pantai dan di sini bisa memesan makan lengkap termasuk ikan segar bakar/goreng yang disajikan di depan kamar...mmmmm yummi!

Senja di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng
Pantai Pangumbahan memang dikenal sebagai spot surfing, pantainya masih relatif sepi dan selain itu di pantai ini terdapat area konservasi dan penetasan penyu sisik, hampir setiap hari pk 17.00 ada pelepasan penyu di pantai ini ketika banyak wisatawan berkunjung. Jadi bila sore hari berada di sini, kita bisa menikmati tiga hal: menonton atau surfing, melepaskan tukik ke laut serta menikmati pemandangan matahari terbenam.

Hasil tangkapan dibawa ke TPI
Bila bangun pagi, keluarlah dari kamar dan hiruplah udara segar beraroma asin dari laut, sejenak menikmati air yang pasang di pinggiran cukup menyenangkan dilakukan sebelum mandi pagi dan sarapan. Namun jika hendak eksplorasi lebih jauh, tempat pelelang ikan adalah tempat yang menyenangkan, bagaimana tidak, melihat puluhan ikan segar yang ditenteng nelayan dari perahu-perahu untuk ditimbang dan dijual sungguh mengasyikkan, pasti setidaknya ingin membeli sedikit hasil laut segar itu dan dijadikan sarapan di penginapan, sedaaap. Pagi itupun diisi dengan acara berputar-putar dari TPI, kemudian pantai pendaratan perahu dan kembali masuk ke kawasan konservasi penyu Pangumbahan. 

Pantai Pasir Putih, Ujung Genteng
Karena masih dirasakan masih ada waktu untuk eskplorasi, kami memutuskan untuk mengunjungi Pantai Pasir Putih, salah satu pantai yang masih jarang dikunjungi, melewati jalanan tanah, berbatu, kemudian perladangan dan berakhir di kawasan hutan homogen kami berhenti dan meneruskannya dengan berjalan kaki ke Pantai Pasir Putih selama kira-kira 20 menit, di sana terdapat muara yang berakhir di pesisir pantai yang sangat panjang dan terbuka. Banyak para pemancing yang mencoba peruntungannya di muara ini, tapi kami memilih untuk hanya duduk dan memanjakan mata menikmati hamparan lautan.

Senja di Pelabuhan Ratu
Siang hari kunjungan di Ujung Genteng berakhir, perjalanan akan dilanjutkan menuju Pelabuhan Ratu, lokasi transit dan istirahat sebelum menuju Banten. Perjalanan selama tiga jam kembali dilalui, cukup melelahkan sampai akhirnya kelegaan terpancar ketika mencapai kota Pelabuhan Ratu untuk istirahat, kembali menikmati sunset tersaput mendung dan malam di kota ini. Selamat istirahat. (w&y)

Memulai perjalanan dari Situs Gunung Padang dan Stasiun Lampegan, Cianjur


Pelataran Pertama Gunung Padang
Tak terasa sudah hampir setahun perjalanan itu dilalui namun masih terpatri di ingatan. Tepat saat kebanyakan orang melakukan mudik jelang perayaan lebaran 2013, kami menginginkan sesuatu yang lain: menikmati perjalanan yang (relatif) panjang berdua dengan moda yang lincah yakni kendaraan roda dua, Si Ijo nama yang disematkan oleh Wong untuk Honda Blade-nya. Perkiraan waktu telah ditentukan yakni sekitar tujuh hari sebelum kembali ke Jakarta. Lokasi yang dipilih adalah yang sekiranya jarang dikunjungi dan memiliki keragaman sajian namun berada dalam jalur yang dapat diakses dengan kendaraan roda dua. Akhirnya disepakati bahwa jalur yang akan dilalui adalah Jakarta-Situs Gunung Padang Cianjur-Kota Sukabumi-Kawasan Ujung Genteng Sukabumi-Pelabuhan Ratu Sukabumi-Pantai Sawarna Banten Selatan-Kampung Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak- kembali ke Jakarta. 

Tanggal 3 Agustus 2013 bulan Ramadhan pk 05.00 perjalanan dimulai menuju Cianjur lewat Puncak, sengaja berangkat subuh untuk menghindari kemacetan sewaktu keluar dari Jakarta. Seperti diharapkan, perjalanan lancar sampai Puncak lalu turun ke kota Cianjur yang padat dengan angkot. Dari kota kami menyusuri  jalan raya Cianjur-Sukabumi dimana tujuan kami yang pertama akan dicapai yakni Situs Gunung Padang. Situs ini telah sangat populer di masyarakat umum sejak dilakukan penelitian oleh tim arkeologi ITB mengenai keberadaan tumpukan batuan berundak besar bertipe megalitik. Namun sayangnya, kepopuleran situs ini tidak dibarengi dengan pengembangan infrastrukturnya, jalan masuk sepanjang 20 km dari jalan raya Sukabumi menuju situs sangatlah buruk, dominasi jalan batu, aspal hancur, tanah dan lumpur adalah pemandangan jamak. Sungguh mengurangi kredit atas situs ini sebagai salah satu daya tarik Cianjur.
Gunung Padang

