Rabu, 11 Desember 2013

Bagaimana Menikmati Bali dalam Dua Hari

 
Hanoman dibakar, sebagian adegan dalam penampilan Tari Kecak di Pura Uluwatu
Bali adalah kata sakti karena meski telah beratus tahun negeri ini menjadi daerah kunjungan wisata, perubahan-perubahan pasti terjadi seiring waktu, namun Bali tetap menyimpan pesonanya sendiri sehingga masih tetap layak dinobatkan sebagai destinasi utama wisata di Indonesia. Bali dalam konteks ini tentu saja bukan seluruh Bali melainkan hanya merujuk Bali bagian selatan. Sejak kedatangan pertama di pelabuhan Padang Bai aroma Bali sudah terasa meski hari masih gelap. Kami menghabiskan waktu 5 jam dengan kapal ferry dari Pelabuhan Lembar, Lombok sejak jam 10 malam dan sampai di Padang Bai jam 5 pagi. Kemudian dilanjutkan dengan naik kolt (cukup mahal tapi tak banyak pilihan, @50 ribu) dan berhenti di terminal Batu Bulan, Gianyar untuk menunggu bis Sarbagita (ini adalah Bus Rapid Transit, sejenis Transjakarta atau Transjogja, biayanya murah meriah @3500) menuju Kuta. Di Legian, Kuta inilah kami merencanakan untuk menjadi tempat singgah selama dua hari dan menikmati sejengkal waktu sebelum kembali ke Jakarta.


Pantai Pandawa
Semilir angin dan hangatnya udara pantai Kuta menyambut kami di pagi hari, membawa kami dalam suasana liburan yang sesungguhnya. Tak ada yang mengganggu waktu selain hanya untuk menyegarkan paru-paru dan mata menikmati indahnya sebagian Pulau Dewata. Hari ini direncanakan untuk menikmati Bali dengan cara yang berbeda yakni memakai moda roda empat karena jarak tujuan yang jauh dan mengantisipasi udara gerah serta panas teriknya mentari. Dari persewaan di dekat hotel kami mendapatkan Jimny dengan biaya sewa 150.000, pilihan yang tepat oleh Wong karena seharian kami diselamatkan oleh moda ini dengan ac yang menjaga kami tetap sejuk di bawah terik matahari Bali dan udara yang begitu lembab.
Model Dadakan
Arah sudah ditentukan yakni selatan dengan tujuan akhir adalah Pura Uluwatu di mana akan ada performance Tari Kecak bersamaan dengan waktu matahari terbenam. Sambil menuju Uluwatu kami mengunjungi pantai-pantai di wilayah Selatan. Berbekal majalah MyTrip kami menyusuri pantai-pantai itu untuk membayar rasa penasaran kami, yang sengaja kami lewatkan adalah Garuda Wisnu Kencana yang sebenarnya sejalan dengan arah kami dan memilih eksplore pantai-pantainya. Yang pertama adalah Pantai Suluban atau dikenal secara internasional sebagai Blue Point (yang ternyata menjadi salah satu lokasi syuting “Eat, Pray & Love”). Pantai ini arahnya sebelah kanan sebelum masuk Pura Uluwatu dengan posisinya sempit dan agak di bawah dari jalan raya menyusuri tangga yang sudah sangat bagus. Pantai ini dikenal sebagai surganya surfer karena ombaknya yang besar. Dari atas tebing dapat dinikmati penampilan para penari ombak sambil duduk santai atau menikmati makanan dan minuman segar di atasnya.

Pantai Suluban alias Blue Point




Selesai menikmati Blue Point, kami mengunjungi pantai Padang-padang, sebuah pantai yang berada searah dengan Blue Point. Pantai ini lebih ramai oleh pengunjung dari dalam negeri. Padang-padang atau Labuan Sait merupakan sebuah teluk sempit yang memiliki air yang relatif tenang sehingga banyak pengunjung berenang di area yang memang dikhususkan untuk berenang. Pantai berikutnya yang kami tuju adalah Pantai Pandawa, sebuah pantai yang direkomendasikan oleh MyTrip sebagai pantai yang indah, panjang dengan pemandangan laut biru yang luas. Saat memasuki wilayah ini kita disambut oleh gerbang besar berupa tebing yang dipangkas, pada latar belakangnya nampak garis laut yang memang panjang. Di sepanjang tebing ini nampak jajaran arca di dalam tebing yang dikeruk menjadi ceruk kecil dengan nama-nama para penyandang dana bagi pengembangan pantai ini. Di pantai ini kita dapat melihat para pengendara paralayang melintas di atas tebing sambil menikmati air kelapa segar dari warung-warung yang berdiri di tepian pantai di mana juga nampak jajaran payung untuk tempat berjemur dan beristirahat sambil menikmati pemandangan pantai. 
Pantai Padang-padang
Ketika telah terpuaskan menikmati pantai di selatan Bali ini, kami memutuskan untuk menuju Pura Uluwatu di mana performance Kecak akan dilangsungkan, namun sesampainya di sana hari masih terlalu siang sehingga banyak waktu kami gunakan untuk berjalan-jalan di hutan penuh monyet ekor panjang yang agresif, menyusuri liku-liku koridor Pura Uluwatu yang luas dan dari kejauhan menikmati pemandangan ujung karang dimana pura yang didirikan abad 11 ini berdiri 97 m di atas permukaan laut.

Sekitar pukul 5 sore tiket untuk pertunjukan utama sudah dibuka, harganya cukup mahal yakni 70 ribu per orang namun toh panggung tetap penuh sesak oleh para penonton. Sedikit tentang tari kecak, sebenarnya tarian ini bukanlah tarian sakral dan juga bukan tarian yang sudah lama ada di Bali. Tari Kecak atau Cak atau Tari Api merupakan seni yang dikembangkan pada tahun 1930-an oleh Wayan Limbak dan pelukis Jerman Walter Spies sebagai sebuah pertunjukan publik semata. Lakon yang dibawakan mengambil kisah Ramayana tanpa menggunakan gamelan atau alat musik apapun selain suara mulut “..cak cak cak ke cak..” Yang paling spesial dari pertunjukan Kecak di Uluwatu adalah bahwa pertunjukan ini dilakukan di panggung terbuka berbentuk amphiteather yang menghadap ke barat di mana matahari terbenam, jadi dalam satu kesempatan penonton akan disuguhi pertunjukan Tari Kecak sekaligus menyaksikan matahari terbenam. Sungguh pemandangan yang spektakuler dan sangat bernilai untuk menjadi kesempatan sekali seumur hidup.
Pura Uluwatu
Malam itu bayangan akan pertunjukan di depan matahari terbenam menjadi hiasan dalam benak kami, mengantar kami dalam tidur yang lelap. Esok pagi ada hari baru yang akan kami nikmati di negeri dewata ini. Wajah Wong nampak lelah namun tak sanggup menghentikan pancaran rasa suka cita di matanya.

Para Penari Kecak
Hari baru pun tiba, sambil menikmati kopi dan kudapan di Pantai Kuta yang masih sepi, rencana hari ini disusun.  Satu tempat yang membuat penasaran Wong sudah ditetapkan yakni Bebek Tepi Sawah di Ubud, sekaligus juga memberi kesempatan bagiku untuk menikmati kawasan Ubud yang terkenal itu. Maka  meluncurlah kami untuk menyusuri daerah tujuan kami. Jalanan terasa begitu luas, perjalanan lancar dan sepanjang jalan kami disuguhi wajah khas Bali dengan ornamen dan sentuhan etnik yang kental, apalagi hari itu adalah sehari menjelang Galungan sehingga semua pura menghias diri dengan cantik, jalanan pun tampak indah dengan ornamen khas perayaan hari raya. Setelah berputar-putar di Ubud termasuk singgah ke Monkey Forest kamipun mencari lokasi Bebek Tepi Sawah untuk menuntaskan rasa penasaran Wong. Untuk informasi saja, ini adalah bebek termahal yang pernah kami makan, bayangkan saja bagaimana seporsi bebek goreng dihargai Rp 90 ribu dan masih plus plus yang lain, memang rasa penasaran itu mahal meski diakui memang sedap rasanya di lidah.
Bebek Tepi Sawah, Ubud
Setelah rasa pedas di lidah hilang, perjalanan dilanjutkan menuju Pura Luhur Tanah Lot, dari Ubud kami merentang jalan menuju Tabanan di mana pura ini berlokasi. Pura yang menjadi salah satu dari Sad Kahyangan ini dibangun oleh seorang brahmana, Danghyang Nirartha pada abad 16 dengan sentuhan magis yakni dengan memindahkan batu karang ke tengah pantai dimana pura dibangun di atasnya dan mengubah selendangnya menjadi seekor ular laut, ular ini sampai saat ini masih ada dan dianggap suci.



