Selasa, 01 Juli 2014

Lebaran di bawah Tabir Gunung Salak



Tabir Cakrawala
Masih relatif gelap saat kami keluar, berbekal headlamp dan kamera kami berjalan ke luar kampung, menyusuri jalan tanah di antara kebun-kebun teh yang masih basah oleh air dan embun, tempat yang kami tuju dengan berjalan kaki adalah sebuah lapangan datar yang berada di salah satu puncak bukit di mana menjadi tempat yang cocok untuk menikmati matahari terbit. 

Birunya pagi
Angin terasa sangat dingin, saat kami di atas bukit cercah matahari belum muncul sementara angin gunung mencocok kulit. Akhitnya cahaya kemerahan itu mulai muncul, menerangi cakrawala dengan warna oranye di tengah, hitam di bagian bawah dimana profil bumi ada sementara biru di bagian atas ketika langit dan awan hitam seolah tersibak paksa. Itulah makan pagi kami di hari itu, meskipun telah puluhan kali melilhat sunrise tapi tetap saja pesona itu ingin dinikmati lagi dan lagi, seakan kecanduan.

Dari kanvas alam pagi itu nampak kemudian sosok jajaran pegunungan Salak dengan kedua puncaknya, gunung yang menyimpan misteri gelap sekaligus menantang para petualang untuk mencumbunya. Kami di sini, dari jauh menikmati lukisan itu dengan kagum sekaligus rasa syukur karena mendapatkan anugerah seindah itu dan bisa menikmatinya dalam keadaan sehat.


Bermandi cahaya matahari pagi
Saat matahari kian meninggi bukan berarti keindahan itu hilang, ia memberikan lukisan yang lain, cahayanya menciptakan semburat warna oranye pada perbukitan di bagian atas, sementara bagian bawah masih relatif gelap. Saat bagian bawah pun tersibak, muncullah gambar kampung Malasari dengan aktivitas penduduknya, mereka baru pulang dari lapangan tempat mereka melaksanakan sholat Ied. Ya, hari itu adalah lebaran, hari yang dinanti dengan kegembiraan dan kasih sayang atas permaafan. Meski tak ikut sholat, kami merasakan kesyahduan hari itu di tengah hijau dan teduhnya alam Citalahab ini, maka saat kami turun tak lupa juga mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin bagi warga yang kami temui.

Arakan awan di atas perkebunan teh
Namun hari itulah juga kami harus  mengakhiri kunjungan di Citalahab karena kami akan kembali ke Jakarta saat jalanan masih relatif sepi. Setelah berpamitan kamipun kembali di atas dua roda si Ijo. Kami tidak kembali ke Parung Kuda melainkan melanjutkan jalan yang kami lalui kemarin menuju Cibeber yang menurut informasi dari penduduk jauh lebih cepat (karena beraspal) apabila hendak ke Jakarta. Jalanan itu sama seperti jalan sebelumnya, jalanan dari batu susun namun lebih lebar, tetap melintasi kolom-kolom kebun teh namun diujungnya akan ditemui aspal yang cukup rata. Jalan yang kami lalui ini akan berujung ke Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ternyata pemandangan indah belum berakhir, di sisi jalan ini kita bisa berhenti untuk istirahat sambil menikmati pemandangan lembah berterasering, sangat indah bentuknya.
Teras-teras cantik penyusun lahan pertanian

Tujuh hari perjalanan, dari kota ke pantai lalu ke pegunungan, meski tak banyak waktu dan tak banyak biaya, melelahkan secara fisik namun semuanya terbayar lunas. Saat kembali ke Jakarta, pengalaman itu adalah salah satu yang terbaik yang kami alami. Letih, kesal, marah, senang, bahagia semua dibagi bersama. Perjalanan ini adalah perjalanan untuk mengenal lebih banyak tentang Indonesia dan juga mengenal lebih banyak diri masing-masing. At the end,we’re a happy couple with a happy times. Terimakasih untuk perjalanannya, ziarah kecil kita. (w&y, 2013)

Dari hunting Owa Jawa sampai Berburu Jamur Berfosfor di Citalahab


Kampung Malasari, Citalahab
Selamat pagi! 

Sinar matahari bersinar terang menembusi dedaunan dan pohon-pohon di depan homestay kami, suasana yang membuat kami tak hendak cepat-cepat mandi, lagian airnya sungguh sangat dingin. Suasana masih sepi namun beberapa orang sudah mulai melaksanakan aktivitasnya. Dengan segelas kopi susu panas kami berada di teras dan mengobrol tentang segala hal, sungguh pagi yang nikmat.