Sekitar pukul 09.30 kami sampai di kawasan situs, di sini tampak sudah ada penataan yang lebih baik. Ada kantor informasi, toilet, gerbang yang jelas, lalu jajaran warung dan parkir yang relatif rapi. Sepi saat kami datang, tentu karena saat itu bulan puasa dan bukan hari kunjungan wisatawan. Dengan bea masuk hanya Rp 2000,- kami dengan ditemani pemandu yang menawarkan diri (menerima tips seikhlasnya dari pengunjung) untuk menelusuri tangga batu yang cukup curam menuju bagian depan situs ini. Setelah berjalan sekitar 15 menit kita akan disuguhi oleh tumpukan batu-batu besar yang bergeletakan begitu saja namun di bagian sisi kiri tampak tersembul batuan berbentuk persegi panjang yang disusun dengan sengaja dan rapi menjadi dinding pembatas luar. Jika cuaca cerah dari pelataran pertama ini kita bisa melihat puncak Gunung Gede. Di pelataran ini ada beberapa batu yang dapat diidentifikasi dan diberi nama seperti batu gong, batu gamelan, batu seperti pintu masuk serta bentuk susunan batuan seperti lantai sebuah ruang. Di bagian tengah terdapat gundukan lagi yang membentuk seperti jalan menuju bagian atas namun sudah tak berbentuk jalan lagi.

Tapak Maung di pelataran Kedua
Di pelataran kedua masih didominasi tumpukan batuan persegi panjang, namun di sisi kanan ada formasi batuan seperti tempat duduk. Di pelataran ini terdapat cerita dari pemandu yang dihubungkan dengan keberadaan Sri Baduga Maharaja alias Siliwangi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya bentuk ceruk seperti tapak harimau dan ceruk berbentuk kujang. Entah benar atau tidak, bentukan itu sangat menarik untuk dicermati. Cerita bahwa di tempat ini masih sering digunakan untuk semedi bisa jadi sebuah spekulasi bahwa dahulu memang digunakan untuk ritus-ritus tertentu. Di pelataran ketiga (meski ketinggiannya hampir sama) kebanyakan adalah dataran kosong yang bagian terluarnya dipagari dengan susunan batu persegi lagi. Di pelataran keempat atau yang tertinggi adalah bagian paling menarik karena  letaknya paling terbuka, paling tinggi dan dipercaya sebagai tempat duduk raja. Di bagian paling atas ini memang ada susunan batu yang berbentuk alas sebuah tempat untuk pertemuan atau duduk, oleh karena itu lah dikembangkan kisah bahwa bagian ini merupakan lokasi singgasana raja.

Rel dan Terowongan Stasiun Lampegan
Banyak spekulasi atau analisa yang bisa dikembangkan jika mengunjungi dan membaca tentang situs ini, makin membuatnya menjadi objek yang menarik dan membuat penasaran. Setelah penasaran itu terbayar kami turun kembali di jalan yang sama seperti kami datang tapi dengan sengaja, di suatu belokan tajam ke kanan, kami memilih jalan lurus mengikuti sebuah tanda bahwa di sana terdapat sebuah stasiun kereta api tua bernama Stasiun Lampegan. Tak jauh, hanya 5 menit kami sudah melihat sebuah stasiun, rel yang masih baik dan sebuah terowongan berwarna putih hitam yang bertuliskan 1879-1882 sebagai tanda dibangunnya terowongan ini. Lanskap ini membawa kita pada sebuah gambar klasik mengenai Sukabumi di masa lalu saat kereta ini masih aktif beroperasi (saat ini jalur ini diaktifkan lagi.pen).

Sudah siang, terik matahari masih memanggang kami ketika meneruskan perjalanan menuju Kota Sukabumi dan berharap belum terlalu sore sampai di sana untuk istirahat. Sekitar jam 4 kami sampai di Sukabumi dan sempat mengunjungi sebuah objek sejarah yakni bekas rumah tahanan Bung Hatta dan Syahrir, namun sayang sudah terlalu sore sehingga rumah itu ditutup bagi umum.

Rumah bekas tahanan Hatta dan Syahrir
Di Kota Sukabumi yang dingin ini kami istirahat untuk mengembalikan tenaga bagi perjalanan berikutnya menuju Ujung Genteng. Selamat malam. (w&y)

Kamis, 20 Maret 2014

Sajak Kerikil

Aku tahu telah ribuan langkah
kau buat di atas bongkah-bongkah emas
Titik bahagiamu terentang dari ujung langit
sampai batas cakrawala
Dan inilah aku, sebuah kerikil kecil
yang kau lewati setiap hari
tanpa pernah kau sapa

Apakah layak sebuah noktah meminta selembar kanvas putih
apakah kerikil boleh menuntut sapamu
Jikapun boleh, tak akan mampu ia berpinta
bagaikan langit hitam yang tak pernah berharap matahari membelainya

Ia tetap di sana
sampai suatu hari ia membuatmu tersandung
kau jatuh, menangis, untuk kemudian bangkit lagi

Namun kali ini kerikil itu tersenyum
karena sekali dalam putaran waktunya, kau menatapnya lebih lama.
Itu cukup, karena bahagia itu sederhana