Sunset Point Tanah Lot
Selain pura utama yang berada di atas karang tadi, di sisi utara juga terdapat pura di ujung karang dimana di bawahnya berlubang seperti pintu air, di sini spot terbaik untuk mengambil gambar. Di pura ini terdapat taman yang cukup luas dan bersih yang bisa dijadikan tempat duduk dan istirahat memandang laut maupun sunset jika mau, di pelataran pura ini juga terdapat pasar untuk membeli oleh-oleh yang cukup lengkap. Sayang kami harus segera bergegas tanpa bisa merasakan sunset di Tanah Lot ini. Sunset akan kami dapatkan di Kuta sebagai snapshot terakhir dari Bali sebelum pagi hari nanti kembali ke Jakarta. So di Kuta lah semuanya berawal dan berakhir, diiring dengan tenggelamnya sang surya bundar berwarna kuning dalam balutan awan jingga, kami tautkan doa kami agar kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir. Bali selalu mempesona, suatu hari kami akan kembali. (w&y, 10/13)

Sunset di Pantai Kuta

Selasa, 03 Desember 2013

Dari Sunset ke Sunset (Gili Trawangan - Bukit Malimbu 2)

 
Pemandangan Matahari Terbenam dengan latar Gunung Rinjani dari Gili Trawangan
Setelah sempat menikmati siang yang panas di Mataram serta lezatnya Ayam Taliwang di Karang Taliwang pada malam harinya, liburan yang masih ada kami gunakan untuk menemui tempat yang membuat kami penasaran yakni gili atau pulau-pulau kecil yang berada di Lombok bagian barat. Sengaja pagi hari kami menuju Pelabuhan Bangsal yang merupakan pelabuhan rakyat menuju gili-gili ini. Ada tiga pulau atau gili yang letaknya berdekatan dan menjadi tujuan para wisatawan dan pemburu lautan yakni Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, dari ketiganya kami memilih Gili Trawangan dan akan menggunakan moda perahu untuk menyambangi pulau lain.
 
Menunggu perahu ke Trawangan di Pelabuhan Bangsal
Dengan ongkos Rp 12.000 rupiah per orang kami sudah mendapatkan tiket naik perahu motor selama 30 menit menuju Gli Trawangan. Bersama kami tampak pula para pedagang yang membawa barang-barang mentah sebagai dagangan, para wisatawan dengan tas besar maupun kecil serta para penduduk Gili Trawangan yang memang seringkali bolak-balik antara Gili Trawangan dan Lombok, perahu penuh sesak pagi itu namun tetap kami menikmatinya sebagai sebagian wajah Indonesia sambil sesekali memandang ke luar ke air biru bening dan luas di sekitar kami.

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang sangat ramai. Saat perahu mendarat pantai tampak ramai oleh orang, tumpukan dus Bir Bintang, jejeran kafe atau tempat berjemur dan umbul-umbul perusahaan penawar jasa diving atau snorkling. Di kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh toko-toko , cafe dan penyewaan sepeda (ongkosnya @50-60 ribu perhari) sedangkan jalan sendiri penuh padat dengan lalu lalang sepeda, orang berjalan kaki maupun cidomo (kombinasi antara cikar, dokar dan mobil dengan biaya @50ribu).

Selamat datang di Trawangan

Pertama-tama, kami mencari tempat menginap. Dari informasi Narsih teman kami di Mataram, rekannya memiliki penginapan yang nyaman dan relatif murah yakni Gili Smile Inn yang letaknya di jalan belakang dari jalan utama, 500 meter dari gerbang pendaratan perahu tadi,  namun sayang sekali saat itu Gili Smile tutup karena stafnya melakukan pendakian ke Rinjani. Tapi akhirnya melalui rekan dari kawan di Gili Smile itu kami direkomendasikan ke Hotel Balenta yang letaknya di seberang Gili Smile namun berbatasan langsung dengan jalan utama. Seorang kawan baru yang baik akhirnya memberi kami sebuah pondokan yang nyaman dan indah berbentuk rumah Sasak hanya dengan harga Rp 150 ribu, ini harga teman, sementara harga normal untuk tipe standar adalah Rp 250 – 300 ribu. Kami sangat beruntung memiliki teman dari teman yang memberi kami tempat yang nyaman ini.
Penginapan dengan desain Rumah Sasak, Gili Smile inn
Barulah pada siang hari kami menikmati tepian pantai Gili Trawangan yang ramai terisi para wisatawan. Seperti biasa, pengamatan kami dimulai, pertama, harga makanan di cafe-cafe pinggiran pantai ini relatif mahal, rata-rata harga makanan adalah Rp 50ribu dan minuman Rp 15ribu. Kedua, kami adalah minoritas di gili ini karena hampir 95% yang kami lihat adalah wisatawan mancanegara. Ketiga, hampir semua makanan yang disediakan adalah makanan barat meski  tetap terselip menu lokal yang disediakan. Keempat, udara di sini sangat terik dan panas, so setelah terpanggang di gunung di sini kami seperti di sauna. Namun dari kesemuanya, kami akui Gili Trawangan memiliki suasana dan pemandangan yang indah, lautnya tenang, biru bening dan bersih untuk snorkling atau berenang di tepiannya.


Fun snorkeling
Yang terbaik dari Gili Trawangan ada tiga, ini kami temukan setelah kami menghabiskan 2 hari di sana. Yang pertama adalah spot snorklingnya yang indah dimana Anda akan bisa melihat penyu, rombongan ikan hias, terumbu-terumbu cantik, Meno wall ataupun bangkai kapal kargo. Cara untuk menikmatinya pun gampang, setiap pk 10.00 pagi selalu ada Glass Bottom Boat atau perahu dengan dasar kaca yang akan mengantar setiap tamu untuk snorkling ke tiga spot snorling terbaik baik di dekat Trawangan, Meno maupun Air. Biaya per orang Rp 100.000 untuk perjalanan sampai jam 15.00 sore. Terbaik kedua adalah spot Sunset, untuk mendapatkan spot terbaik pergilah ke ujung barat pulau, jika jalan kaki maka akan melintasi kira-kira 3 kilometer jalanan yang penuh hotel, resort dan cafe. Di depan anda akan terpampang bulatnya matahari yang akan tenggelam di cakrawala berbalut cahaya jingga yang mempesona tercermin ke langit maupun di permukaan air laut. Di depan matahari jingga tersebut, anda bisa menyaksikan sosok Gunung Rinjani yang agung. Sungguh paduan yang tepat bagi kamera dan mata telanjang.
 