Suasana pagi di Malasari, Citalahab
Seusai mandi dan sarapan kami merancang acara hari ini yakni eksplorasi kawasan Malasari ini, ada beberapa hal menarik yang bisa dilakukan di sini. Pertama kami berjalan-jalan di sekitar perkebunan teh Nirmala ini menikmati embun di permukaan daun dan terpaan sinar mentarinya. Cerah sekali pagi itu, menjadikan karpet hijau kebun teh, lekuk jalanan tanah, tegakan pohon, hamparan langit biru, awan putih dan sisa kabut  menjadi sebuah skesta alam nan indah di mata kami.  

Mencari Owa Jawa




Kedua, kami melakukan light trekk di kawasan hutan di belakang kampung, berdasarkan informasi dan juga suara-suara yang kami dengar sejak kemarin, terdapat sekumpulan owa Jawa di hutan sana. Meskipun hutan ini kecil dan pastinya sering dimasuki orang, toh bisa membuat kita kehilangan arah karena saking asiknya menikmati suasana. Walhasil tak juga menemukan Owa Jawa yang kami cari, kami malah harus mencari jalan keluar dari hutan ini. Untungnya kami temukan juga jalan keluarnya yang ternyata memutari hutan tersebut dan berujung di sawah di sisi lain jalan masuk kami. Namun kami menemukan hal lain yang menarik, selain terong susu berwarna kuning terang, di sepanjang jalan menuju kampung terserak feses luwak yang bercampur kopi. Inilah sang bakal kopi mahal itu sementara di sini terserak begitu saja oleh luwak liar, hal ini kami simpulkan karena di sana tak ada yang memelihara luwak penghasil kopi luwak.

Tangkapan yang sukses siang itu
Jelang siang, keasyikan ternyata belum terhenti. Bapak pemilik homestay sedang bermain dengan joran pancingnya di kolam untuk mencari lauk makan siang ternyata. Kebetulan yang menyenangkan bagi Wong yang segera saja meminjam joran lain dan ikut memancing, ia betah berlama-lama berjongkok menunggu umpannya disambar. Hasilnya cukup memuaskan, beberapa mujair segar siap jadi lauk kami. Aktivitas kecil ini ternyata sangat menyenangkannya.

Siangnya, kami mengunjungi Curug Macan, salah satu air terjun kecil yang berada di dekat stasiun penelitian TNGHS. Dengan menitipkan kendaraan di pos ini, kami berjalan menuju curug ini, dari pinggir jalan antara pos-citalahab, curug ini berada sekitar 200 meter ke bawah. Curug ini tidak besar namun cukup tinggi jatuhan airnya di sungai yang airnya sangat jernih dan dingin. Tak salah jika berada di sini memunculkan keinginan untuk mandi kemudian memasak kopi lalu makan di pinggir sungai...
Curug Macan


Malam pun tak mau dilewati begitu saja, sayang jika tidak menyempatkan diri untuk mengunjungi canopy trail dan mencari jamur berfosfor di sekitar stasiun penelitian. Ternyata banyak juga pengunjung yang datang ke sana malam itu. Ditemani seorang pemandu, dengan berbekal headlamp kami diajak menuju Canopy Trail (namun saat itu tak bisa digunakan karena masih dalam perbaikan) dan mencari jamur yang bercahaya itu, setelah berjalan sedikit agak di belakang pos, pemandu meminta kami mematikan semua lampu dan cermat melihat sekitar, dan woilaaa..... kami melihat titik-titik kecil, amat kecil seukuran 2-3 mm tapi bertebaran di mana-mana, benda berpendar itulah jamur yang kami cari. Bila tanpa pemandu, niscaya kami tak akan bisa mengetahui keberadaannya. 

Canopy Trail sedang dalam perbaikan
Terimakasih kami ucapkan pada pemandu yang telah membuat kami berkesempatan menikmatinya sebelum kami kembali ke rumah Bu Ana untuk istirahat.

Cukup untuk malam ini, waktunya kembali beristirahat. Malam (w&y)

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, pengasingan berikutnya


Perkebunan Teh Nirmala, Citalahab
Sejak berangkat dari Sawarna kami sudah berniat meninggalkan hangatnya pesisir dan menuju sepinya kawasan hutan yang bersanding dengan luasnya perkebunan teh, meninggalkan panasnya pantai menuju dinginnya selimut kabut hutan. Tujuan berikutnya hari ini adalah Citalahab dan Cikaniki yang merupakan pos taman nasional Gunung Halimun-Salak, salah satu kawasan suaka margasatwa yang paling terjaga di Pulau Jawa.

