 |
Segara Anak dari Plawangan Senaru |
Hari I: Jakarta-Mataram-Pos II Tengengean
Rinjani, telah lama nama gunung di pulau Lombok ini terpatri
di benak, besar rasa penasaran untuk mengunjunginya suatu hari nanti sebelum
tubuh tak lagi mampu menjangkaunya. Ada banyak kisah menarik diceritakan
mengenai gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jayawijaya dan Kerinci
ini baik mengenai keindahannya, kesulitannya, kisah mistik dan legendanya serta
publikasi terakhir bahwa di masa lalu gunung ini pernah meletus hebat saat
dikenal sebagai super volcano Samalas dan apa yang akan kami daki ini hanya
sebagian kecil saja dari sisa gunung api super ini.
Beruntung cita ini berkesesuaian dengan sebuah keinginan yang
pernah diucapkan Wong untuk mengunjungi kembali gunung ini setelah sepuluh
tahun lalu pernah menjejak puncak dan merasakan Tujuh Bukit Penderitaan yang
legendaris di antara para petualang itu. Jadilah perjalanan ini jadi ziarah
kami berdua, dan Wong lah yang jadi leader sekaligus rekan perjalananku. Maka
kisah ini adalah sepenggal kisah kami berdua.
Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Lombok, di awal hari
kami sudah berada di udara melintasi Jawa dan Bali untuk mencapai bandara
internasional Lombok, Praya. Berkas matahari terbit dari timur menyambut kami,
sesosok kabur di balik mega-mega menunjukkan tujuan utama kami di pulau ini
yakni Gunung Rinjani, sebuah gunung api dengan ketinggian 3726 mdpl.
Sesampainya di bandara, perjalanan dilanjutkan dengan Damri menuju kawasan
bandara lama di Mataram untuk transit di rumah seorang teman yang telah tinggal
di sana untuk bekerja. Narsih nama teman tersebut, telah menunggu kami di dekat
rumah ketika kami turun dari Damri setelah menikmati jalanan Mataram yang sepi
selama kira-kira 1 jam dengan ongkos Rp 25.000,- per orang, tapi ternyata ia
tak sendiri, Agus Kehed yang juga adalah rekan kami di KMPA Fisip Unsoed
ternyata ada di sana juga, sebuah kejutan karena tak menyangka ada dua teman
yang ada di Mataram.
Sejenak waktu digunakan untuk bercengkerama, berbagi
cerita,dan akhirnya memulai packing di kedua carrier dan tas kecil kami. Siang
itu juga kami akan menuju Sembalun Lawang, pintu pendakian Gunung Rinjani. Dari
terminal Mandalika kami menggunakan angkutan Elf yang menuju Pasar Aikmel, dua
jam perjalanan menuju ke pasar ini, cukup panjang memang. Dari pasar ini
perjalanan akan dilanjutkan dengan naik angkutan bak terbuka menuju Sembalun
Lawang, sejam lagi perjalanan berangin dan penuh sesak penumpang dan sayur
harus dinikmati sebelum akhirnya kami tiba di Pos Taman Nasional Gunung
Rinjani, Sembalun Lawang untuk registrasi.
 |
Menikmati senja perjalanan |
 |
Punggungan menuju Pos II |
Dan pendakian pun dimulai, sekitar pkl. 17.00 WIB perjalanan
dimulai melintasi padang sabana kering nan luas sambil merasakan tiupan angin
sore. Di sisi jauh tampak asap tebal dari hutan yang terbakar pada saat itu, di
sisi lain nampak kekar-kekar punggungan bukit yang memanjang, dan di belakang
kami tampak dinding-dinding menjulang bagai benteng kokoh mengelilingi kawasan
Sembalun Lawang. Salah satu pemandangan senja terindah yang pernah kami alami,
tentu saja dengan pengecualian pada kebakaran hutan, hal ini betul-betul
merusak perjalanan karena abu terbawa di udara dan lintasan menjadi penuh debu.
Sekitar tiga jam kemudian kami sampai di lokasi yang kami targetkan untuk
menjadi perhentian kami yakni Pos 2 Tengengean (1500 mdpl). Dekat sebuah mata air dan shelter kami
memutuskan istirahat dan membangun tenda serta menyiapkan makan malam dan
minuman hangat. Jadi lah malam itu kami menikmati taburan bintang di langit
yang mempesona serta semburat merah terang di sisi kiri di mana kebakaran
tampak makin nyata di malam hari, api menjilat pohon-pohon dengan arahnya
semakin turun. Ada rasa waswas jangan-jangan api akan melintas di area kami
tapi untungnya tidak. Malam berlalu, istirahat dapat dinikmati dalam hangatnya
tenda, dan monyet-monyet tak bisa mencuri apapun dari logistik kami karena semua
alat dan perbekalan telah diamankan di dalam tenda.