Kamis, 09 Januari 2014

Antara Mandalawangi dan Suryakencana


Pemandangan dari Puncak Gunung Gede, tampak puncak Salak di kejauhan

Sebuah cara untuk mengabadikan sesuatu yang mungkin tak bisa diulang lagi namun akan menjadi suatu kebahagiaan jika masih bisa menikmatinya lagi suatu hari. Itu yang terpikir saat membuat narasi atas pendakian sekitar setengah tahun yang lalu bersama tiga kawan saat memutuskan bahwa berada di tengah taman bunga edelweiss Mandalawangi dan Suryakencana akan menjadi pengisi waktu liburan kami di medio Mei 2013 lalu.
Awalnya kami hendak berlima dengan Wong namun karena saat yang bersamaan Wong ada tugas ke Bali maka hanya berempatlah anggota tim pendakian Pangrango-Gede kali ini. Alasan lain ya karena sudah telanjur mendaftarkan kelompok pendakian ini di kantor Taman Nasional Gede Pangrango yang bisa dikatakan ribet karena harus mendaftar jauh-jauh hari dan juga harus datang langsung untuk mendapatkan SIMAKSI atau Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi. Dengan berat hati sebenarnya tidak bersama Wong karena Wong lah yang mengusahakan proses mendapatkan SIMAKSI ini. Maka kudedikasikan perjalanan ini untuknya, dan suatu saat aku akan menyediakan diri menjadi rekan yang akan melengkapi perjalanannya ke Pangrango dan mencumbu Mandalawangi, tempat di mana abu Soe Hok Gie ditaburkan pasca kematiannya di Semeru.
Alun-alun Mandalawangi, tempat abu Soe Hok Gie ditaburkan
Jumat sore kami bertemu dan packing dalam keterburu-buruan karena waktu telah lewat senja dan setelah bertemu ternyata ada satu bahan yang belum ada padahal sangat vital yakni spiritus, sementara bahan bakar alternatif tidak disiapkan. Di tengah hujan, perburuan spiritus sia-sia karena semua toko besi dan warung (yang biasa menjual spiritus) sudah tutup. Akhirnya diputuskan tetap berangkat menuju Cibodas dan berusaha mencari di sana. Sekitar  lewat tengah malam kami sampai di Cibodas, Bogor yang sudah ramai dengan pendaki yang akan naik. Dari informasi yang diterima dari sopir angkot yang membawa kami ke parkiran dekat pintu gerbang, katanya ada warung yang menjual spiritus. Ternyata benar, dan ini sungguh kami syukuri. Warung di mana kami berhenti untuk minum kopi dan makan ternyata menjual spiritus, satu liter dihargai Rp 15.000,- sehingga perjalanan kami tetap sesuai rencana yakni langsung melakukan pendakian di pagi buta itu.

Pertigaan menuju dua puncak
Pendakian melalui Cibodas sangatlah ramah, jalur diawali dengan sangat menyenangkan, jalur anak tangga dari batu landai membuat kaki bisa melakukan penyesuaian, lama kelamaan jalur terasa menanjak meski tetap tak terasa terlalu terjal.  Perjalanan terasa santai, air berlimpah di mana-mana bahkan air terjun besar (Cibeureum) pun dapat dinikmati sambil berjalan, pemandangan tersaji beragam di kiri kanan. Pendeknya, simply enjoyable! Tepat pada jam makan pagi, sekitar jam 7 kami sampai di pos dekat air panas yang membelah jalur kami. Di sinilah baru kami istirahat dan mengisi perut, sayang kami tak sempat berendam di air panas ini karena kami merencanakan untuk sudah di Mandalawangi sore ini. Perjalanan panjang dan menanjak terus berlanjut, masih relatif sama jalurnya sampai kemudian kami mencapai Kandang Badak (2.395 mdpl), sebuah tempat istirahat di bawah pertigaan, jalur kanan menuju Pangrango sementara jalur lurus lewat anak tangga adalah Puncak Gede. Di sini baru tim sempatkan diri untuk tidur dan makan siang.
Tengah hari perjalanan dilanjutkan ke Pangrango, perjalanan episode kali ini  kami mendapat teman yakni hujan deras menerpa kami, empat jam hujan terus menerus menerpa tubuh. Air dan keringat bercampur aduk di bawah baju, perjalanan terasa sunyi karena kami akhirnya terpisah-pisah. Jalur tanah berubah total dimana semuanya penuh air, jalan yang kami susuri menjadi sangat menanjak, ranting dan batang pohon dimana-mana, dan ujung jalan hampir seperti tak pernah hadir, hanya hutan dan hutan, kesendirian itu sangat menyiksa kurasakan.



Edelweiss kala hujan reda di puncak Pangrango
Tenteram hati ini setelah perjalanan menyusuri jalur terjal habis dan aku menemukan sebuah dataran yang penuh dengan cantigi dan jalur menjadi datar. Sekitar 100 meter kutemukan ruang terbuka yang tak terlalu luas dengan bukaan ke arah puncak Gede, di sebelah kiri tampak bekas pondok dan di sebelahnya berdiri tugu triangulasi dan papan bertuliskan Puncak Pangrango 3.319 mdpl. Seiring dengan itu hujan pun mereda seakan menyambutku di puncak ini. Rasa syukur penuh kelegaan terbuncah, kulepaskan carrier, melepaskan raincoat dan sepatu yang sudah basah kuyup lalu duduk diam. Sambil menyalakan rokok sebagai penghangat dan sebagai perayaan kecil, pandanganku tertuju ke depan ke arah sosok Gunung Gede. Dalam sendiri dan dingin muncul perasaan yang aneh, aku merindukan seseorang yang seharusnya ada di sini. Dalam kabut dan rintik hujan kutitipkan rindu pada seseorang yang saat itu sedang jauh dan ingin rasanya membagi suasana ini dengannya.


Berkas matahari terbit dari Puncak Pangrango




Tak hendak terlalu lama diam dalam lamunan dan dingin, aku berjalan turun melewati jalan setapak di belakang pondok rusak tadi, lima menit kemudian terhamparlah pemandangan menakjubkan. Sebuah padang yang luas yang ditumbuhi ribuan batang edelweiss tampak di depan mataku, sebuah aliran air kecil membelah padang itu, langit tampak putih karena butiran hujan masih di udara dan rerumputan masih basah karena hujan. Ini Mandalawangi, indah seperti namanya. Malam ini di sinilah istana kami, di antara batang-batang edelweiss ini lelah ingin diobati dalam malam yang dingin.