Menangkap mentari
Terbaik ketiga dari Trawangan adalah suasana malamnya. Suatu hal yang sayang dilewatkan untuk menikmati pasar seni dimana terdapat lapangan yang penuh dengan penjual makanan beraneka rupa. Tapi jangan salah, meskipun namanya pasar harga makanan pun relatif mahal, tapi ini tergantung dari pesanan Anda apakah mau bakso saja, nasi campur, atau ikan bakar segar. Suasana ramai dan terbuka adalah sesuatu yang bisa Anda nikmati. Puas dengan makan malam di pasar seni, datanglah ke cafe reggae yang terletak di sebelah kiri dari pintu masuk Gili Trawangan dimana pada jam 9 malam pun sudah penuh sesak oleh tamu yang hendak menikmati live music reggae, pilihan lain adalah live musik rock klasik, letaknya di sisi kanan dari arah pintu masuk Trawangan. Jangan langsung masuk kamar setelah itu, mampirlah di tepi pantai, duduk lah di atas pasir atau bale-bale untuk menikmati rembulan dan bintang. Ketika sudah terpuaskan perut, mata dan hati maka istirahatlah hingga pagi menjelang.


Glass-bottom Boat
Jika ingin mencari makan pagi, Anda perlu bersabar karena cafe-cafe buka agak siang, kecuali yang sarapan di hotel. Namun jika rindu makanan nasi campur ala warung, pergilah ke sudut timur. Dari Gili Smile jalan ke timur sejauh 50 meter akan ditemukan sebuah warung di pojok jalan bernama Sudi Mampir, harganya bersahabat karena ditujukan bukan untuk wisatawan mancanegara. Alternatif lain adalah nasi balap yang dibungkus kertas coklat berbentuk kerucut yang dijual di pinggir-pinggir jalan, dengan 5ribu sudah bisa mengisi perut di pagi hari sebelum snorkling. Jika hendak snorkling sendiri di pinggiran pantai, Anda bisa menyewa alat seperti snorkel, life jacket atau fin seharga @15-20ribu namun jika hendak ke spot snorkling, ikutlah rombongan tur tiga pulau dengan Glass Bottom Boat yang ditawarkan agen-agen di kiri kanan jalan. Dijamin tak akan kecewa dan menyenangkan, asal jangan lupa memakai tabir surya dengan SPF minimal 30 dan mengikuti arahan tour leader karena kadang ada arus yang kuat di titik snorkling itu. Di akhir trip, tour leader akan mengajak semua penumpang makan siang di Gili Air.
 
Tepian Gili Trawangan
Dua hari mungkin tak cukup namun untuk yang hanya memiliki dua haripun lelah akan terbayar, menjadi minoritas di sini untuk dua hari tetap terasa menyenangkan. Memang agak berbeda ketika weekend karena jumlah wisatawan dalam negeri akan meningkat signifikan baik perorangan maupun dalam rombongan piknik kantor atau keluarga besar. Dari Gili, pengalaman Lombok semakin lengkap namun Lombok masih luas, masih ada banyak lagi tapi tak akan dinikmati di Gili lagi. Dalam perjalanan pulang ke Lombok sudah terbayang tempat-tempat lain untuk menikmati waktu liburan yang tersisa, Senggigi adalah salah satunya.

Bersama tiga kawan di Mataram, keesokan harinya kami sempat mengunjungi Pasar Seni Sayang-sayang dimana banyak menjual banyak suvenir dengan harga miring, kemudian kami menuju arah Senggigi untuk menikmati kuliner ikan segar. Senggigi merupakan kawasan yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata karena itu di sana kami melihat banyak sekali hotel maupun penginapan yang tersedia. Ternyata bukan di Senggigi kami berhenti melainkan masih terus melintasi jalanan lebar dan naik turun dengan pemandangan laut di kiri kami, sungguh indah perjalanan melintasi pantai-pantai setelah Senggigi ini di mana lautan luas terhampar memanja mata, maka hati-hatilah bila Anda adalah yang menyetir mobil atau mengendarai motor, jangan teralihkan konsentrasinya.

Sunset di Bukit Malimbu 2
Sampailah kami di Bukit Malimbu 2 yang kadang disebut juga Bukit Nipah, yang memang menjadi spot terbaik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Sambil menunggu sunset, sajian ikan bakar segar plus sambal yang pedas layak juga dinanti. Akhirnya momen yang ditunggu pun hadir. Dari ujung bukit ini, momentum itu terasa sangat mempesona ketika langit merona merah dan bayang-bayang pohon kelapa tampak tenang menghiasi temaramnya senja. Sunset kesekian di Lombok kami dapati dan tak pernah merasa bosan menikmatinya. Rasa syukur kembali kami ucap dalam hati atas kesempatan yang kami miliki untuk berbagi kebahagiaan bersama kawan-kawan yang baik. Sekali lagi, dari Lombok ini kami makin mencintai negeri ini (10/13 W&Y)

Sampai bertemu lagi


Rabu, 20 November 2013

Menyambangi Samalas, Puncak Rinjani dan Segara Anak (lanjutan)

 
Lintasan Turun dari Puncak Rinjani
The free bird leaps on the back of the wind
and floats downstream till the current ends
and dips his wings in the orange sun rays
and dares to claim the sky.
 
But a bird that stalks down his narrow cage
can seldom see through his bars of rage
his wings are clipped and his feet are tied
so he opens his throat to sing.

“I Know Why the Caged Bird Sing” by Maya Angelou, 1969


Hari 4 Danau Segara Anak


Pagi dari tepian danau
Seusai beristirahat malam dan sempat terbangun oleh lantunan doa para peziarah Hindu dari Lombok Timur pagi di Segara Anak pun dapat kunikmati. Terasa dingin namun tak terlalu menggigit meski angin bertiup cukup kencang dan suaranya berdesau dengan keras di atas kami. Warna biru memenuhi ruang udara di pagi itu saat sinar mentari belum bersinar penuh. Rasanya begitu syahdu dan tenang, hanya kulihat diriku sendiri di awal pagi itu dan kecipak air dimana ikan-ikan bergerak di danau, bayangan dinding kawah tercermin dalam birunya air danau. Tak ada yang ingin kulakukan saat itu kecuali duduk dan menikmati kesendirian itu, Wong masih tidur lelap. 

Akhirnya cahaya pagi merekah. Satu hal yang menjadi cita kami sebelum berangkat adalah merasakan sensasi memancing di Segara Anak, meski kami sama-sama bukan penggemar aktivitas ini namun demi menuntaskan rasa penasaran, kami sempatkan mencoba peruntungan di danau ini. Hasilnya, tiga ekor lepas, satu tertangkap dan dikonsumsi dalam kesepian. Ternyata pagi itu bukan keberuntungan kami.


Ikan kecil yang malang
Namun Segara Anak bukan hanya itu, ada banyak hal yang disediakan di kawasan danau indah ini. Yang pertama adalah mata air bersih, mata air ini terletak sekitar 500 m dari titik kemah kami dan berdekatan dengan sumber mata air panas. Untuk konsumsi bahkan secara langsung, air dari sumber ini sangat layak, terasa segar dan sangat jernih. Sebaiknya tidak mengongsumsi air dari danau, meski tawar air danau ini memiliki kandungan sulfat yang cukup tinggi.

Yang kedua adalah mata air panas atau hot spring yang letaknya di sebelah kanan dari mata air jika berjalan dari tepi danau. Air panas yang keluar dari rekahan batu vulkanik ini dikenal dengan nama Aik Kalak Pangkereman Jembangan dan sering dijadikan tempat untuk ritual memandikan benda-benda bertuah maupun untuk tujuan penyembuhan penyakit. Di antara bebatuan dengan endapan mineral serta air yang kehijauan dan beratap langit pagi, kami menikmati kemewahan ini. Airnya memang sangat panas ternyata, perlu beberapa detik beradaptasi untuk menceburkan diri ke dalamnya, atau memilih bagian yang bukan aliran langsung dimana air masih terasa panas namun tak menggigit.


Berendam di hot spring
Tawaran lain adalah gua yang ternyata cukup banyak, ada Gua Susu, Gua Manik dan Gua Payung yang menjadi tempat bagi para peziarah untuk bersemedi dan berdoa dalam komunitas.