Hari 2 Pos II Tengengean – Plawangan Sembalun
 |
Melintasi Tujuh Bukit Penderitaan |
Pagi merona menyambut kami tapi udara tetap terasa kotor
karena kebakaran belum usai bahkan sudah mendekati area di mana kami membangun
tenda, suara gemeretak kayu dan rumput yang terbakar terdengar jelas. Mulailah lagi fase kedua perjalanan dari
Tengengean menuju Pos Plawangan Sembalun di mana direncanakan untuk menginap
lagi. Jalur ini pada awalnya mirip dengan perjalanan menuju pos II sebelum
akhirnya kami menemukan bukit yang menanjak. Ini lah awal jalur legendaris itu,
jika Semeru punya Tanjakan Cinta maka Rinjani punya Tujuh Bukit Penderitaan.
Terus terang aku tak mau menghitung berapa bukit yang kami lewati, biarkan
kaki-kaki ini melewatinya sementara
terik hari memanggang kami dalam selimut debu. Ketika hari tengah siang barulah
kami berhenti untuk sekedar mengisi perut, dan Wong mengatakan tinggal dua
bukit lagi, artinya sudah terlewati lima bukit tanpa terasa. Tapi ternyata dua
bukit itu pun bukanlah hal yang gampang karena jalur makin menanjak, enerji
terkuras meski sudah makan siang, sering kami berhenti sekedar untuk menarik
nafas dan istirahat.
 |
Plawangan Sembalun |
Begitu lega hati ini ketika di atas sana tampak sebuah
plang, dan menurut Wong itu adalah gerbang Plawangan Sembalun. Sebuah area yang
terbuka dengan hamparan edelweiss di mana-mana dan kabut menggantung memenuhi
ruang, tinggal jalan sedikit lagi tampaklah area perkemahan yang diwarnai tenda
warna-warni, di sini perjalanan hari ini berakhir. Namun kesan kami agak
terganggu dengan kotornya kawasan ini, dan anehnya, yang membuat kami prihatin
adalah justru para porter lah yang menjadi pelaku utama pengotoran ini, tentu
saja tidak mengenyampingkan perilaku pendaki. Tapi itu lah yang kami saksikan,
ironis. Meski mereka bekerja untuk kebanyakan pendaki asing dengan perlengkapan
yang lengkap bagi tamu, perilaku mereka justru tidak mencerminkan perilaku yang
sadar bahwa gunung yang memberi mereka rejeki juga perlu dijaga.
Sore itu kami mendapat hadiah awal, sebuah pemandangan
matahari tenggelam di atas segara anak. Dari Plawangan Sembalun memang kita
dapat memandang sebagian dari danau ini dengan warna peraknya karena terpapar
mentari sebelum akhirnya gelap. Di depan kami berdiri kokoh dinding Gunung
Senkereang yang angkuh, mistis, dan memberi kesan menakutkan, betul-betul
membuatku merasa kecil. Detik-detik jelang mentari tenggelam dapat dinikmati
dari sini sambil duduk di matras berteman teh panas dan biskuit sampai hari
benar-benar gelap. Saat bintang telah hadir, itu artinya waktu istirahat
datang. Kami harus menabung tenaga karena jam 01.00 WITA nanti adalah waktu
yang direncanakan untuk bangun dan melakukan summit attack.