Pagi pun memberikan hadiahnya, Mandalawangi begitu gemilang dibungkus langit biru dan cahaya pagi yang lembut. Air yang mengalir begitu jernih sehingga tak ragu untuk menggunakannya sebagai bahan untuk kopi dan makan pagi kami sebelum melanjutkan perjalanan, turun kembali ke Kandang Badak. Semalam saja, biarkan memori indah Mandalawangi tinggal di ingatan dan lembar-lembar digital, meski kami yakin kami tak akan melupakan indahnya Mandalawangi pagi hari itu.



Sungai kecil di Mandalawangi


Sekitar jam 9 kami sudah siap, kembali melewati Puncak Pangrango untuk meniti kembali jalan turun ke pertigaan. Pukul 12 siang kamipun mencapai pertigaan Kandang Badak untuk istirahat sebentar. Kemudian kaki kembali meniti anak tangga dan melintasi hutan-hutan tropis ini menuju Puncak Gede. Jalur menuju puncak Gede relatif lebih terbuka dan berbatu serta sangat menanjak. Tiga jam waktu yang diperlukan untuk mencapai batas tanjakan itu yakni pinggiran kawah. Tumbuhan yang ada hanya cantigi yang pendek, tanah gersang dan tampak endapan vulkanis karena memang Gede masih aktif mengeluarkan asap solfatara baik dari Kawah Lanang (sebelah kiri) dan Kawah Wadon (sebelah kanan). Namun ternyata belum selesai perjalanan ini karena jalur masih panjang dengan meniti pinggiran kawah, panjang juga meniti jalur ini meski relatif datar. Jika telah melihat sebuah tugu triangulasi bertuliskan Puncak Gede 2958 mdpl, maka itulah puncaknya. Sejenak saja kami menikmati waktu  tapi tak bisa terlalu lama karena kemudian terulang lagi...hujan deras kembali mendera kami.



Dalam hujan yang turun dengan deras itu kami harus masih menuruni jalur batu yang ditata menjadi anak tangga selama satu jam sebelum akhirnya kami sampai di pelataran maha luas yang dikenal dengan nama Alun-alun Suryakencana. Air meluap dimana-mana, sungai yangmembelah padang rumput ini bahkan luber membanjiri kiri kanannya. Karena tak bisa membangun tenda dalam kondisi seperti ini, berteduhlah kami di sebuah ceruk tebing di sebelah barat sambil menahan dingin yang membuat badan menggigil dan bergetar.


Jelang magrib saat hari mulai gelap, hujan belum berhenti namun lumayan mereda, tenda harus sudah didirikan karena tubuh harus segera dihangatkan jika tak hendak kehilangan panas. Di sisi sungai itu lah tenda kami dirikan, kamipun segera masuk dan mengganti baju basah, kemudian diam di dalam mencari hangat. Hujan masih turun. Malam itu hanya gelap dalam tidur yang bisa dilakukan serta berharap pagi segera datang. Malam itu mimpi menghiasi tidurku, mimpi pada sosok yang sama yang seharusnya ada di sini dan membagi memori ini bersama. Di sinilah untaian kata-kata ini tercipta sebagai manifestasi rindu:



Seiring akhir rinai hujan di 3019 meter di atas permukaan laut.
Dalam sendiri jelang senja, hanya berteman dingin merasuk tiap pori tubuh.
Mata hanya menatap ke depan, sang Agung tampak sangat dekat bermantelkan kabut,
menelan raksasa itu seperti ia menelanku dengan mudahnya
Hingga akhirnya hanya tertinggal tirai putih dan dingin yang makin mencekat.


Menuruni tiap jengkal tanah basah, serasa tangan ini kembali menggandeng lenganmu
namun kau tak ada, kau di sana di bawah hangat mentari.


Bentang Mandalawangi penuh indah, tersaji ribuan bunga abadi dalam kuncup-kuncupnya.
Makin menusuk hatiku dalam sadar bahwa kau tiada untuk mengaguminya.
Sayang, indah puncak perjalananku ini untukmu!


Aku cuma ingin membaginya denganmu, aku mau egois saja saat ini.
Kita lah pemilik kecantikan lembah dewa ini.
Tak ada yang lain, hujan sekalipun...


Namun semua tak usai, masih ada perjalanan yang harus kutuntaskan,
Meskipun itu semakin menyiksaku dalam rindu tertahan,
Seharusnya kau ada, untuk membagi kisah masa lalumu
untuk kurebut semua dan kujadikan masa depanku.


Suryakencana,
Di lembah ini, rasa cemburu dan kembali sepi mengerubungiku,
Seiring gemetar tubuh melawan dingin, anganku kembali menghadirkanmu
Lagi dan lagi, dalam kisah klise dan membosankan
Tentang seorang tua yang menanti matahari pagi.
Kau lah matahari itu kekasihku,
dan aku menanti bayangmu datang dan memelukku di sini.
Di antara lembah-lembah ini, aku terbunuh sunyi.


Sekali ini dalam hidupku, aku membenci kesunyian.



Profil Gunung Pangrango dari Puncak Gunung Gede
Pagipun datang tanpa ingkar, cerah sekali pagi itu sehingga seluruh lanskap Alun-alun Suryakencana hadir di depan mata. Hampir mirip dengan Mandalawangi namun Suryakencana jauh lebih luas, konturnya lebih bervariasi, lebih terbuka, sungainya lebih besar, dan lebih ramai oleh pendaki-pendaki.
Di Alun-alun Suryakencana, bermandi cahaya mentari pagi empat wajah penuh kelegaan menampakkan senyum, memandang puncak Gede dalam kagum, mengagumi segala besar dan indahnya. Betapa beruntungnya dalam dua hari bisa menikmati kehebatan karya bumi. Terimakasih Mandalawangi, terimakasih Suryakencana, terimakasih Wong, dan terimakasih atas perjalanan yang dilalui bersama dan tetap berkesempatan meninggalkan ini semua bersama. 