Setelah puas berendam di air panas dan mengambil air bersih, aktivitas dilanjutkan dengan memasak sarapan dan bersantai memandangi pemandangan Gunung Baru Jari yang nampak jelas dan berasap di rekahannya. Gunung Baru Jari atau berarti “gunung yang baru jadi” adalah hasil bentukan pasca erupsi Rinjani tahun 1944. Sampai saat ini gunung vulkanik dengan permukaan pasir ini telah menjulang sampai 2367 mdpl, dan tercatat pernah meletus beberapa kali. Letusan terakhir terjadi pada tahun 2009 mengakibatkan banjir lahar dingin dan memakan korban 31 orang. Itu baru anak gunungnya, lalu bagaimana letusan Rinjani jika mencapai puncaknya, terlebih lagi bagaimana dengan letusan Samalas pada abad 13 seperti lansiran BBC yang saat ini menyisakan Segara Anak seluas 11 kilometer persegi dan sedalam 230 meter? Fakta ini membuatku merinding, kecantikan yang kunikmati ini dibangun di atas kengerian maha dahsyat. Mengingat ini semua, tak habis kagum kusandangkan pada gunung ini.

Gunung Baru Jari
Sepanjang siang kami hanya memanjakan mata, berjalan-jalan di sekeliling danau, memandangi Baru Jari lebih dekat, menjemur pakaian yang basah, bahkan Wong sempat menjahit tasnya, serta menyapa orang-orang, baik dari dalam negeri dan luar negeri yang juga ada di area seputar danau ini.

Menjahit tas yang rusak
Pemandangan jelang sore kembali kami nikmati, begitu teduh. Sepuhan merah yang pelan-pelan bergerak membuat gambar dinding kawah di atas danau bak lukisan realis. Kami kembali mencoba peruntungan memancing, hanya kali ini kami mengganti umpan. Jika tadi pagi menggunakan umpan buatan toko, sekarang menggunakan potongan sosis siap santap. Woalaaa...itu kuncinya ternyata, berurutan tertangkap tujuh ekor ikan dengan ukuran bervariasi, dan dua ekor lepas. Sore ini kami lebih beruntung. Inilah makan malam kami, ikan bakar Segara Anak yang memang agak terasa beda. Rasa daging ikan ini agak hambar, bisa jadi karena terlalu banyak kandungan sulfat di dalam air namun dengan sentuhan minyak dari mie instan, jadilah menu ikan goreng yang lebih sedap.

Malam kembali menjelang, pemandangan dan suasana yang sama kami nikmati saat danau tampak gelap namun langit penuh jutaan bintang. Kali ini kami menikmatinya lebih lama karena besok pagi kami akan meninggalkan Segara Anak yang indah ini.

Hari 5 Segara Anak – Plawangan Senaru – Pos II Senaru

Aktivitas packing adalah rutinitas jelang perjalanan, masih terasa berat tas kami karena tetap harus membawa persediaan air minum dari mata air untuk perjalanan sampai gerbang Senaru. Mata air  berikutnya memang ada di Pos II Senaru namun kualitasnya kurang baik, keruh dan tak disarankan untuk diminum langsung.

Mendaki tanjakan menuju Plawangan Senaru
Awal perjalanan pulang diawali dengan naik ke Plawangan Senaru. Perbedaan elevasi antara danau dan plawangan ini adalah 700 m, lintasan sangat menanjak dengan perkiraan variasi kemiringan 45 sampai 90 derajat (di mana terdapat pegangan sebagai pengaman) dan terasa sangat panjang dengan menyusuri dinding kawah yang terbuka. Lutut masih harus bekerja keras sekitar tiga setengah jam menapaki tanah dan batuan di tengah hari yang terik sebelum akhirnya mencapai Plawangan Senaru. Di sini danau Segara Anak terpampang luas membiru sekali lagi, kami mengucapkan selamat tinggal padanya karena sesudah ini kami tidak akan melihat danau itu lagi di perjalanan turun kecuali dalam memori kami. Turunan berbatu menuju tempat istirahat masih harus dilalui sekitar 30 menit karena di sana lah baru bisa berteduh dan mengganjal perut. Di shelter bertuliskan Pos Cemara 5 ini lah kami melepas lelah setelah berjuang mencapai plawangan.


Plawangan Senaru yang terik
Lintasan masih terbuka setelah shelter ini, barulah ketika melewati Pos III kami mulai memasuki wilayah hutan yang teduh. Ini karakter lintasan Senaru yakni hutan dengan cuaca yang bersahabat. Di jalur ini kami bertemu dengan banyak pendaki mancanegara dengan rombongan porternya yang kebanyakan menargetkan Plawangan Senaru atau Segara Anak untuk kemudian kembali lagi lewat jalur yang sama.

 


Sekitar pukul tiga kami mencapai Pos II Senaru, lokasi yang kami rencanakan untuk mendirikan tenda. Sengaja tidak langsung turun ke Senaru untuk menghindari tubuh yang akan terlalu letih jika mengejar gerbang Senaru hari itu juga. Terlebih lagi akan sulit untuk mendapatkan transportasi umum di atas jam 5 di Senaru. Malam itu kami menginap di antara pepohonan besar dan suara-suara satwa Taman Nasional Gunung Rinjani, sekitar 10 menit turun dari Pos II. Menurut informasi dari orang lokal, Pos II cukup angker, jadi bagi yang punya sensitivitas ekstra sebaiknya menghindari tempat itu dan membangun tenda agak di bawahnya, area ini bisa memuat sekitar 10 tenda.

Hari 6 Pos II – Gerbang Senaru – RTC (Rinjani Trekking Centre) Senaru

Perjalanan turun dilanjutkan, jam tujuh pagi kami sudah menjejaki jalur menuju akhir namun kami harus melewati dulu Pos Extra dan Pos I sebelum mencapai Gerbang Senaru, sebuah gerbang dengan penanda besar yang menunjukkan bahwa perjalanan turun telah berakhir. Secara lokal dinamakan Gebak Gawah atau Jibak Gawah dimana terdapat warung-warung penjual minuman dan pisang goreng. Untuk yang telah berada lima hari di alam serba darurat, ini adalah oase. Rehat sejenak, minum air dalam kemasan  serta mengambil gambar adalah kegiatan yang bisa dilakukan di sini.


Sampai di Gerbang Senaru
Namun yang aku kira ini adalah akhir perjalanan turun ternyata salah, perjalanan masih harus dilanjutkan melintasi pinggiran desa yang panas selama 1 jam padahal jari kaki telah lecet minta dimerdekakan. Betapa leganya hati dan jari kaki ketika melihat sebuah kantor bertanda RTC atau Rinjani Trekking Centre yang merupakan kantor balai TNGR. Di bale-bale kami istirahat, menumpang mandi dan nego dengan tukang ojek untuk mengantar kami ke terminal Elf. Dengan 25 ribu per orang, ojek ini bersedia mengantar kami dulu untuk makan siang, menunggu kami makan dan kemudian mengantar kami ke terminal Elf yang ngetem lama. Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati kawasan pesisir pantai Lombok yang kering dan panas, kemudian kelokan mendaki Hutan Pusuk, menuju kota Mataram.

Di Rinjani, enam hari perjalanan penuh haru biru, suka duka, ujian perjalanan kala emosi naik turun telah dialami. Suatu perjalanan selalu menjadi ujian akan seberapa tangguh kebersamaan dapat mengatasi semua rintangan. Terlepas dari kehebatan yang lebih utama dari orang lain, kami bangga terhadap kami sendiri karena ini bukan perjalanan seseorang mengalahkan alam namun perjalanan bersama mengalahkan diri sendiri.  I’m proud of you dear Wong and grateful for all you gave to me. Thanks Rinjani for the great journey and lesson about losing myself. (10/13,w&y)
Memandang danau Segara Anak dari Plawangan Senaru sebelum turun
 

Minggu, 17 November 2013

Menyambangi Samalas, Puncak Rinjani, dan Segara Anak

 
Segara Anak dari Plawangan Senaru


Hari I: Jakarta-Mataram-Pos II Tengengean

Rinjani, telah lama nama gunung di pulau Lombok ini terpatri di benak, besar rasa penasaran untuk mengunjunginya suatu hari nanti sebelum tubuh tak lagi mampu menjangkaunya. Ada banyak kisah menarik diceritakan mengenai gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jayawijaya dan Kerinci ini baik mengenai keindahannya, kesulitannya, kisah mistik dan legendanya serta publikasi terakhir bahwa di masa lalu gunung ini pernah meletus hebat saat dikenal sebagai super volcano Samalas dan apa yang akan kami daki ini hanya sebagian kecil saja dari sisa gunung api super ini.