Gerbang TNGHS, masih 17 km lagi
Dari Sawarna kami kembali menuju Pelabuhan Ratu, kemudian mengambil jalur menuju Parung Kuda. Cukup panjang jalur yang mesti ditempuh melewati kawasan hutan homogen yang bercampur dengan pemukiman serta kebun pertanian, sekitar 2 jam mesti ditempuh. Bila dari arah Pelabuhan Ratu, jangan sampai kota Parung Kuda karena artinya Anda melewatkan pertigaan Cipeteuy yang merupakan jalan masuk ke pos TNGHS Kabandungan. Pelajaran inilah yang kami alami, karena tidak memperhatikan papan penanda kami kebablasan sampai Parung Kuda, walhasil kami harus kembali lagi menuju Cipeteuy, menemukan pertigaan dan baru menuju Citalahab dan berhenti di sana guna mencari informasi lebih detil tentang arah menuju Stasiun Penelitian di dalam kawasan hutan TNGHS itu. Tengah hari kami sampai di pos Citalahab dan mendapatkan informasi bahwa untuk menuju Stasiun Penelitian Cikaniki mesti harus melanjutkan 3 km lagi lewat jalan desa , kemudian setelah sampai gerbang TNGHS perjalanan berlanjut sejauh 17 km lagi masuk hutan.

Angka 17 km terkesan tidak jauh tapi kami menyadari bahwa 17 km itu bukan dengan jalan aspal mulus atau datar melainkan tumpukan batuan bercampur tanah, air dan lumpur, sangat licin dan untuk kendaraan roda dua dan sangat berpotensi selip. Untuk menggambarkanya, lebih tepatnya kami seperti berada di sebuah koridor atau lorong sangat panjang, berliku seakan tak ada habisnya. Meski kami berjalan sekitar jam satu siang, sore seakan berjalan cepat karena naungan pepohonan menutup sinar matahari, semakin ke dalam semakin terasa gelap, apalagi memang kemudian sore cuacanya mendung. 

Stasiun Penelitian TNGHS, Cikaniki
Pukul 15 sore kami sampai di Pos Penelitian Cikaniki, sebuah bangunan berwarna kayu gelap yang asri, bagus dan cukup luas untuk istirahat namun sayang tak ada orang saat kami datang. Mungkin karena jelang Idhul Fitri, semua petugas sudah pulang ke rumah. Hari mulai gelap ketika yang dikhawatirkan terjadi, hujan yang cukup deras tumpah, kira-kira satu jam kami tertahan di pos ini sebelum memutuskan untuk menuju Citalahab, kampung dimana terdapat homestay bagi para pengunjung kawasan. Meski harus berhujan-hujan melewati jalur berbatu melintasi perkebunan teh Nirmala, itu lebih baik daripada menunggu malam yang membuat kita  lebih sulit untuk mengenali medan.

Sekitar 40 menit kemudian kami melihat papan bertuliskan Home Stay di kiri jalan, sempat agak ragu karena papan itu mengarah ke sebuah jalan berlumpur menurun, sangat sepi seakan masuk ke sebuah lubang gelap. Namun kami masuki juga dan merasa lega setelah melihat jalan berubah jadi batu bersusun dan melihat banyak rumah di sana. Berkat informasi Pak Suryana kami diarahkan untuk menuju salah satu rumah saudaranya yang bisa disewa untuk menginap. Kalau tak salah ingat rumah Ibu Ana, rumah berteras panggung yang sangat asri. Kamar yang disewakan sangat sederhana dipatok Rp 75 ribu per malam belum termasuk makan. Per paket makan perhari per orang adalah Rp 25 ribu (dan masakannya sungguh lezaat, one of the best dishes we ever had!)

Citalahab saat masih gelap
 Malam itu dalam dingin malam sesudah hujan, ditemani kopi panas dan makanan hangat nan lezat kami berefleksi, di sini ujungnya, di tempat sepi ini kami sejenak beristirahat, menikmati masa jelang lebaran bersama masyarakat Kampung Malasari, Citalahab (Kab. Bogor) yang syahdu tanpa gelegar petasan dan klakson kendaraan.

Inilah malam pertama kami di sini, Selamat datang di Citalahab, selamat datang malam, kami menanti pagi di sini segera datang. (w&y)

Sawarna, Primadona Banten Selatan


Tembok Karang Pantai Tanjung Layar, Sawarna, Banten Selatan
Selamat pagi..

Mari lanjutkan perjalanan kita. Dari Pelabuhan Ratu ini perjalanan berikutnya akan menuju Pantai Sawarna di Banten Selatan, kami tinggal menyusuri jalan ke utara menuju Cisolok. Sempat mampir ke Pantai Karang Hawu dan Pantai Cimaja yang terkenal sebagai spot surfing, perjalanan awalnya tidak menyenangkan karena jalan aspal yang rusak dan sangat menanjak, namun ketika sudah masuk wilayah Banten kami cukup heran karena jalan relatif lebih baik dibandingkan di wilayah Jawa Barat. 