Pagi dari Suryakencana
Jelang siang, bersamaan dengan kabut yangmembungkus Suryakencana kami melangkah ke utara dengan masing-masing menenteng tas plastik berisi sampah hasil dua hari pendakian, kami menuju gerbang Gunung Putri. Kami memilih jalur ini untuk turun karena relatif lebih pendek daripada jalur Cibodas yang panjang dan landai. Namun lagi-lagi sahabat kami, hujan kembali turun. Di kawasan sebelum Buntut Lutung (2.300 mdpl) hujan kembali turun dengan deras. Alhasil kami kembali basah kuyub di tengah hutan dan tanah merah maupun ketika sudah mencapai jalur berbatu yang ditata memasuki jalan di tengah ladang sayur. Dengan langkah gontai, lima jam berjalan tanpa henti dan basah kuyub kami akhirnya mencapai pos Taman Nasional Gede Pangrango Gunung Putri untuk melapor dan menyerahkan sampah kami.
Lima belas menit lagi kami harus berjalan, di sebuah warung yang juga terdapat kamar mandi kami berhenti. Sepiring nasi goreng dan teh panas adalah salah satu makanan dan minuman terenak yang kami rasakan sebelum kami bertolak ke jalan raya Bogor-Cianjur menuju rumah, pulang. Dalam memoriku, Mandalawangi dan Suryakencana tak akan terlupa dari ingatan. Kutujukankan perjalanan ini untuk Wong dan berharap suatu hari nanti kembali dapat menemui edelweiss Mandalawangi bersamamu (yp-01/14)

Rabu, 11 Desember 2013

Bagaimana Menikmati Bali dalam Dua Hari

 
Hanoman dibakar, sebagian adegan dalam penampilan Tari Kecak di Pura Uluwatu
Bali adalah kata sakti karena meski telah beratus tahun negeri ini menjadi daerah kunjungan wisata, perubahan-perubahan pasti terjadi seiring waktu, namun Bali tetap menyimpan pesonanya sendiri sehingga masih tetap layak dinobatkan sebagai destinasi utama wisata di Indonesia. Bali dalam konteks ini tentu saja bukan seluruh Bali melainkan hanya merujuk Bali bagian selatan. Sejak kedatangan pertama di pelabuhan Padang Bai aroma Bali sudah terasa meski hari masih gelap. Kami menghabiskan waktu 5 jam dengan kapal ferry dari Pelabuhan Lembar, Lombok sejak jam 10 malam dan sampai di Padang Bai jam 5 pagi. Kemudian dilanjutkan dengan naik kolt (cukup mahal tapi tak banyak pilihan, @50 ribu) dan berhenti di terminal Batu Bulan, Gianyar untuk menunggu bis Sarbagita (ini adalah Bus Rapid Transit, sejenis Transjakarta atau Transjogja, biayanya murah meriah @3500) menuju Kuta. Di Legian, Kuta inilah kami merencanakan untuk menjadi tempat singgah selama dua hari dan menikmati sejengkal waktu sebelum kembali ke Jakarta.


Pantai Pandawa
Semilir angin dan hangatnya udara pantai Kuta menyambut kami di pagi hari, membawa kami dalam suasana liburan yang sesungguhnya. Tak ada yang mengganggu waktu selain hanya untuk menyegarkan paru-paru dan mata menikmati indahnya sebagian Pulau Dewata. Hari ini direncanakan untuk menikmati Bali dengan cara yang berbeda yakni memakai moda roda empat karena jarak tujuan yang jauh dan mengantisipasi udara gerah serta panas teriknya mentari. Dari persewaan di dekat hotel kami mendapatkan Jimny dengan biaya sewa 150.000, pilihan yang tepat oleh Wong karena seharian kami diselamatkan oleh moda ini dengan ac yang menjaga kami tetap sejuk di bawah terik matahari Bali dan udara yang begitu lembab.
Model Dadakan
Arah sudah ditentukan yakni selatan dengan tujuan akhir adalah Pura Uluwatu di mana akan ada performance Tari Kecak bersamaan dengan waktu matahari terbenam. Sambil menuju Uluwatu kami mengunjungi pantai-pantai di wilayah Selatan. Berbekal majalah MyTrip kami menyusuri pantai-pantai itu untuk membayar rasa penasaran kami, yang sengaja kami lewatkan adalah Garuda Wisnu Kencana yang sebenarnya sejalan dengan arah kami dan memilih eksplore pantai-pantainya. Yang pertama adalah Pantai Suluban atau dikenal secara internasional sebagai Blue Point (yang ternyata menjadi salah satu lokasi syuting “Eat, Pray & Love”). Pantai ini arahnya sebelah kanan sebelum masuk Pura Uluwatu dengan posisinya sempit dan agak di bawah dari jalan raya menyusuri tangga yang sudah sangat bagus. Pantai ini dikenal sebagai surganya surfer karena ombaknya yang besar. Dari atas tebing dapat dinikmati penampilan para penari ombak sambil duduk santai atau menikmati makanan dan minuman segar di atasnya.