Beruntung cita ini berkesesuaian dengan sebuah keinginan yang pernah diucapkan Wong untuk mengunjungi kembali gunung ini setelah sepuluh tahun lalu pernah menjejak puncak dan merasakan Tujuh Bukit Penderitaan yang legendaris di antara para petualang itu. Jadilah perjalanan ini jadi ziarah kami berdua, dan Wong lah yang jadi leader sekaligus rekan perjalananku. Maka kisah ini adalah sepenggal kisah kami berdua.

Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Lombok, di awal hari kami sudah berada di udara melintasi Jawa dan Bali untuk mencapai bandara internasional Lombok, Praya. Berkas matahari terbit dari timur menyambut kami, sesosok kabur di balik mega-mega menunjukkan tujuan utama kami di pulau ini yakni Gunung Rinjani, sebuah gunung api dengan ketinggian 3726 mdpl. Sesampainya di bandara, perjalanan dilanjutkan dengan Damri menuju kawasan bandara lama di Mataram untuk transit di rumah seorang teman yang telah tinggal di sana untuk bekerja. Narsih nama teman tersebut, telah menunggu kami di dekat rumah ketika kami turun dari Damri setelah menikmati jalanan Mataram yang sepi selama kira-kira 1 jam dengan ongkos Rp 25.000,- per orang, tapi ternyata ia tak sendiri, Agus Kehed yang juga adalah rekan kami di KMPA Fisip Unsoed ternyata ada di sana juga, sebuah kejutan karena tak menyangka ada dua teman yang ada di Mataram.

Sejenak waktu digunakan untuk bercengkerama, berbagi cerita,dan akhirnya memulai packing di kedua carrier dan tas kecil kami. Siang itu juga kami akan menuju Sembalun Lawang, pintu pendakian Gunung Rinjani. Dari terminal Mandalika kami menggunakan angkutan Elf yang menuju Pasar Aikmel, dua jam perjalanan menuju ke pasar ini, cukup panjang memang. Dari pasar ini perjalanan akan dilanjutkan dengan naik angkutan bak terbuka menuju Sembalun Lawang, sejam lagi perjalanan berangin dan penuh sesak penumpang dan sayur harus dinikmati sebelum akhirnya kami tiba di Pos Taman Nasional Gunung Rinjani, Sembalun Lawang untuk registrasi.
Menikmati senja perjalanan
Punggungan menuju Pos II
Dan pendakian pun dimulai, sekitar pkl. 17.00 WIB perjalanan dimulai melintasi padang sabana kering nan luas sambil merasakan tiupan angin sore. Di sisi jauh tampak asap tebal dari hutan yang terbakar pada saat itu, di sisi lain nampak kekar-kekar punggungan bukit yang memanjang, dan di belakang kami tampak dinding-dinding menjulang bagai benteng kokoh mengelilingi kawasan Sembalun Lawang. Salah satu pemandangan senja terindah yang pernah kami alami, tentu saja dengan pengecualian pada kebakaran hutan, hal ini betul-betul merusak perjalanan karena abu terbawa di udara dan lintasan menjadi penuh debu. Sekitar tiga jam kemudian kami sampai di lokasi yang kami targetkan untuk menjadi perhentian kami yakni Pos 2 Tengengean (1500  mdpl). Dekat sebuah mata air dan shelter kami memutuskan istirahat dan membangun tenda serta menyiapkan makan malam dan minuman hangat. Jadi lah malam itu kami menikmati taburan bintang di langit yang mempesona serta semburat merah terang di sisi kiri di mana kebakaran tampak makin nyata di malam hari, api menjilat pohon-pohon dengan arahnya semakin turun. Ada rasa waswas jangan-jangan api akan melintas di area kami tapi untungnya tidak. Malam berlalu, istirahat dapat dinikmati dalam hangatnya tenda, dan monyet-monyet tak bisa mencuri apapun dari logistik kami karena semua alat dan perbekalan telah diamankan di dalam tenda.

Hari 2 Pos II Tengengean – Plawangan Sembalun



Melintasi Tujuh Bukit Penderitaan
Pagi merona menyambut kami tapi udara tetap terasa kotor karena kebakaran belum usai bahkan sudah mendekati area di mana kami membangun tenda, suara gemeretak kayu dan rumput yang terbakar terdengar jelas.  Mulailah lagi fase kedua perjalanan dari Tengengean menuju Pos Plawangan Sembalun di mana direncanakan untuk menginap lagi. Jalur ini pada awalnya mirip dengan perjalanan menuju pos II sebelum akhirnya kami menemukan bukit yang menanjak. Ini lah awal jalur legendaris itu, jika Semeru punya Tanjakan Cinta maka Rinjani punya Tujuh Bukit Penderitaan. Terus terang aku tak mau menghitung berapa bukit yang kami lewati, biarkan kaki-kaki  ini melewatinya sementara terik hari memanggang kami dalam selimut debu. Ketika hari tengah siang barulah kami berhenti untuk sekedar mengisi perut, dan Wong mengatakan tinggal dua bukit lagi, artinya sudah terlewati lima bukit tanpa terasa. Tapi ternyata dua bukit itu pun bukanlah hal yang gampang karena jalur makin menanjak, enerji terkuras meski sudah makan siang, sering kami berhenti sekedar untuk menarik nafas dan istirahat.

Plawangan Sembalun
Begitu lega hati ini ketika di atas sana tampak sebuah plang, dan menurut Wong itu adalah gerbang Plawangan Sembalun. Sebuah area yang terbuka dengan hamparan edelweiss di mana-mana dan kabut menggantung memenuhi ruang, tinggal jalan sedikit lagi tampaklah area perkemahan yang diwarnai tenda warna-warni, di sini perjalanan hari ini berakhir. Namun kesan kami agak terganggu dengan kotornya kawasan ini, dan anehnya, yang membuat kami prihatin adalah justru para porter lah yang menjadi pelaku utama pengotoran ini, tentu saja tidak mengenyampingkan perilaku pendaki. Tapi itu lah yang kami saksikan, ironis. Meski mereka bekerja untuk kebanyakan pendaki asing dengan perlengkapan yang lengkap bagi tamu, perilaku mereka justru tidak mencerminkan perilaku yang sadar bahwa gunung yang memberi mereka rejeki juga perlu dijaga.