Jalan masuk kawasan Pantai Sawarna
Dua jam kira-kira waktu dihabiskan untuk menuju Sawarna termasuk untuk singgah minum kopi dan mengambil gambar. Kawasan Sawarna sekilas tak tampak sebagai kawasan pantai karena untuk menuju pantai harus melewati jembatan gantung secara bergantian dan kudu melewati perkampungan, masih cukup sepi saat kami datang pada pukul 10.45 pagi. Sebagai orang yang baru pertama kali ke Sawarna, suasana ini mengingatkan saya pada Pulau Tidung atau Bali karena pantai tidak terbuka melainkan tertutup perkampungan wisata. Harga homestay juga relatif wajar, apalagi kami datang saat akhir minggu.

Menurut cerita Wong dan penuturan warga pemilik warung kopi di Sawarna, pantai ini berubah sangat cepat dari pantai alamiah dan sepi menjadi pantai yang selalu ramai, warung-warung berdiri di mana-mana, penginapan juga didirikan di mana-mana untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan. Hampir semua rumah juga berfungsi sebagai homestay yang menyewakan kamarnya, untuk rate weekend harganya berkisar antara 150-350 rb tidak termasuk makan, jangan ragu untuk menawar. Masalah yang sering muncul di sini adalah aliran listrik padam sehingga terbayang betapa gerahnya berada di kawasan ini tanpa kipas angin.

Siang terik di Pantai Pasir Putih, Sawarna

Bila sudah berada di Sawarna, tentu tak boleh melewatkan Tanjung Layar , pantai yang ditandai dengan tegakan dua karang tinggi yang berdampingan yang berdiri di pantai dangkal. Di sebelah kanan karang ini dan lebih menjorok ke laut nampak karang lain yang berdiri seperti dinding penahan ombak. Saat ombak tinggi menghempas dinding ini  terpapar sebuah pemandangan menakjubkan dengan diiringi suara ombak yang berdebum.

Tanjung Layar
Hempas ombak di tembok karang


Legon Pari
Selain Tanjung Layar, ada satu pantai lagi yang boleh dikunjungi yakni Pantai Legon Pari, sebuah teluk yang terisolasi letaknya. Untuk mencapainya dibutuhkan keteguhan dan kengeyelan karena jalur yang dilewati adalah batu. Namun kami berpikir positif bahwa ini harga sebuah keingintahuan. Ternyata Legon Pari memang teluk yang cukup menarik meskipun tidak fenomenal amat, pantainya memiliki  memiliki batuan berlumut serta memiliki lengkungan pasir putih yang akan berakhir di karang besar yang merupakan ujung daratan. Hampir mirip dengan dinding di Tanjung Layar, karang ini adalah tempat ombak terhempas dengan keras, hanya bedanya, karang di Legon Pari bisa didekati oleh manusia meskipun tetap menyimpan bahaya, ingat bahwa ombak besar hanya berbatas karang itu...hiiii!

Karang Legon Pari
Selesai dengan Legon Pari, kami mengunjungi sesuatu yang berbeda yakni Gua Lalay alias Gua Kelelawar, sebuah gua kapur yang dialiri air jernih yang cukup melimpah namun karena tidak membawa alat yang memadai kami tak melanjutkan sampai ujung sehingga tidak bisa menggambarkan variasi ornamen apa saja yang ada di bagian dalam gua Lalay ini.

Goa Lala






Tak terasa sore telah menjelang saat kami keluar dari kawasan Gua Lalay yang berupa perkampungan juga, namun kami belum berniat kembali ke penginapan. Memasuki kawasan Pantai Sawarna lagi, kami langsung menuju ke Tanjung Layar karena di ujung pantai ini tempat yang tepat untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Sayangnya, harapan tidak sesuai kenyataan, awan menyelimuti matahari sepanjang sore itu, kesempatan untuk mendapatkan gambar mataharipun sangat sulit. Meski begitu, kesempatan menikmati petang tetap dapat didapat seraya merasakan hembusan angin yang semakin kencang dan dingin, saat gelap mulai merayap berarti waktunya kembali ke homestay menikmati sisa waktu di Sawarna.

Secuil sunset di ujung hari di Sawarna
Terimakasih karena telah membawaku ke sini, ke primadona Banten Selatan. Esok hari, perjalanan akan dilanjutkan dengan kembali ke Pelabuhan Ratu untuk kemudian menuju Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Cikaniki, Sukabumi (w&y)