Pantai Suluban alias Blue Point




Selesai menikmati Blue Point, kami mengunjungi pantai Padang-padang, sebuah pantai yang berada searah dengan Blue Point. Pantai ini lebih ramai oleh pengunjung dari dalam negeri. Padang-padang atau Labuan Sait merupakan sebuah teluk sempit yang memiliki air yang relatif tenang sehingga banyak pengunjung berenang di area yang memang dikhususkan untuk berenang. Pantai berikutnya yang kami tuju adalah Pantai Pandawa, sebuah pantai yang direkomendasikan oleh MyTrip sebagai pantai yang indah, panjang dengan pemandangan laut biru yang luas. Saat memasuki wilayah ini kita disambut oleh gerbang besar berupa tebing yang dipangkas, pada latar belakangnya nampak garis laut yang memang panjang. Di sepanjang tebing ini nampak jajaran arca di dalam tebing yang dikeruk menjadi ceruk kecil dengan nama-nama para penyandang dana bagi pengembangan pantai ini. Di pantai ini kita dapat melihat para pengendara paralayang melintas di atas tebing sambil menikmati air kelapa segar dari warung-warung yang berdiri di tepian pantai di mana juga nampak jajaran payung untuk tempat berjemur dan beristirahat sambil menikmati pemandangan pantai. 
Pantai Padang-padang
Ketika telah terpuaskan menikmati pantai di selatan Bali ini, kami memutuskan untuk menuju Pura Uluwatu di mana performance Kecak akan dilangsungkan, namun sesampainya di sana hari masih terlalu siang sehingga banyak waktu kami gunakan untuk berjalan-jalan di hutan penuh monyet ekor panjang yang agresif, menyusuri liku-liku koridor Pura Uluwatu yang luas dan dari kejauhan menikmati pemandangan ujung karang dimana pura yang didirikan abad 11 ini berdiri 97 m di atas permukaan laut.

Sekitar pukul 5 sore tiket untuk pertunjukan utama sudah dibuka, harganya cukup mahal yakni 70 ribu per orang namun toh panggung tetap penuh sesak oleh para penonton. Sedikit tentang tari kecak, sebenarnya tarian ini bukanlah tarian sakral dan juga bukan tarian yang sudah lama ada di Bali. Tari Kecak atau Cak atau Tari Api merupakan seni yang dikembangkan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak dan pelukis Jerman Walter Spies sebagai sebuah pertunjukan publik semata. Lakon yang dibawakan mengambil kisah Ramayana tanpa menggunakan gamelan atau alat musik apapun selain suara mulut “..cak cak cak ke cak..” Yang paling spesial dari pertunjukan Kecak di Uluwatu adalah bahwa pertunjukan ini dilakukan di panggung terbuka berbentuk amphiteather yang menghadap ke barat di mana matahari terbenam, jadi dalam satu kesempatan penonton akan disuguhi pertunjukan Tari Kecak sekaligus menyaksikan matahari terbenam. Sungguh pemandangan yang spektakuler dan sangat bernilai untuk menjadi kesempatan sekali seumur hidup.
Pura Uluwatu
Malam itu bayangan akan pertunjukan di depan matahari terbenam menjadi hiasan dalam benak kami, mengantar kami dalam tidur yang lelap. Esok pagi ada hari baru yang akan kami nikmati di negeri dewata ini. Wajah Wong nampak lelah namun tak sanggup menghentikan pancaran rasa suka cita di matanya.

Para Penari Kecak
Hari baru pun tiba, sambil menikmati kopi dan kudapan di Pantai Kuta yang masih sepi, rencana hari ini disusun.  Satu tempat yang membuat penasaran Wong sudah ditetapkan yakni Bebek Tepi Sawah di Ubud, sekaligus juga memberi kesempatan bagiku untuk menikmati kawasan Ubud yang terkenal itu. Maka  meluncurlah kami untuk menyusuri daerah tujuan kami. Jalanan terasa begitu luas, perjalanan lancar dan sepanjang jalan kami disuguhi wajah khas Bali dengan ornamen dan sentuhan etnik yang kental, apalagi hari itu adalah sehari menjelang Galungan sehingga semua pura menghias diri dengan cantik, jalanan pun tampak indah dengan ornamen khas perayaan hari raya. Setelah berputar-putar di Ubud termasuk singgah ke Monkey Forest kamipun mencari lokasi Bebek Tepi Sawah untuk menuntaskan rasa penasaran Wong. Untuk informasi saja, ini adalah bebek termahal yang pernah kami makan, bayangkan saja bagaimana seporsi bebek goreng dihargai Rp 90 ribu dan masih plus plus yang lain, memang rasa penasaran itu mahal meski diakui memang sedap rasanya di lidah.
Bebek Tepi Sawah, Ubud
Setelah rasa pedas di lidah hilang, perjalanan dilanjutkan menuju Pura Luhur Tanah Lot, dari Ubud kami merentang jalan menuju Tabanan di mana pura ini berlokasi. Pura yang menjadi salah satu dari Sad Kahyangan ini dibangun oleh seorang brahmana, Danghyang Nirartha pada abad 16 dengan sentuhan magis yakni dengan memindahkan batu karang ke tengah pantai dimana pura dibangun di atasnya dan mengubah selendangnya menjadi seekor ular laut, ular ini sampai saat ini masih ada dan dianggap suci.