 |
View matahari terbenam dari Plawangan Sembalun |
Hari 3 Plawangan Sembalun – Puncak Rinjani – Segara Anak
Bukan hal yang mudah untuk bangun jam 1 pagi dan
bersiap-siap untuk menuju puncak, perlu sama-sama menguatkan diri satu sama
lain untuk bisa melanjutkan rencana. Kami yang pertama mulai melakukan
pendakian ke puncak awal hari itu dan lima jam adalah waktu yang kami habiskan
untuk sampai ke puncak, menyusuri lorong-lorong batu dengan pijakan pada pasir
dan kerikil, kelok-kelok jalur pasir dan debu, menyusuri bibir kawah Segara
Anak dihempas angin yang sangat dingin, semua memaksa mental dan fisik untuk
tetap tegak. Wong dalam kebanyakan waktu berjalan tanpa suara sedangkan aku
menyumpahi diri karena merasa puncak itu begitu jauh. Apalagi ketika semburat merah
mulai muncul di cakrawala sedangkan punggungan terjal ke puncak masih begitu
panjang. Sejenak aku berhenti, berusaha mengumpulkan kekuatan diri bahwa ini
ujian bagiku, bukan soal mendapat sunrise terbaik atau mencapai puncak
melainkan untuk mengalahkan diriku sendiri, membuktikan pada diriku bahwa aku
masih mampu. Wong tetap diam, tetap tegak melangkah tapi aku tahu ia tersenyum
di balik penutup hidungnya, seakan ia mengatakan kita pasti bisa.
 |
Pendakian menuju puncak |
 |
Matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak |
Jam enam pagi
akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak Rinjani, memandang luas 360 derajat,
danau biru dengan Gunung Baru Jari di tengahnya, Gunung Agung di kejauhan,
dunia ini begitu lapang. Di sini aku memandang Wong lama, iapun memandang lama
dan merekahkan sebuah senyum, dan aku tahu persis apa artinya, kupeluk erat
tubuhnya dan kuucapkan terimakasih karena telah membawaku ke sini, menjadi
pemimpin jalanku dan pendamping langkahku. Di sini di ketinggian 3726 mdpl, aku
terdiam dalam dingin, menarik nafas panjang sebelum bersama Wong turun kembali.
Lima jam perjalanan mendaki dan ketika di puncak hanya untuk 30 menit, cukup
untuk merasa bahagia hari itu.
 |
Di puncak dengan syal KMPA Fisip Unsoed tercinta |
Perjalanan turun tak semudah kelihatannya, pasir kerikil dan
batu membatasi langkah kami, debu bertebaran di udara dan sinar matahari cepat
sekali terik memanggang kami. Namun cepat langkah kami ambil untuk segera
menuju tenda meski kaki terasa letih. Tak banyak yang dilakukan ketika hampir
tengah hari di Plawangan Sembalun karena tempat ini sangat terbuka, maka kami
langsung mengepak barang dan melanjutkan fase keempat perjalanan kami, menuju
Segara Anak, menjemput hadiah atas upaya keras yang telah kami lakukan. Dari
Plawangan Sembalun kami mengambil jalur menuruni dinding plawangan ke arah
kanan, dan memang dahsyat bagi saya yang pertama kali melewatinya. Kami
menyisir dinding itu ke arah kiri dan kanan lalu kiri dan kanan lagi berulang
kali bagai tanpa akhir, ini menunjukkan bahwa jalur yang kami lewati berada di
atas sebuah jurang yang dalam namun karena kabut sangat tebal kami tak bisa
melihat apa di sisi kiri kanan kami. Sebenarnya jalur yang kami lewati ini
adalah menyusuri bibir kawah vulkano di mana danau ada di bawahnya, dan karena
itulah terasa sangat panjang dengan variasi jalur adalah batu, tanah padat
berdebu, hutan, dan sabana.
Ketika sabana telah dominan, itu berarti telah
mendekati danau. Jelang sore namun matahari masih di atas kepala, kami melihat
hadiah kami, sebuah kolam maha luas berwarna biru dengan sebuah gunung vulkanik
yang mengeluarkan asap di sisi kirinya, Danau Segara Anak yang suci. Di sinilah
semua lelah kami bawa, kami endapkan dalam pangkuan Dewi Anjani. Setengah
perjalanan telah digapai, bahagianya ketika melihat wajah Wong berbinar-binar
senja itu, antara bangga dan syukur kudekap kembali tubuhnya, berterimakasih lagi
atas hadiah terindah yang telah diberikannya padaku dengan penuh pengorbanan.
 |
Danau Segara Anak dari dekat |
 |
Pemancing |
Malam datang beserta hembusan angin yang begitu kencang di
atas kami, beruntung kami memilih mendirikan tenda di pinggir danau dan sisi
belakang tenda tertutup bagian tanah yang tinggi sehingga angin tak menghempas
tubuh dan tenda kami. Waktunya melepas lelah, kami serahkan letih kami pada
belaian udara Segara Anak, esok akan kulanjutkan cerita kami. Sejenak kulihat
bintang, bertabur bagai pasir di angkasa luas, untuk kemudian memejamkan mata.
Selamat malam. (w&y)