 
Sore itu kami mendapat hadiah awal, sebuah pemandangan matahari tenggelam di atas segara anak. Dari Plawangan Sembalun memang kita dapat memandang sebagian dari danau ini dengan warna peraknya karena terpapar mentari sebelum akhirnya gelap. Di depan kami berdiri kokoh dinding Gunung Senkereang yang angkuh, mistis, dan memberi kesan menakutkan, betul-betul membuatku merasa kecil. Detik-detik jelang mentari tenggelam dapat dinikmati dari sini sambil duduk di matras berteman teh panas dan biskuit sampai hari benar-benar gelap. Saat bintang telah hadir, itu artinya waktu istirahat datang. Kami harus menabung tenaga karena jam 01.00 WITA nanti adalah waktu yang direncanakan untuk bangun dan melakukan summit attack.
View matahari terbenam dari Plawangan Sembalun
Hari 3 Plawangan Sembalun – Puncak Rinjani – Segara Anak

Bukan hal yang mudah untuk bangun jam 1 pagi dan bersiap-siap untuk menuju puncak, perlu sama-sama menguatkan diri satu sama lain untuk bisa melanjutkan rencana. Kami yang pertama mulai melakukan pendakian ke puncak awal hari itu dan lima jam adalah waktu yang kami habiskan untuk sampai ke puncak, menyusuri lorong-lorong batu dengan pijakan pada pasir dan kerikil, kelok-kelok jalur pasir dan debu, menyusuri bibir kawah Segara Anak dihempas angin yang sangat dingin, semua memaksa mental dan fisik untuk tetap tegak. Wong dalam kebanyakan waktu berjalan tanpa suara sedangkan aku menyumpahi diri karena merasa puncak itu begitu jauh. Apalagi ketika semburat merah mulai muncul di cakrawala sedangkan punggungan terjal ke puncak masih begitu panjang. Sejenak aku berhenti, berusaha mengumpulkan kekuatan diri bahwa ini ujian bagiku, bukan soal mendapat sunrise terbaik atau mencapai puncak melainkan untuk mengalahkan diriku sendiri, membuktikan pada diriku bahwa aku masih mampu. Wong tetap diam, tetap tegak melangkah tapi aku tahu ia tersenyum di balik penutup hidungnya, seakan ia mengatakan kita pasti bisa.
Pendakian menuju puncak
Matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak
Jam enam pagi akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak Rinjani, memandang luas 360 derajat, danau biru dengan Gunung Baru Jari di tengahnya, Gunung Agung di kejauhan, dunia ini begitu lapang. Di sini aku memandang Wong lama, iapun memandang lama dan merekahkan sebuah senyum, dan aku tahu persis apa artinya, kupeluk erat tubuhnya dan kuucapkan terimakasih karena telah membawaku ke sini, menjadi pemimpin jalanku dan pendamping langkahku. Di sini di ketinggian 3726 mdpl, aku terdiam dalam dingin, menarik nafas panjang sebelum bersama Wong turun kembali. Lima jam perjalanan mendaki dan ketika di puncak hanya untuk 30 menit, cukup untuk merasa bahagia hari itu.
Di puncak dengan syal KMPA Fisip Unsoed tercinta
Perjalanan turun tak semudah kelihatannya, pasir kerikil dan batu membatasi langkah kami, debu bertebaran di udara dan sinar matahari cepat sekali terik memanggang kami. Namun cepat langkah kami ambil untuk segera menuju tenda meski kaki terasa letih. Tak banyak yang dilakukan ketika hampir tengah hari di Plawangan Sembalun karena tempat ini sangat terbuka, maka kami langsung mengepak barang dan melanjutkan fase keempat perjalanan kami, menuju Segara Anak, menjemput hadiah atas upaya keras yang telah kami lakukan. Dari Plawangan Sembalun kami mengambil jalur menuruni dinding plawangan ke arah kanan, dan memang dahsyat bagi saya yang pertama kali melewatinya. Kami menyisir dinding itu ke arah kiri dan kanan lalu kiri dan kanan lagi berulang kali bagai tanpa akhir, ini menunjukkan bahwa jalur yang kami lewati berada di atas sebuah jurang yang dalam namun karena kabut sangat tebal kami tak bisa melihat apa di sisi kiri kanan kami. Sebenarnya jalur yang kami lewati ini adalah menyusuri bibir kawah vulkano di mana danau ada di bawahnya, dan karena itulah terasa sangat panjang dengan variasi jalur adalah batu, tanah padat berdebu, hutan, dan sabana.
Ketika sabana telah dominan, itu berarti telah mendekati danau. Jelang sore namun matahari masih di atas kepala, kami melihat hadiah kami, sebuah kolam maha luas berwarna biru dengan sebuah gunung vulkanik yang mengeluarkan asap di sisi kirinya, Danau Segara Anak yang suci. Di sinilah semua lelah kami bawa, kami endapkan dalam pangkuan Dewi Anjani. Setengah perjalanan telah digapai, bahagianya ketika melihat wajah Wong berbinar-binar senja itu, antara bangga dan syukur kudekap kembali tubuhnya, berterimakasih lagi atas hadiah terindah yang telah diberikannya padaku dengan penuh pengorbanan.
Danau Segara Anak dari dekat
Pemancing
Malam datang beserta hembusan angin yang begitu kencang di atas kami, beruntung kami memilih mendirikan tenda di pinggir danau dan sisi belakang tenda tertutup bagian tanah yang tinggi sehingga angin tak menghempas tubuh dan tenda kami. Waktunya melepas lelah, kami serahkan letih kami pada belaian udara Segara Anak, esok akan kulanjutkan cerita kami. Sejenak kulihat bintang, bertabur bagai pasir di angkasa luas, untuk kemudian memejamkan mata. Selamat malam. (w&y)

Selasa, 08 Oktober 2013

Senandung Sunyi Galunggung

Panorama Kawah Galunggung


Berikut adalah sebuah kisah yang kucatat kembali dari memori yang telah lewat, sebuah memori yang sayang jika dibuang. Mirip seperti yang dikatakan Pram, sehebat apapun pengalaman seseorang  sejauh ia tidak menuliskannya maka pengalaman itu akan menghilang dan dilupakan. Maka sesepele apapun itu, kutulis lah kisah ini. Hitung-hitung menjadikannya sebuah buku dalam rak perjalanan kami berdua yang pastinya tak akan terlupakan.

Kami berada di sebuah daerah bernama Tasikmalaya, sebuah wilayah yang terkenal karena kerajinan bordirnya serta pedagang kain hebat di kawasan Tanah Abang. Daerah yang dahulunya bernama Sukapura ini merupakan dataran yang tersusun pasca meletusnya Galunggung, maka pernah juga daerah ini disebut dengan Tawang-Galunggung yang artinya dataran terbuka yang sangat luas. Penyebutan Tasikmalaya sendiri sangat berkaitan dengan dampak meletusnya Gunung Galunggung. Secara etimologis “tasik” muncul dari kata “keusik” yang berarti  “danau pasir” dan “malaya” berarti “ngalayah” atau “bertebaran”, maka benang merahnya, Tasikmalaya adalah daerah luas yang terdiri dari pasir vulkanis di mana-mana . Ada juga versi lain yang mengartikan Tasikmalaya sebagai “lautan gunung seperti di Malabar India sana” dan ini bisa jadi benar karena letusan Galunggung purba menciptakan sebuah kawasan perbukitan hasil lontaran materialnya yang saat ini dikenal dengan Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills), dalam dunia geologi kawasan ini dikenal dengan nama Formasi Tasikmalaya. Jadi Tasikmalaya bisa dikatakan adalah monumen sejarah sebuah peradaban di wilayah Priangan yang terbangun di atas memori atas bencana. Hal ini didapatkan dari cerita dan obrolan dengan warga Tasikmalaya sendiri maupun beberapa referensi  yang pernah kubaca.

Maka berangkatlah kami ke sana, menikmati Galunggung yang begitu menggoda, entah kenapa kami selalu tergoda dengan sosok gunung sehingga tak pernah bisa menolak godaan untuk mengunjunginya. Gunung Galunggung dapat ditempuh dengan kendaraan dari kota Tasikmalaya melewati jalur Tasik-Singaparna, sampai di simpang Pondok Pesantren Cipasung berbelok ke kanan menuju Kecamatan Sukaratu kira-kira 10 km. Di pertigaan kecil bertanda pos ojek dan papan penunjuk area tambang pasir Galunggung berbeloklah kami ke kanan menyusuri jalanan aspal hancur, tidak rata sana sini dan kemudian dominasi batu susun selama kurang lebih 1 jam. Jalanan baru kembali bagus setelah kami sampai di gerbang kawasan. Ada pos retribusi seharga Rp 4 ribu perorang dan pengunjung disediakan dua pilihan, belok kanan akan menuju pemandian terbuka air panas Cipanas  namun jika mengambil jalan lurus menanjak itu anda akan menuju kawah Galunggung. Kami memilih kawah Galunggung, dan menyusuri kembali hutan pinus kira-kira 20 menit sebelum sampai di parkiran di mana terdapat warung-warung kopi berpemandangan lembah-lembah.