Sunset Point Tanah Lot
Selain pura utama yang berada di atas karang tadi, di sisi utara juga terdapat pura di ujung karang dimana di bawahnya berlubang seperti pintu air, di sini spot terbaik untuk mengambil gambar. Di pura ini terdapat taman yang cukup luas dan bersih yang bisa dijadikan tempat duduk dan istirahat memandang laut maupun sunset jika mau, di pelataran pura ini juga terdapat pasar untuk membeli oleh-oleh yang cukup lengkap. Sayang kami harus segera bergegas tanpa bisa merasakan sunset di Tanah Lot ini. Sunset akan kami dapatkan di Kuta sebagai snapshot terakhir dari Bali sebelum pagi hari nanti kembali ke Jakarta. So di Kuta lah semuanya berawal dan berakhir, diiring dengan tenggelamnya sang surya bundar berwarna kuning dalam balutan awan jingga, kami tautkan doa kami agar kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir. Bali selalu mempesona, suatu hari kami akan kembali. (w&y, 10/13)

Sunset di Pantai Kuta

Selasa, 03 Desember 2013

Dari Sunset ke Sunset (Gili Trawangan - Bukit Malimbu 2)

 
Pemandangan Matahari Terbenam dengan latar Gunung Rinjani dari Gili Trawangan
Setelah sempat menikmati siang yang panas di Mataram serta lezatnya Ayam Taliwang di Karang Taliwang pada malam harinya, liburan yang masih ada kami gunakan untuk menemui tempat yang membuat kami penasaran yakni gili atau pulau-pulau kecil yang berada di Lombok bagian barat. Sengaja pagi hari kami menuju Pelabuhan Bangsal yang merupakan pelabuhan rakyat menuju gili-gili ini. Ada tiga pulau atau gili yang letaknya berdekatan dan menjadi tujuan para wisatawan dan pemburu lautan yakni Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, dari ketiganya kami memilih Gili Trawangan dan akan menggunakan moda perahu untuk menyambangi pulau lain.
 
Menunggu perahu ke Trawangan di Pelabuhan Bangsal
Dengan ongkos Rp 12.000 rupiah per orang kami sudah mendapatkan tiket naik perahu motor selama 30 menit menuju Gli Trawangan. Bersama kami tampak pula para pedagang yang membawa barang-barang mentah sebagai dagangan, para wisatawan dengan tas besar maupun kecil serta para penduduk Gili Trawangan yang memang seringkali bolak-balik antara Gili Trawangan dan Lombok, perahu penuh sesak pagi itu namun tetap kami menikmatinya sebagai sebagian wajah Indonesia sambil sesekali memandang ke luar ke air biru bening dan luas di sekitar kami.

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang sangat ramai. Saat perahu mendarat pantai tampak ramai oleh orang, tumpukan dus Bir Bintang, jejeran kafe atau tempat berjemur dan umbul-umbul perusahaan penawar jasa diving atau snorkling. Di kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh toko-toko , cafe dan penyewaan sepeda (ongkosnya @50-60 ribu perhari) sedangkan jalan sendiri penuh padat dengan lalu lalang sepeda, orang berjalan kaki maupun cidomo (kombinasi antara cikar, dokar dan mobil dengan biaya @50ribu).

Selamat datang di Trawangan

Pertama-tama, kami mencari tempat menginap. Dari informasi Narsih teman kami di Mataram, rekannya memiliki penginapan yang nyaman dan relatif murah yakni Gili Smile Inn yang letaknya di jalan belakang dari jalan utama, 500 meter dari gerbang pendaratan perahu tadi,  namun sayang sekali saat itu Gili Smile tutup karena stafnya melakukan pendakian ke Rinjani. Tapi akhirnya melalui rekan dari kawan di Gili Smile itu kami direkomendasikan ke Hotel Balenta yang letaknya di seberang Gili Smile namun berbatasan langsung dengan jalan utama. Seorang kawan baru yang baik akhirnya memberi kami sebuah pondokan yang nyaman dan indah berbentuk rumah Sasak hanya dengan harga Rp 150 ribu, ini harga teman, sementara harga normal untuk tipe standar adalah Rp 250 – 300 ribu. Kami sangat beruntung memiliki teman dari teman yang memberi kami tempat yang nyaman ini.
Penginapan dengan desain Rumah Sasak, Gili Smile inn
Barulah pada siang hari kami menikmati tepian pantai Gili Trawangan yang ramai terisi para wisatawan. Seperti biasa, pengamatan kami dimulai, pertama, harga makanan di cafe-cafe pinggiran pantai ini relatif mahal, rata-rata harga makanan adalah Rp 50ribu dan minuman Rp 15ribu. Kedua, kami adalah minoritas di gili ini karena hampir 95% yang kami lihat adalah wisatawan mancanegara. Ketiga, hampir semua makanan yang disediakan adalah makanan barat meski  tetap terselip menu lokal yang disediakan. Keempat, udara di sini sangat terik dan panas, so setelah terpanggang di gunung di sini kami seperti di sauna. Namun dari kesemuanya, kami akui Gili Trawangan memiliki suasana dan pemandangan yang indah, lautnya tenang, biru bening dan bersih untuk snorkling atau berenang di tepiannya.


Fun snorkeling
Yang terbaik dari Gili Trawangan ada tiga, ini kami temukan setelah kami menghabiskan 2 hari di sana. Yang pertama adalah spot snorklingnya yang indah dimana Anda akan bisa melihat penyu, rombongan ikan hias, terumbu-terumbu cantik, Meno wall ataupun bangkai kapal kargo. Cara untuk menikmatinya pun gampang, setiap pk 10.00 pagi selalu ada Glass Bottom Boat atau perahu dengan dasar kaca yang akan mengantar setiap tamu untuk snorkling ke tiga spot snorling terbaik baik di dekat Trawangan, Meno maupun Air. Biaya per orang Rp 100.000 untuk perjalanan sampai jam 15.00 sore. Terbaik kedua adalah spot Sunset, untuk mendapatkan spot terbaik pergilah ke ujung barat pulau, jika jalan kaki maka akan melintasi kira-kira 3 kilometer jalanan yang penuh hotel, resort dan cafe. Di depan anda akan terpampang bulatnya matahari yang akan tenggelam di cakrawala berbalut cahaya jingga yang mempesona tercermin ke langit maupun di permukaan air laut. Di depan matahari jingga tersebut, anda bisa menyaksikan sosok Gunung Rinjani yang agung. Sungguh paduan yang tepat bagi kamera dan mata telanjang.
 
Menangkap mentari
Terbaik ketiga dari Trawangan adalah suasana malamnya. Suatu hal yang sayang dilewatkan untuk menikmati pasar seni dimana terdapat lapangan yang penuh dengan penjual makanan beraneka rupa. Tapi jangan salah, meskipun namanya pasar harga makanan pun relatif mahal, tapi ini tergantung dari pesanan Anda apakah mau bakso saja, nasi campur, atau ikan bakar segar. Suasana ramai dan terbuka adalah sesuatu yang bisa Anda nikmati. Puas dengan makan malam di pasar seni, datanglah ke cafe reggae yang terletak di sebelah kiri dari pintu masuk Gili Trawangan dimana pada jam 9 malam pun sudah penuh sesak oleh tamu yang hendak menikmati live music reggae, pilihan lain adalah live musik rock klasik, letaknya di sisi kanan dari arah pintu masuk Trawangan. Jangan langsung masuk kamar setelah itu, mampirlah di tepi pantai, duduk lah di atas pasir atau bale-bale untuk menikmati rembulan dan bintang. Ketika sudah terpuaskan perut, mata dan hati maka istirahatlah hingga pagi menjelang.


Glass-bottom Boat
Jika ingin mencari makan pagi, Anda perlu bersabar karena cafe-cafe buka agak siang, kecuali yang sarapan di hotel. Namun jika rindu makanan nasi campur ala warung, pergilah ke sudut timur. Dari Gili Smile jalan ke timur sejauh 50 meter akan ditemukan sebuah warung di pojok jalan bernama Sudi Mampir, harganya bersahabat karena ditujukan bukan untuk wisatawan mancanegara. Alternatif lain adalah nasi balap yang dibungkus kertas coklat berbentuk kerucut yang dijual di pinggir-pinggir jalan, dengan 5ribu sudah bisa mengisi perut di pagi hari sebelum snorkling. Jika hendak snorkling sendiri di pinggiran pantai, Anda bisa menyewa alat seperti snorkel, life jacket atau fin seharga @15-20ribu namun jika hendak ke spot snorkling, ikutlah rombongan tur tiga pulau dengan Glass Bottom Boat yang ditawarkan agen-agen di kiri kanan jalan. Dijamin tak akan kecewa dan menyenangkan, asal jangan lupa memakai tabir surya dengan SPF minimal 30 dan mengikuti arahan tour leader karena kadang ada arus yang kuat di titik snorkling itu. Di akhir trip, tour leader akan mengajak semua penumpang makan siang di Gili Air.
 
Tepian Gili Trawangan
Dua hari mungkin tak cukup namun untuk yang hanya memiliki dua haripun lelah akan terbayar, menjadi minoritas di sini untuk dua hari tetap terasa menyenangkan. Memang agak berbeda ketika weekend karena jumlah wisatawan dalam negeri akan meningkat signifikan baik perorangan maupun dalam rombongan piknik kantor atau keluarga besar. Dari Gili, pengalaman Lombok semakin lengkap namun Lombok masih luas, masih ada banyak lagi tapi tak akan dinikmati di Gili lagi. Dalam perjalanan pulang ke Lombok sudah terbayang tempat-tempat lain untuk menikmati waktu liburan yang tersisa, Senggigi adalah salah satunya.

Bersama tiga kawan di Mataram, keesokan harinya kami sempat mengunjungi Pasar Seni Sayang-sayang dimana banyak menjual banyak suvenir dengan harga miring, kemudian kami menuju arah Senggigi untuk menikmati kuliner ikan segar. Senggigi merupakan kawasan yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata karena itu di sana kami melihat banyak sekali hotel maupun penginapan yang tersedia. Ternyata bukan di Senggigi kami berhenti melainkan masih terus melintasi jalanan lebar dan naik turun dengan pemandangan laut di kiri kami, sungguh indah perjalanan melintasi pantai-pantai setelah Senggigi ini di mana lautan luas terhampar memanja mata, maka hati-hatilah bila Anda adalah yang menyetir mobil atau mengendarai motor, jangan teralihkan konsentrasinya.

Sunset di Bukit Malimbu 2
Sampailah kami di Bukit Malimbu 2 yang kadang disebut juga Bukit Nipah, yang memang menjadi spot terbaik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Sambil menunggu sunset, sajian ikan bakar segar plus sambal yang pedas layak juga dinanti. Akhirnya momen yang ditunggu pun hadir. Dari ujung bukit ini, momentum itu terasa sangat mempesona ketika langit merona merah dan bayang-bayang pohon kelapa tampak tenang menghiasi temaramnya senja. Sunset kesekian di Lombok kami dapati dan tak pernah merasa bosan menikmatinya. Rasa syukur kembali kami ucap dalam hati atas kesempatan yang kami miliki untuk berbagi kebahagiaan bersama kawan-kawan yang baik. Sekali lagi, dari Lombok ini kami makin mencintai negeri ini (10/13 W&Y)

Sampai bertemu lagi