Mulai meniti 620 anak tangga
Sama sekali tak sulit untuk menikmati kawah Galunggung meski ketinggian gunung ini tercatat 2.167 mdpl, dari parkiran ini kita langsung menemukan ratusan anak tinggi lurus ke atas menuju pinggiran kawah, tepatnya ada 620 anak tangga. Setelah sesekali berhenti untuk mengatur nafas dan mengambil gambar orang cantik yang bersamaku ini sampailah kami di pinggiran kawah dan tersajikan pemandangan kaldera lebar dengan tengahnya berisi sebuah kubah lava dikelilingi danau dan endapan material vulkanik di sisi yang lain. Meskipun ada beberapa warung di pinggiran kawah ini (biasanya buka sampai jam 4 untuk kemudian tutup dan mereka turun dengan barang dagangannya) kami memilih berjalan-jalan menyusuri bibir kawah sambil mengambil gambar, bercerita dan kadang-kadang hanya memandangi lanskap indah itu. Jika menginginkan pemandangan yang bebas kabut disarankan untuk berada di sini maksimal jam 2 siang karena sesudah jam itu biasanya kabut menyelimuti dan hujan juga sering terjadi.

Bila ingat Galunggung tentu kita teringat fenomenalnya erupsi gunung ini. Terbayang apa yang terjadi tahun 1982 kala Galunggung meletus dengan hebatnya, bahkan menjadi salah satu letusan terhebat di nusantara. Dinding kokoh dari Gunung Ageung (sebutan lain Galunggung yang lebih tua) serta danau berwarna hijau, serta bukaan kawah ke arah timur-tenggara seakan menjadi saksi bisu letusan hebatnya kala itu. Kembali ke tahun 1982, tepatnya tanggal 5 April 1982 ketika gunung ini bergemuruh dan melemparkan isi bumi ke luar dengan massa dan kekuatan luar biasa. Petir dan halilintar menggelegar membuat langit berwarna merah. Debu vulkanik menggumpal  dalam kolom setinggi 20 km ke angkasa, belum lagi awan panas menyapu wilayah timurnya, sementara debunya menghujani  sampai wilayah dalam radius 100 km. Periode erupsi ini berjalan sepanjang 9 bulan sampai 8 Januari 1983, memaksa 20 ribuan orang harus bertransmigrasi ke sumatera karena tak bisa menggarap lahan atau tinggal di desanya lagi. Bekas terbukanya kawah bagian timur-tenggara adalah sisa kehancuran besar saat itu, dinding masif itu itu runtuh menjadi lahar dingin yang menenggelamkan kawasan-kawasan sekitarnya dalam lautan pasir, tanah, dan batu. Pintu ini sampai sekarang menjadi bayangan bahaya bagi kota Tasikmalaya karena arah bukaannya nya memang ke arah kota.

Halilintar di atas Galunggung saat erupsi 1982 (photo by Wikimedia)
Dan di sinilah kami, di bawah perkasanya karya bumi ini kami menghirup nafas panjang dan merasakan segarnya puncak Galunggung.  Jika sampai di sini mata tak akan bisa lepas dari pemandangan di bawahnya yakni sebuah kaldera besar seluas kira-kira 4 hektar. Kita bisa menuruninya dari dua sisi danau selama kira-kira 20 menit ke bawah turun sedalam 100 meter. Berada di tengah kawah ini sungguh menyenangkan, seolah kita berada di sebuah baskom besar yang sunyi. Di dalam kaldera ini terdapat sebuah danau yang dipenuhi ganggang berwarna hijau mengelilingi kubah lava yang dihasilkan pasca letusan 1918, kubah ini kemudian dinamakan Gunung Jadi. Air danau ini diatur volumenya yakni tidak boleh melewati lebih dari 750 ribu meter kubik dengan cara dibuat terowongan pada tahun 1993-1997 sepanjang 748 meter untuk mengalirkannya ke Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran di bawahnya. Hal ini dilakukan sebab jika volume air sangat tinggi, air tersebut dapat meruntuhkan dinding kawah yang pastinya mengakibatkan bencana besar nantinya. Proyek ini adalah salah satu bentuk mitigasi bencana struktural yang sangat brilian menurutku.

Pinggiran danau kawah
Bila menyempatkan diri untuk berkemah di tengah kaldera ini dengan memasang tenda di pinggir kawah maka anda akan merasakan ketenangan luar biasa bahkan cenderung sunyi senyap karena jarang orang mau berkemah di sini, kebanyakan karena alasan mistik ( di sini juga ada mesjid dimana di belakangnya sering dijadikan tempat bersemedi) maupun karena adanya babi hutan. Untungnya saya tidak mengalami keduanya selama saya berkemah di sana. Dalam gelap total dan hanya melihat bintang, tidur akan terasa pulas. Paginya, uap dari permukaan danau akan menjadi sajian pertama anda, kabut yang mendekap Gunung Jadi tampak begitu anggun, dan rasanya siang begitu lama akan datang. Tanda-tanda siang telah tiba ditandai dengan munculnya orang yang datang untuk memancing ikan, rombongan remaja berisik yang hendak piknik dan foto-foto, serta munculnya jajaran manusia di tepian kawah di atas anda. Semua dinikmati sendiri sambil memasak sarapan dan menikmati kopi panas, luar biasa rasanya.

Perjalanan pun harus berakhir, terbayar sudah rasa penasaran pada sosok gunung yang legendaris ini, saatnya menggandeng tangan kekasih menuruni ratusan anak tangga dan kembali di mana kami memulai semua. Terimakasih Galunggung, dan semoga pelajaran atas bencana karenamu tak akan mudah terlupakan oleh manusia-manusia yang berada dekat denganmu. (1/5,W&Y)
Pagi di tepian danau kawah dan tampakan kubah lava

Senin, 07 Oktober 2013

Menemukan Jembatan Cinta Itu

Panorama sisi barat Tidung saat senja
Suatu kali terbersit ide untuk melakukan perjalanan akhir minggu tanpa harus perlu mengeluarkan tenaga ekstra namun ada keinginan bahwa tempat itu memang layak dalam arti memberikan suasana berbeda dari kejamakan hari-hari kami dan membuat akhir minggu terasa indah dan menyegarkan. Awalnya niat yang kami rencanakan adalah berlibur di Taman Wisata Alam Muara Angke yang menyediakan spot perairan payau dan kawasan mangrove dimana terdapat cottage yang bisa digunakan untuk menginap. Namun setelah dipelajari bahwa biaya akomodasi cottage tersebut relatif mahal dan nanggung, tujuannya langsung berubah menuju satu tempat yang telah lama ingin kukunjungi yakni Pulau Seribu. Wong sendiri sudah pernah ke Pulau Seribu sehingga bisa memberikan pandangan bagiku bahwa tempat itu menarik dan layak dijadikan destinasi liburan akhir pekan kami. Maka diputuskanlah bahwa tujuan liburan kami adalah salah satu pulau di kawasan Pulau Seribu di utara Jakarta.

Bergeraklah kami dari rumah pagi-pagi sekali agar pada jam 7 pagi kami sudah berada di pelabuhan Muara Angke untuk naik kapal penumpang ke Pulau Pramuka. Perjalanan pagi dari rumah pada pagi buta di Jakarta sangatlah menyenangkan karena masih relatif segar, namun bayangan itu buyar ketika kami harus melewati Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke. Bau busuk yang begitu menyengat menyergap penciuman kami meskipun seluruh kaca mobil sudah tertutup rapat, entah dari mana bau busuk itu masuk. Penutup hidung dari kain kamipun tetap tak mampu menangkal bau busuk dari TPI ini, sungguh luar biasa aroma pagi itu, terasa kenyang perut karenanya, cenderung ke mual.

Langit perak Jakarta
Setelah sekitar 15 menit melewati TPI ini kami sampai di tepian pelabuhan penyeberangan Angke. Dari sini dilanjutkan dengan berjalan kaki di antara jalanan becek, berebutan dengan sepeda motor, gerobak,kereta, becak barang, angkot dan puluhan manusia lain yang sibuk dengan agendanya masing-masing. Namun yang dominan terlihat adalah para manusia yang tampaknya memiliki niatan sama dengan kami yakni menyeberang ke Pulau Seribu. Di tepian pelabuhan yang berair keruh dan penuh sampah, tampak beberapa kapal penumpang. Ada tulisan di depannya, Pulau Pramuka dan Pulau Tidung. Awalnya kami hendak ke Pramuka karena pulau itu memang sudah terkenal di kalangan penyuka travelling, tapi kembali lagi ide mendadak dari perempuan manisku ini muncul. “Kenapa tidak ke pulau Tidung saja karena sama-sama belum pernah ke sana dan letak pulau itu lebih jauh, mungkin ada hal berbeda dan lebih menarik di sana?” begitu katanya Tanpa menggugat tawarannya lebih lanjut, setelah menghabiskan kopi hitam kami langsung naik ke kapal yang bertuliskan Tidung. Waw, di geladak bagian tengah ternyata sudah berjubel orang. Mereka duduk bersila, duduk selonjor di pinggiran geladak, atau tiduran di sana berkelompok-kelompok sambil bercerita dan makan minum. Kamipun mencari tempat untuk duduk karena perjalanan akan lumayan panjang, 3 jam dengan biaya per orang Rp 32 ribu.

Penampakan Onrust dari kapal

                Saat mentari pagi bersinar, paparan sinar perak di langit Jakarta mengantar kami mengarungi perairan utara Jakarta dalam tenang. Gejolak arus yang tertabrak laju kapal tampak pasrah menerima terjangan kapal, mata pun dimanja dengan pemandangan Ancol dari perairan dengan tegakan-tegakan gedung tinggi di sana sini bercampur dengan bayang rumah-rumah kumuh pinggiran Angke. Betul-betul menggambarkan Jakarta yang biasa orang kenal. Satu persatu pulau dilewati, Pulau Onrust yang legendaris sebagai perhentian haji dan koloni lepra, pulau yang dijadikan hutan larangan, Pulau Bidadari yang indah dengan resortnya dan pulau-pulau kecil lain pun kami lewati menuju tujuan akhir kami yakni Tidung. Setelah 2,5 jam barulah tampak bentuk pulau tujuan kami, ada dua pulau ternyata yakni Tidung Besar dan Tidung Kecil berdampingan dan dihubungkan oleh jembatan sepanjang 800 meter. Terbayang menyenangkannya menyeberangi jembatan itu dengan sepeda berdua, namun kami akhirnya sedikit kecewa nantinya.

Dermaga Tidung


                Sesampainya di dermaga, suasana sudah ramai, sebuah papan menunjukkan dimana kami berada. Setelah 3 jam di kapal, bisa berdiri dan berjalan di darat rasanya begitu melegakan. Ini lah pulau tujuan kami yang ternyata adalah sebuah pulau yang sempit memanjang. Keluar dari dermaga kami langsung berhadapan dengan lorong-lorong antara rumah dengan jalan mirip gang, jalan dengan paving blok inilah satu-satunya jalan di pulau ini dan tampaknya berkendara dengan sepeda lebih menyenangkan. Akhirnya setelah menikmati sarapan yang tertunda, aktivitas pertama kami adalah menyewa sepeda, 20 ribu saja untuk berboncengan dan dengan sepeda ini lah kami menyusuri ujung satu ke ujung lain pulau sambil mencari penginapan yang berlokasi strategis.

Di ujung barat pemukiman dan penginapan berupa homestay lebih padat, tak ada pemandangan ke laut yang cukup terbuka, sementara ke timur terasa lebih lapang. Bisa jadi karena sisi timur memiliki daratan yang lebih sempit. Di ujung jalan inilah ternyata pusat keramaian berada, puluhan warung tersaji di sini, ada juga penyewaan kayak atau permainan air lainnya yang bisa disewa. Kamipun memilih menyewa snorkel dan kayak yang kami gunakan untuk menyeberang ke gosong kecil di area agak tengah dimana kami bisa menambatkan kayak dan menggunakan snorkel untuk snorkling di daerah itu. Di sini kita bisa menyaksikan ikan-ikan kecil berkeliaran di antara terumbu yang relatif sudah rusak, dan dengan kayak kita bisa menikmati jernihnya perairan dangkal penuh ganggang laut. Jikapun ada sedikit rasa kecewa kami adalah ketika menyadari bahwa harapan untuk bersepeda menyeberang jembatan penghubung kedua pulau itu tidak bisa terwujud karena Jembatan Cinta, nama jembatan itu sedang mengalami proses renovasi. Tinggal lah dengan kayak kami menikmati kedua pulau itu dari air, cukup menyenangkan.

Senyum di gerbang Jembatan Cinta
Tepian pulau di sisi timur

             Setelah puas bersnorling dan berkayak ceria, hunting penginapan dimulai dan akhirnya kamipun menemukan penginapan di sektor timur yang menurut kami strategis karena memiliki halaman belakang yang luas dan langsung menghadap laut baik arah timur, selatan maupun barat, sebuah penginapan yang relatif luas terdiri dari 2 kamar yang bisa ditempati sampai 10 orang dengan harga Rp 250 ribu. Tempatnya lapang, bersih dan pastinya aman.

Dari lokasi kami ini, sisi barat terpampang di mana kami bisa menunggu matahari tenggelam sambil memandangi anak-anak yang berenang di dermaga atau menyaksikan para pemancing yang dengan sabar memegang jorannya. Duduk di sini memandang keluasan laut memberi rasa lega pada mata kami, duduk dan saling bercerita terasa menyenangkan, sampai tak terasa gelap mulai datang dan sunset yang kami tunggu memang tak hadir. Namun itu tak membuat kami kecewa karena malam memberikan gantinya. Di bawah pohon-pohon cemara kami disuguhi pemandangan langit penuh bintang dan suara hempasan ombak kecil di tepian pantai. Suasana yang menciptakan malam syahdu bagi para kekasih, menyediakan nada bagi lantunan lagu-lagu cinta, malam terasa sangat cepat berlalu, indahnya tak terlupa. Malam itu adalah salah satu malam yang tak akan kami lupakan dalam hidup kami.


Jembatan Cinta sedang direnovasi
                Pagi hari telah kuniatkan hati untuk menunggu cahaya matahari terbit dari sisi timur, tak perlu berjalan jauh karena penginapan kami menyediakan spot terbaik untuk sunrise. Dan apa yang kunanti akhirnya datang, betapa kurasakan membuncahnya rasa hati seolah baru menjemput seorang kekasih yang telah lama berpisah. Berkas cahaya pagi menciptakan garis berwarna nila yang begitu agung, langit biru menjadikannya latar belakang yang bersih, mega-mega menjadi ornamen, sementara pendar cahayanya di atas air menciptakan kelembutan yang anggun. Betapa mata ini dimanja, tak henti-hentinya shutter kamera kutekan untuk mengabadikan setiap momen itu. Sempurnalah, aku memiliki malam yang sempurna dan ditutup dengan sunrise yang sempurna. Terimakasih Tidung, terimakasih Wong untuk membuatku bisa menikmatinya. Meskipun tak bisa kita menyusuri Jembatan Cinta, kita telah menemukan jembatan bagi cinta kita, lewat semesta ini lah kita membangun kekaguman dan kecintaan satu sama lain, itulah jembatan kita. Ingin kumencipta dan menyanyikan sebuah lagu cinta untukmu, selalu dan selamanya. Dari Tidung ini kedua hati makin dipertautkan (W&Y,12-12)

Lukisan pagi


Sunrise Pulau Tidung